Akhirnya saya tak kuat juga untuk menahannya. Bayangkan, bagi Eto, sosok Prabowo dan Sandi bukan ‘orang lain’. Dia sangat dekat jika tidak bisa saya sebut terlalu dekat. Dan dia, tidak sepatutnya bicara seperti itu. Eto tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menilai khususnya Prabowo. Atas nama apa pun.
Selama ini, dia saya kenal sebagai anak muda yang lumayan hati-hati dalam berpendapat. Bahkan sebagai ketua Komite Olahraga Indonesia (KOI) nyaris tak pernah membuat pernyataan yang kontroversial. Tepatnya terlalu sunyi. Catatan lagi, dia tidak mudah meledak, dan bukan tergolong orang yang mudah terpancing.
Oh ya, saya juga cukup mengenal Eto, sama seperti dia mengenal saya. Bahkan, saya tahu mulai kapan dia masuk ke lingkungan olahraga nasional.
Kembali ke pokok persoalan. Eto juga sangat dekat dengan SSU, sapaan Sandiaga Salahudin Uno. Keduanya bukan sebatas dekat karena sempat memiliki saham dari beberapa perusahaan yang sama, tapi sudah bersahabat sejak SD.
“Kita tetap dan akan terus bersahabat sampai kapan pun,” begitu ucapan Erick saat bertemu dengan SSU, di sebuah acara pesta pernikahan seorang tokoh, beberapa hari setelah petahana mengumumkan ketua timsesnya, Agustus 2018.
Keduanya saling berpelukan. Keduanya sungguh memperlihatkan eratnya persahabatan. Keduanya seolah ingin memperlihatkan pada seluruh rakyat Indonesia, kita boleh berbeda pilihan, tapi kita tetap harus menjaga persahabatan, persaudaraan, pertemanan, dan seterusnya.
Panik?
Tapi, pengetahuan saya tentang Eto, berubah total belakangan ini. Entah apa penyebabnya, tiba-tiba Erick seperti orang, maaf, kerasukan. Seperti tulisan mas Asyari Usman, wartawan senior juga: Secara psikologis, Erick kelihatan ‘letih’. Dia kehabisan bahan. Tulisan “Rekam Jejak” itu menunjukkan bahwa hanya sisi pribadi Prabowo yang masih bisa diutak-atik oleh ET. Dia tak sanggup menghadapi fakta kehidupan rakyat yang dibuat susah oleh Jokowi gara-gara program pembangunan yang hanya terfokus pada infrastruktur.