Ketika Pasung Dilepas
Kabarnya pasca Peristiwa Tanjung Priok September 1984, Soeharto diberi informasi kalangan ABRI sendiri bahwa laporan Pangab Jendral Benny Moerdani tentang latar belakang kasus Tanjung Priok dimanipulasi, dan merugikan presiden, khususnya dengan opsi membantai umat Islam. Soeharto pun marah besar dan konon menyadarkan kebijakan politik yang ditempuh dua puluh tahun terakhir sejak 1967 sungguh-sungguh meleset. Konon Soeharto segera memutuskan mengubah drastis kebijakan politiknya. Dengan dalih memenuhi asas proporsional, ia mengoreksi anggota Golkar, khususnya yang duduk di DPR-MPR RI yang di dominasi kalangan non-Islam. Mulai Pemilu 1987 Soeharto menempatkan politisi Islam khususnya dari kader HMI. Begitu halnya jajaran kabinet diganti ekonom Islam. Dan menjelang Sidang Umum MPR 1-11 Maret 1988 yang anggotanya hasil Pemilu April 1987, Presiden Soeharto tiba-tiba akhir Februari 1988 memberhentikan Panglima ABRI Jendral Benny Moerdany—yang konon saat itu ada di luar negeri dan membuatnya marah besar—walau pada susunan kabinet yang diumumkan bulan berikutnya Benny diangkat sebagai Menhankam.
Dengan kebijakan politiknya yang sangat drastis dan kontroversial itu, umat Islam merasa Soeharto menebus dosanya kepada umat Islam. Apalagi kemudian komitmen dukungannya kepada aspirasi Islam ditunjukkan Soeharto lagi dengan inisiatif mengajukan RUUPA (Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama) setelah ia menugaskan pakar hukum Islam melakukan kodifikasi hukum Islam. Ketika UU Peradilan agama disahkan DPR 1989, maka pengadilan agama di Indonesia pun disahkan pula sebagai hukum positif di negeri ini mendampingi sistem peradilan yang ada, yakni : Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Peradilan Militer. Derajat atau sistem kepangkatan hakim agama pun dinaikkan sejajar dengan hakim di pengadilan negeri. Keberpihakan Soeharto kepada Islam lebih jauh lagi ketika ia segera meresmikan Bank Muamalat di halaman Istana Bogor pada 1989, disusul ia mendorong berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), juga pada 1989. Dan tahun berikutnya 1990, Presiden Soeharto dengan keluarga besarnya ramai-ramai menunaikan ibadah haji.
Umat Islam merasa semakin nyaman dengan kebijakan politik Soeharto yang cenderung berbalik pro-Islam. Tapi sebaliknya kalangan Nasrani dan sekuler yang disingkirkan sejak 1987 itu, tidak bisa menahan diri berketerusan. Sikap perlawanan pun segera dilancarkan menjelang Pemilu 1992. Ketika hasil Pemilu 1992 makin menegaskan keberpihakan Soeharto kepada Islam, maka kalangan Nasrani dan sekuler nekat “menuduh” pemerintahan-ABRI-DPR sudah menjadi Ijo-Royo-Royo, dan disinisi harian Kompas sebagai “Ijo Loyo-Loyo “ jika diucapkan oleh seorang yang cadel. Konsolidasi kalangan Nasrani dan sekuler pun sejak 1992 digencarkan dan diarahkan untuk menumbangkan rejim Soeharto. Kerja keras mereka membuahkan hasil sehingga Soeharto pun tumbang pada Mei 1998. Kalangan Nasrani dan sekuler tetap memanipulasi kekuatan Islam untuk meruntuhkan Soeharto. Sehingga rezim reformasi yang lahir pun perlu direkayasa dengan tekun sepanjang 14 tahun terakhir untuk menyingkirkan Setan Besar : Islam.
(Umat Islam Kembali Dipasung, HM Aru Syeif Assadullah
Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Islam).
***