Pemilihan umum calon anggota legislatif 2014 baru saja selesai di gelar. Pesta demokrasi 5 tahunan ini, dari tahun ke tahun senantiasa menyisakan permasalahan. Mulai dari tidak profesionalnya para penyelenggara dan pengawas pemilu. Semisal data pemilih yang tak sesuai (orang yang sudah meninggal masih masuk data atau bahkan orang gila yang masuk daftar calon pemilih), logistik yang tak terkirim tepat waktu hingga tidak sedikit daerah yang menunda hari pemilihan, tertukarnya surat suara. Dan yang tak kalah “heboh”adanya politik uang yang nampaknya sudah dianggal legal.
Sikap pragmatis masyarakat dalam menghadapi pemilu, kadang kala dimanfaatkan oleh para caleg (calon anggota) legislatif. Tidak jarang para caleg ‘menghalalkan’segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, yaitu untuk mendapatkan suara terbanyak hinggamereka terpilih menjadi anggota legislatif. Salah satunya dengan semakin menguatnya budaya transaksional antara caleg dengan masyarakat.
Saat musim kampanye tiba, hampir semua para caleg mendadak jadi orang yang begitu dermawan. Memberikan infak untuk pembangunan mesjid atau ikut memfasilitasi perbaikan jalan. Yang biasanya tidak pernah ikut pengajian, jadi rajin datang ke majlis ta’lim sambil membawa “hadiah”dadakan.
Menjelang hari H pencoblosanpun tak ketinggalan,serangan fajar menjadi modus kecurangan yang dilakukan para caleg untuk mendulang suara. Di Subang, misalnya praktik serangan fajar yang dilakukan caleg melalui tim sukses dengan cara membagi-bagikan uang berkisar Rp.20.000,00 hingga Rp.100.000,00 (Pikiran Rakyat Online, 14/4/2014). Inilah fakta budaya demokrasi transaksional.
Jadi, bagaimana mungkin kita berharap pemilu yang ada akan melahirkan pemimpin yang ‘bersih’, amanah dan berkualitas, jika anggota yang terpilih hasil dari adanya ‘transaksi pragmatis’ yang nampaknya sudah dianggap legal. Apa mungkin bangsa ini akan maju, jika belum jadi pemimpin saja sudah melakukan transaksional seperti ini?. Konsekuensinya, ketika mereka telah terpilih tidak jarang mereka pada akhirnya berfikiran bagaimana caranya untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan. Karena itu, jangan harap mereka mau memperjuangkan aspirasi rakyat dengan optimal apalagi dalam keadaan bersih berwibawa, untuk sekedar mendatangi para konstituennya saja belum tentu.
PANDANGAN ISLAM TENTANG POLITIK UANG
Islam sebagai agama yang kaffah tidak hanya membahas masalah ibadah saja, tapi semua aspek dibahas dan diatur oleh Islam, tidak terkecuali masalah politik. Dalam konteks Islam, secara bahasa politik (as-siyaasah) berasal dari kata saasa-yasuusu-siyaasatan, yang berarti mengurus kepentingan seseorang. Sedangkan menurut istilah definisipolitik, sebagaimana yang di ungkap oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Al-Afkar as-Siyaasiyah,adalah mengatur urusan umat dengan negara sebagai institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat mengoreksi pemerintah dalam melakukan tugasnya. Oleh karena itu politik dalam Islam bukan hanya sekedar seseorang terpilih jadi anggota dewan dan duduk diparlemen. Tapi bagaimana seseorang yang diberi amanah menjadi seorang pemimpin mampu mengurusi rakyatnya dengan sebaik-baiknya.
Di dalam sistem Islam orang tidak akan berlomba-lomba ingin menjadi pemimpin, karena mereka tahu hal tersebut adalah amanah yang akan di pertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat nanti. Maka tak akan kita temukan orang menghalalkan segala cara untuk menjadi pemimpin, termasuk politik uang.
Selain itu Islam dengan tegas mengharamkan memberi atau menerima pemberiaan dalam rangka pemilihan umum, karena hal tersebut termasuk risywah (suap). Sebagaimana di ungkapkan dalam hadits dari Abdullah bin ‘Amr ra bahwa Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang menyuap dan yang menerima suap. (HR.Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Juga hadits dari Tsauban ra bahwa Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara di antara keduanya. (HR.Ahmad).
Dalil-dalil tersebut memang umum tentang keharaman risywah (suap), namun dapat diterapkan pada fakta pemberian yang diberikan oleh caleg kepada para pemilih. Pemberian ini termasuk dalam pengertian umum suap, yaitu setiap harta yang diberikan kepada setiap pihak yang mempunyai kewenangan untuk menunaikan suatu kepentingan yang seharusnya tidak memerlukan pemberian bagi pihak tersebut untuk menunaikannya.
Jadi, masihkah kita berharap pada PEMILU ini akan melahirkan caleg yang ‘bersih’ anti-korupsi, sementara mereka terpilihmelalui ‘budaya transaksional’ pragmatis yang rawan akan penyelewengan dan penyimpangan ini?
Wallahu’alam bish showwab.
Sumiyati Karimah
Tanjungsari Sumedang