Perempuan, siapa yang tak mengenal sosoknya? Setiap saat perbincangan tentang perempuan memang tak pernah habis. Di acara-acara televisi, di koran-koran, tabloid, majalah, jejaring sosial, semua membicarakannya. Memang, keindahan makhluk bernama perempuan serta kepribadiannya yang menakjubkan menjadi objek pemerhati yang tak pernah basi. Namun tak dapat dipungkiri, semua orang kini hanya terfokus pada hal-hal baik dari perempuan saja, sedangkan sisi gelap darinya jarang terungkap. Apa saja kah sisi gelap itu?
Beribu-ribu wanita menjadi budak di negeri orang, mereka dicuri hak hidupnya, dirampas kebebasannya, dijadikan korban pemuas nafsu majikannya, disiksa sekujur tubuhnya dan anehnya dalam keadaan semacam itu gelar “Pahlawan Devisa Negara” tersemat di dadanya. Dialah TKW, tenaga kerja wanita yang tidak jarang justru berakhir pada prostitusi dan tidak dapat dipisahkan dari trafficking. Trafficing juga mewujud dalam perekrutan remaja putri sebagai pekerja seks komersial atau dipaksa dijual untuk mengatasi himpitan ekonomi keluarga.
Di bidang kesehatan, perempuan lah orang pertama yang merasakan dampak buruk dari sistem kesehatan yang ada. Dengan sistem kesehatan ini pada akhirnya dapat menurunkan kualitas kesehatan perempuan dan anak, meningkatkan angka kematian balita dan anak, termasuk meningkatnya angka kematian ibu melahirkan. Akibat komplikasi di saat kehamilan dan persalinan, sekitar 19.000 perempuan Indonesia meninggal setiap tahunnya. Tegasnya, setiap ½ jam ada seorang ibu yang meninggal karena terkait dengan proses kehamilan, persalinan dan pascapersalinannya.
Begitupun dengan pendidikan. Kesempatan anak- anak untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi dari pendidikan dasar dan menengah menjadi sangat kecil, terutama anak-anak perempuan, diakibatkan tingginya biaya pendidikan dan penunjang pendidikan. Di kalangan anak-anak perempuan di pedesaan masih terdapat sekitar 10 persen buta huruf. Anak-anak perempuan ini pada akhirnya bekerja sebagai pekerja rumah tangga yang jumlahnya mencapai 688.132 jiwa atau 34.82 persen dari jumlah total 2.593.399 jiwa Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Di banyak kasus, remaja perempuan seringkali menjadi korban kebejadan nafsu laki-laki. Mereka harus menanggung malu, dikeluarkan dari sekolah, masa depan hancur, beban psikologis bahkan kehilangan nyawa akibat pemerkosaan yang kian marak terjadi. Tidak hanya itu, perempuan pun menjadi penderita stress terbanyak dari rata-rata penderita yang ada. Tercatat dalam tempo empat hari, terdapat satu orang perempuan yang mati bunuh diri. Ini menunjukkan bahwa beban hidup mereka menggunung dan akhirnya solusi yang mereka ambil adalah dengan mengakhiri hidup mereka.
Lantas apakah upaya yang mereka lakukan dalam mengatasi problem yang multidimensi ini? Jelas, masuk di kursi politik adalah misi terbesarnya. Pasalnya, penyebab penderitaan mereka selama ini adalah kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap perempuan, maka dari itu, mereka harus masuk dalam legislatif agar mampu mengarahkan kebijakan yang ada supaya pro terhadap kepentingan perempuan. Namun, rencana mereka ternyata tak sesuai dengan fakta dilapangan. Mengapa? Jika kita lihat, di Indonesia sendiri pernah tabuk kepemimpinan tertingginya di pegang oleh seorang perempuan. Tapi, apakah kebijakan beralih pada kesejahteraan perempuan? Sudah berapa banyak kaum perempuan ikut bergelut dalam kancah perpolitikan? Namun apa yang terjadi? Korupsi menjerat sang perempuan. Itulah akibat dari politik difahami hanya sekadar upaya meraih kursi parlemen & kekuasaan, memberi iming-iming materi dan gengsi, namun minim kesadaran untuk pengabdian kepada masyarakat.
Lantas, benarkah wacana demokrasi sebagai pembebas belenggu perempuan dari diskriminasi dan segala problematikanya? Gagal. Ternyata demokrasi tak mampu menjamin aspirasi dan peran politik perempuan. Faktanya meski perempuan duduk sebagai anggota legislatif, juga sebagai pejabat daerah bahkan presiden, kebijakannya tidak dipengaruhi oleh jenis kelaminnya tapi oleh pemikiran (kapitalis) yg dia miliki, tidak beda dengan laki-laki dan tidak bisa membawa aspirasi kaumnya. Maka, tidak layak kaum perempuan terus berharap pada sistem demokrasi kapitalisme, karena sekuat apapun tekadnya untuk merubah nasib perempuan, namun setelah terlibat langsung dalam dunia demokrasi, otomatis sudut pandang kemanfaatan menjadi tolak ukur pertama. Tujuan awalnya yang mulia terus terkaburkan dengan tuntutan kehidupan yang serba kapitalis.
Lantas, apakah solusi tuntas bagi persoalan perempuan? Jelas, kaum perempuan memerlukan visi politik yang baru selain demokrasi. Sistem ini harus mampu menjamin kehidupan yang layak dan menghormati perempuan. Sistem ini pun harus membawa perubahan hakiki dengan membentuk masa depan dunia yang bermartabat dan sejahtera bagi semua masyarakat dunia, laki-laki maupun perempuan, Muslim ataupun non-Muslim. Jika kita berkaca pada abad keemasan islam, kita mampu mendapatkan kondisi ideal seorang perempuan dan politik. Tak dapat tertandingi kemuliaan perempuan saat Islam diterapkan di bawah seorang pemimpin agung, Muhammad saw. Perempuan tidak dihinakan, tidak dieksploitasi dan tidak dijadikan sarana pemuas nafsu belaka! Sebaliknya, perempuan Muslimah adalah para ibu yang melahirkan generasi pejuang Islam. Mereka adalah juga para istri yang taat kepada suami dan setia mendampingi perjuangan suaminya. Perempuan Muslimah adalah para wanita yang cerdas dan tak berpangku tangan dalam mengokohkan perjuangan Islam.
Visi politik itu adalah Khilafah Islamiyah yang merupakan model pemerintahan sejati yang akan membebaskan perempuan dari kemunduran dan penindasan sekaligus memberikan visi politik jelas bagi status dan kehidupan perempuan. Sistem ini menyajikan rancangan perubahan politik dan ekonomi secara menyeluruh, sebagaimana menyajikan strategi yang jelas untuk menjamin martabat dan hak-hak perempuan serta kaum minoritas. Khilafah adalah sebuah negara yang akan mentransformasi kebangkitan ini menjadi perubahan yang sesungguhnya bagi para perempuan Muslim di Dunia Islam.
Tresna Mustikasari
Mahasiswi Fisika Unpad