Oleh : Muhammad Dahrum, M. Pd*
Jika ditanya tentang siapa pemimpin yang bersih dari korupsi, maka perlu berpikir lama untuk menjawabnya. Nyaris tidak ditemukan dalam lintasan memori, karena banyaknya pelaku praktik curang yang satu ini. Namun sangat berbeda jika pertanyaan dibalik, siapa pemimpin yang melakukan korupsi. Akan sangat mudah dalam memberikan jawaban dan hampir semua orang mampu menyebutkan siapa saja pelakunya.
Praktik korupsi semakin marak yang merambah berbagai instansi pemerintahan. Mulai lembaga legislatif yang memproduksi peraturan (legislasi), sampai lembaga pendidikan yang mencetak generasi. Lembaga legislatif menduduki posisi puncak dalam hal korupsi. Riset PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi) pada semester II tahun 2012 dengan fokus utama terkait korupsi dan pencucian uang oleh anggota legislatif, menyebutkan sebanyak 69,7% anggota legislatif terindikasi tindak pidana korupsi. Detiknews.com (3/5/2013).
Legislator yang terjerat korupsi berasal dari partai koalisi setgab (Sekretariat Gabungan). Semua parpol yang tergabung di dalamnya terlibat. Inilah sebabnya Ketua DPR Marzuki Ali mengatakan korupsi semacam arisan. Semua melakukan dan semua di seret ke pengadilan. Tingginya tingkat korupsi yang dilakukan elit parpol dan pemerintahan, menyebabkan rapuhnya pemerintahan akibat digerogoti korupsi. Bagai ikan yang membusuk dimulai dari kepalanya, kemudian menjalar ke seluruh tubuh. Korupsi akhirnya menjalar sampai pada tingkat pimpinan di daerah. Kementerian dalam negeri mencatat sejak 2004 hingga juli 2012 ada ribuan pejabat daerah yang terlibat. Mulai dari gubernur, walikota, bupati dan dewan perwakilan rakyat daerah.
Korupsi adalah tindakan kriminalitas seperti kejahatan lainnya yang memakan korban. Letak perbedaan mungkin pada caranya yang elegan dan hasil yang didapatkan. Sama-sama merusak tatanan kehidupan, namun kejahatan korupsi memiliki episentrum yang lebih besar. Kalau seseorang terlibat mengkonsumsi narkoba misalnya, maka kejahatan ini akan merusak dirinya sendiri. Menimbulkan kecanduan, badan sakit-sakitan ataupun bisa gila karenanya. Beda halnya dengan koruptor yang menyebabkan banyak orang kurang gizi, banyak orang sakit-sakitan yang berujung pada kematian. Fasilitas kesehatan, pendidikan dan lainnya ‘dibuat’ minimalis oleh kejahatan korupsi. Negara tidak sanggup menyediakan sarana yang pantas bagi seluruh rakyat, karena sebagian keuangannya telah diamputasi.
Industri Politik
Hukum dibuat untuk dilanggar. Itu dulu saat Indonesia masih di awal kemerdekaan. Anggota legislatifnya masih berada dibawah ketiak pemimpin tiran. Lain halnya saat ini atas nama kebebasan pelanggaran terhadap peraturan telah dibuat sejak awal. Main mata antara eksekutif dan legislatif lahirlah UU yang menyengsarakan. Belum lagi dengan UU pesanan asing dengan imbalan yang lumayan, telah menyebabkan tergadainya SDA bangsa ini. Diantaranya UU migas dibuat untuk melanggengkan swasta asing berdikari di tanah pribumi. Undang-undang yang lahir memberikan kebebasan eksplorasi dan eksploitasi. Sehingga ketika harga minyak dunia melambung tinggi pihak asing memperoleh keuntungan besar dan rakyat harus membeli dengan harga tinggi dari bumi mereka sendiri.
Ditengah kehidupan sulit, rakyat kembali dibuat pusing tujuh keliling. Keinginan kuat pemerintah untuk menaikkan harga BBM terus dihembuskan. Bertambah beratlah beban hidup akibat harga-harga melambung tinggi. Inflasi yang dipicu oleh kebijakan mahalnya sumber daya (BBM) menyebabkan banyak orang yang hampir miskin menjadi benar-benar miskin. Jikapun ada semacam BLT (bea langsung tunai) tentu sementara dan setelah itu rakyat kembali menderita.
Mahalnya ‘Kursi’
Para peminat kursi kekuasaan harus mengeluarkan biaya besar untuk kegiatan kampanye dalam rangka mendongkrak citra. Persaingan dana sangat ketat disamping memiliki popularitas. Popularitas dapat tercipta atau ditingkatkan melalui pemberian sumbangan atau bantuan-bantuan yang kesemuanya bermuara pada satu kata, yaitu uang. Untuk itu calon penguasa harus bergerilya lebih keras untuk mencari dana yang lazim dilakukan melalui dua cara. Pertama, melalui sumbangan anggota mereka yang duduk di legislatif. Tindakan ini memaksa anggota dewan menggelembungkan pundi-pundi kekayaan dengan cara ilegal, seperti korupsi, fee proyek atau mark up proyek, dll. Agar jagoannya bisa mendapatkan kekuasaan.
Cara kedua, menerima sumbangan dari para pengusaha ‘industri politik’ dengan melakukan investasi dananya kepada calon-calon kepala daerah. Ketika kekuasaan diraih, kongkalikong akhirnya terjadi. Penguasa harus tunduk pada kemauan broker guna memuluskan proyek-proyek mereka. Tidak mengherankan jika akhirnya ada proyek yang asal-asalan atau bahkan tidak tepat sasaran. Akhirnya semangat untuk mensejahterakan rakyat hanyalah angan-angan kosong belaka. Para pemilik modal yang telah melakukan investasi politik mendapatkan kesempatan secara efektif dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kebijakan para penguasa lebih menguntungkan pemilik modal/ kelompok kaya yang telah menyokong calon penguasa mendapatkan kekuasaann. Sehingga yang kaya akan semakin kaya dan golongan masyarakat miskin akan semakin terpinggirkan.
Keadaan ini akan menimbulkan ketimpangan, bahkan di belahan dunia lainnya juga terjadi demikian. Di Amerika Serikat misalnya, yang menjadi kiblatnya peradaban pemerintahan saat ini. Sejak tahun 1980-2005, 80% kekayaan hanya dimiliki oleh 1% penduduknya. Konsentrasi kekayaan pada kelompok kecil tentu berakibat pada meningkatnya kemiskinan pada kelompok besar suatu bangsa. Sehingga meningkatlah problem sosial bagi masyarakatnya. Seperti, tingginya angka bunuh diri yang mencapai 1 juta jiwa dilaporkan setiap tahunnya. Begitu juga dengan Inggris yang tidak jauh berbeda dengan AS, setiap 2 jam ada 1 orang yang mengakhiri hidupnya. Bagaimana dengan Indonesia, sama saja. Hal yang berbeda adalah masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim memiliki rambu-rambu (pahala dan dosa) dalam meniti kehidupan sebagai penangkalnya. Jika tidak, mungkin angka kriminalitas dan problem sosial lainnya akan dapat melampau masyarakat eropa sekalipun. Kemiskinan merupakan mesin pembunuh yang amat kejam, akibat sistem mahal yang membidani ketamakan.
Korupsi harus dihentikan
Lantas bagaimana menghentikan kezaliman tersebut. Banyak solusi yang ditawarkan . diantaranya, ada yang mengatakan bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari pendidikan. Ada juga yang berpendapat bahwa pelakunya saja yang diberi hukuman berat. Bisa pemiskinan atau hukuman pancung yang mematikan.
Pemberantasan korupsi melalui pendidikan memang sangat solutif. Namun, tentu bukan dalam perspektif pendidikan yang bermasalah seperti yang terjadi saat ini. Bagaimana mungkin berharap lahirnya manusia terpuji, jika pelaksana pendidikan juga melakukan tindakan korupsi. Tentu yang lebih tepatnya adalah melahirkan generasi-generasi korup seperti judul opini, Prof. DR. Korupsi, M. So. Serambi (23/4/2013).
Sistem pendidikan yang melahirkan pribadi-pribadi bertaqwa yang menjadikan halal-haram sebagai standar perbuatan wajib diterapkan. Sehingga lahirlah pribadi-pribadi yang sadar terhadap apa yang dilakukan. Kesadaran ini harus didukung dengan perangkat sistem lainnya, karena bagaimanapun manusia dibina, bisa saja melakukan kesalahan. Oleh karena itu, sistem hukum yang tegas harus seirama dengan arah gerak tujuan pendidikan. Apa yang diajarkan, itu yang diterapkan. Jika yang diajarkan korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan aturan Islam. Maka, hukuman yang diberikan adalah menurut sumber hukum dalam Islam.
Pemberian hukuman semata tidaklah tepat, tanpa ada perhatian pada sektor kesejahteraan. Pemberian sanksi akan berjalan baik ketika kesejahteraan terpenuhi. Kesejahteraan tidak akan dicapai bila diterapkan ekonomi yang tamak (kapitalisme). Kapitalisme ekonomi memiliki prinsip dan pilar-pilar ekonomi berbahaya, karena konsisten dalam memproduksi kemiskinan secara struktural. Prinsip-prinsip berbahaya adalah: (1) Kebebasan kepemilikan; (2) Laissez-faire– campur tangan pemerintah minimalis; (3) pertumbuhan ekonomi; (4) akumulasi modal sebagai kunci pertumbuhan (5) sistem upah besi. (Fika M Komara, 2013).
Peningkatan kesejahteraan dalam ekonomi Islam melalui mekanisme pendistribusian sumber-sumber ekonomi yang menjamin kebutuhan primer (basic needs) setiap individu secara menyeluruh, maupun kebutuhan skunder sesuai dengan kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup di tengah masyarakat dengan gaya hidup tertentu. Mekanisme penguasaan tanah misalnya, secara alami akan mendorong pada pengelolaan, pemanfaatan dan seterusnya. inilah gambaran umum ekonomi Islam yang memperhatikan kesejahteraan setiap jiwa. Aplikasi sistem tersebut akhirnya kembali kepada Negara sebagai pihak yang secara legal untuk menerapkannya. Disinilah pentingnya penerapan Islam secara menyeluruh. Tanpa itu semua, mustahil kejahatan korupsi dapat dibendung. Bahkan, melahirkan para koruptor baru yang lebih mahir dan terlatih kompetensinya. WalLahu a’lam bi ash-shawab.[]
*PNS Pemkab. Aceh Barat Daya.
Email: [email protected]