Assalamu’alaikum wr. wb.
Membaca tanggapan surat terbuka untuk PKS dari saudara Sarimin yang ditayangkan Eramuslim pada tanggal 02/04/2009 ada beberapa hal menggelitik yang mendorong saya untuk “menanggapi juga”.
Dalam pandangan saya saudara Sarimin terkesan memberi pembelaan berlebihan terhadap PKS, dan ceroboh dalam mendudukkan kaidah fiqh “Irtikaabu Akhaffi Dhararain )Menjatuhkan pilihan kepada sesuatu yang mengandung mudarat yang lebih ringan dari dua perkara yang sama-sama mengandung mudarat)” pada tempat yang tidak selayaknya. Karena dalam kasus tersebut kita tidak hanya dihadapkan pada “dua pilihan saja” karena bahkan Undang-Undangpun tidak berbicara tentang keharusan kampanye dengan menampilkan hiburan band. Kalaupun ada hal yang –dianggap– resiko mungkin (sekali lagi mungkin) hanya berkurangnya pendengar (belum tentu pemilih). Kalaupun terjadi, itu tidak merupakan sebuah dosa. Jadi pernyataan seharusnya, “kalau ada yang aman mengapa harus pilih yang berisiko?” toh kita adalah “partai dakwah”, tujuan kita adalah tegaknya syari’at Allah bukan besarnya jumlah konstituen atau kursi parlemen, karena selama berpegang pada prinsip maka “anda adalah jamaah meskipun seorang diri.”
Menurut hemat sayapun apa yang disampaikan oleh penulis surat terbuka untu PKS meskipun “uneg-uneg pribadi yang dipublikasikan” masih pada koridor kewajaran mengingat yang dilakukan kawan-kawan PKS sangat terbuka sehingga perlu dikoreksi dan dimintai klarifikasi secara terbuka biar semua juga pada tahu bahwa apa yang dilakukan kawan-kawan tersebut bermasalah secara syar’i, bahwa PKS telah keliru melangkah dan itu adalah manusiawi.
Adalah seharusnya menyikapi kritikan seperti surat terbuka itu –bahkan lebih pedas sekalipun –dengan sikap terbuka dan lapang dada karena ad-diin adalah nasehat, disikapi dengan introspeksi dan ungkapan terima kasih (kayak Eramuslim gitu lho), bukan berdalih dengan “bukan partai malaikat” yang dapat ditafsirkan “kami bukan kumpulan malaikat, jadi kalau ada yang salah tidak perlu diributkan tidak usah disinggung-singgung, tidak usah dkritik-kritik harap dimaklumi saja.” Bukan pula dengan mencari-cari dalih apalagi kambing hitam si fulan dan si fulan. Tentunya alasan pencuri “ah saya cuma mencuri sepeda motor, si Fulan tuh mencuri mobil. “ tidak membebaskannya dari jeratan Undang-undang pidana (maaf saya tidak menyamakan siapa-siapa dengan pencuri, mohon tidak salah pengertian).
Tidak pada tempatnya juga menanggapi kritikan tersebut dengan mempertanyakan –meskipun secara tersirat – kontribusi yang bersangkutan untuk umat, karena kontribusi dan sumbangsih tidak selalu berbau “politik” dan “kekuasaan” bahkan untuk saat ini bisa jadi yang mereka berikan apapun bentuknya lebih dihargai dan lebih mengena untuk kesuksesan dakwah karena relatif lebih steril dari bau politik balas jasa jangka pendek. Namun harus diingat bahwa pengkritik tidak mempertanyakan kontribusi kawan-kawan PKS, tetapi mempermasalahkan tindakan mereka dari kaca syar’i, adalah akan lebih berbahaya jika karena percaya dengan jargon PKS sebagai “Partai Dakwah” dengan segala sumbangsihnya terhadap masyarakat mereka berkesimpulan apa yang telah dilakukan oleh kawan-kawan tersebut adalah sesuatu yang halal dibolehkan oleh syariat. Jika begini jadinya maka PKS tidak lagi menjadi “Partai Dakwah” tapi “Partai Merusak Dakwah”, tentunya ini yang tidak diinginkan oleh pengirim surat terbuka tersebut.
Memang benar bahwa dakwah adalah kerja berat, bahwa mengayomi umat adalah proyek super raksasa yang harus dipikul setiap individu muslim khususnya bagi mereka yang telah dilebihkan Allah dengan karunia untuk menjalankan misi itu. Namun istiqamah ‘ala shiraathal mustaqiim adalah prinsip yang tidak boleh ditawar-tawar apalagi diutak-atik untuk mencari pembenaran dan pembelaan, “kita tidak dapat hidup dalam perubahan tanpa ada yang tidak berubah dalam diri kita, itu adalah prinsip, sip.. sip.. sip. Tentunya untuk hal ini rujukan utama yang harus kita jadikan pijakan dan bahan pelajaran adalah Al-Qur’an serta sunnah dan perjalanan dakwah Rasulullah saw. yang terbuka untuk berunding dan bernegosiasi tetapi tidak untuk melanggar hal-hal prinsipil, tidak untuk menghalalkan yang haram.
Akhirnya, bahwa siapapun yang berjuang dan bergerak untuk kebangkitan dan kemajuan umat ini haruslah kita dukung, tetapi dukungan yang dibangun atas “bashirah”, ruh amar ma’ruf nahi mungkar harus tetap dinyalakan, semangat tanaashuh –bukan saling hujat –harus terus dikembangkan, semakin banyak anda berbuat semakin banyak anda salah itu adalah sesuatu yang alami, setiap anak adam akan melakukan kesalahan, sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang-orang yang mau bertobat memperbaiki kesalahan, bukan mencari-cari alasan apalagi kambing hitam.
Demikian saya menanggapi tanpa bermaksud menyudutkan, semata-mata ingin meluruskan apa yang menurut saya tidak pada tempatnya. Wallahu a’lam bish-shawaab.
Abu Muhammad ([email protected])