Yang saya hormati dan muliakan Para Redaksi eramuslim, dengan kerendahan hati ijinkan saya untuk menanggapi jawaban atas pertanyaan pada salah satu di kolom rubrik Ustadz-Menjwab yakni pertanyaan dari Ukhti Yulia yakni “Bentuk Busana Muslimah yang benar” dan pertanyaan tersebut telah di jawab oleh Ustadz Sigit Pranowo Lc.
Dalam penjelasannya, Ustadz Sigit Menjelaskan bahwa pakaian atas-bawah (baju dan rok lebar) selama pakaian itu memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan syariat.
Diantara syarat-syarat itu adalah :
- Hendaknya pakaian itu menutupi seluruh tubuhnya dari kaum lelaki yang bukan mahramnya. Dan janganlah dia memperlihatkan anggota-anggota tubuhnya kepada mahramnya kecuali bagian-bagian yang dibolehkan oleh syariat, seperti wajah, kedua telpak tangan dan kedua pergelangan kakinya.
- Hendaknya pakaian itu tidak tipis (transparan) sehingga warna kulitnya dapat terlihat oleh orang dibelakangnya.
- Pakaian itu tidak sempit sehingga menampakkan bentuk-bentuk anggota tubuhnya.
- Pakaian itu tidak menyerupai pakaian kaum lelaki.
- Tidak terdapat berbagai hiasan di pakaian itu yang dapat mengundang perhatian orang-orang ketika dirinya keluar dari rumah. (Markaz al Fatwa No. 0428).
Kapasitas saya bukanlah membantah Penjelasan dari al-Ustadz Sigit Pranowo, namun hanya dalam kapasitas ingin turut serta dalam menjelaskan seputar pakain busana seorang muslimah baik ketika berada di dalam kehidupan khusus, maupun di dalam kehidupan umum. Ini karena, saya melihat pertanyaan ukhti Yulia adalah mempertanyakan seputar busana muslimah berupa gamis, di mana mungkin saja telah terjadi interaksi dia dengan pihak lain seputar busana muslimah yang syar’iy.
Masyarakat kita masih sering sekali salah salam memahami apa itu jilbab dan apa itu kerudung. Saya dulu pernah berdiskusi dengan salah satu teman, ketika saya tanya apa itu jilbab dan apa itu kerudung, maka dia spontan menjawab bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah penutup kepala yang berukuran lebar dan memanjang ke bawah sehingga jika di tutupkan ke kepala maka bagian bawahnya bisa sampai ke bagian pinggang seorang wanita. Mungkin ini yang saya sering dengar dengan istilah jilbaber. Dan kemudian dia juga menjelaskan bahwa yang di maksud dengan kerudung itu adalah kain penutup kepala yang biasanya hanya di tutupkan ke kepala tidak di balutkan, jadi seperti seolah kebaya penutup kepala yang rambutnya masih kelihatan.
Jilbab dan kerudung merupakan kewajiban atas perempuan muslimah yang ditunjukkan oleh dua ayat Al-Qur`an yang berbeda. Kewajiban jilbab dasarnya surah Al-Ahzab ayat 59, sedang kewajiban kerudung (khimar) dasarnya adalah surah An-Nur ayat 31.
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Ahzab [33] : 59).
Karena al qur’an diturunkan dengan bahasa arab, maka kita harus mengembalikan tafsri surat di atas kedalam bahasa arab pula, bukan dengan bahasa kita. Karena untuk memahami Islam maka harus tahu bahasa arab, itulah kenapa bahasa arab hukumnya fardhu ’ain bagi orang Islam.
Dalam ayat ini terdapat kata jalabib yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata jilbab. Memang para mufassir berbeda pendapat mengenai arti jilbab ini. Imam Syaukani dalam Fathul Qadir (6/79), misalnya, menjelaskan beberapa penafsiran tentang jilbab. Imam Syaukani sendiri berpendapat jilbab adalah baju yang lebih besar daripada kerudung, dengan mengutip pendapat Al-Jauhari pengarang kamus Ash-Shihaah, bahwa jilbab adalah baju panjang dan longgar (milhafah). Ada yang berpendapat jilbab adalah semacam cadar (al-qinaa’), atau baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan (ats-tsaub alladzi yasturu jami’a badan al-mar`ah). Menurut Imam Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi (14/243), Dari berbagai pendapat tersebut, yang sahih adalah pendapat terakhir, yakni jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan.
Ini juga sejalan dengan pendapat syaikh taqiyudin an nabhani dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i fil Islam, hal. 45-46). Beliau mengatakan bahwa jilbab itu bukanlah kerudung, melainkan baju panjang dan longgar (milhafah) atau baju kurung (mula`ah) yang dipakai menutupi seluruh tubuh di atas baju rumahan. Jilbab wajib diulurkan sampai bawah (bukan baju potongan), sebab hanya dengan cara inilah dapat diamalkan firman Allah (artinya) “mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Dengan baju potongan, berarti jilbab hanya menutupi sebagian tubuh, bukan seluruh tubuh.
Bagaimana dengan kerudung atau khimar?
Kewajiban memakai khimar atau kerudung ini terdapat pada surah an Nur ayat 31 yang berbunyi,
Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…’
Dalam ayat ini, terdapat kata khumur, yang merupakan bentuk jamak (plural) dari khimaar. Arti khimaar adalah kerudung, yaitu apa-apa yang dapat menutupi kepala (maa yughaththa bihi ar-ra`su). (Tafsir Ath-Thabari, 19/159; Ibnu Katsir, 6/46; Ibnul ‘Arabi, Ahkamul Qur`an, 6/65 ). Artinya, kerudung bukanlah sebatas kain yang dibalutkan ke kepala saja, namun sebuah kain yang dijadikan penutup kepala hingga menutupi dada mereka.
Kesimpulan dari dua hal di atas adalah jilbab bukanlah kerudung melainkan sebuah jubah yang mungkin bisa kita sebut sebagai sebuah gamis yang biasanya menutupi tubuh wanita muslimah.
Nah, jika telah jelas perkara di atas, maka mari kita kaji persolaan menutup aurat dan persoalan memakai busana muslimah. Kedua hal ini adalah dua hal yang berbeda, dua kewajiban ini tidak boleh dicampuradukan, karena jika dicampuradukan maka bisa menimbulkan persepsi yang salah terhadapnya.
Perlu difahami bahwa dalam syariah Islam dalam masalah menutup ’aurat atau satru al-’aurat, syariah tidak menjelaskan atau mensyaratkan pakaian tertentu atau bahan tertentu yang harus di pakai oleh seorang muslimah untuk menutupi ’auratnya. Di dalam syariat Islam cuma ada pensyaratan bahwa pakaian tersebut harus menutup aurat dan menutupi kulitnya. Jadi, seorang wanita boleh mengunakan pakaian jenis dan model tipe apapun untuk menutupi auratnya.
Yang manakah aurat wanita yang boleh tampak itu?
Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).
Yang dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan) (Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur’an, juz III, hal. 316).
Selanjutnya, “illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya). Jadi ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan dua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, juz XVIII, hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (illaa maa zhahara minha): “Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan, ‘Yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan’.” Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz XII, hal. 229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).
Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi Saw sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah Saw, yaitu di masa masih turunnya ayat al-Qur’an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:
“Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud)
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
Mungkin timbul pertanyaan, lha… kok dari penjelasan di atas wanita boleh memakai jenis pakain dan model apapun untuk menutupi auratnya?
Jawabannya adalah, karena kita sedang berbicara pada konteks kehidupan khusus seorang muslimah. Di dalam kehidupan khusus, maka seorang muslimah tidak wajib memakai jilbab, bukan berarti ia lantas menampakan auratnya, namun ia tetap menutupi auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahram dia dan tidak memakai jilbab (gamis).
Sebagaimana ketika Rasulullah berada di rumah Abu bakar dan melihat putri Abu bakar yang tidak menutupi auratnya lantas rasulullah berkata, “Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud)
Lantas, kapankah jilbab itu harus di pakai oleh seorang muslimah?
Kita telah membahas seputar wanita yang telah menutupi auratnya tadi. Nah, walaupun ia telah menutupi auratnya dengan baik yakni warna kulitnya sudah tidak tampak dan semua anggota badannya telah tertutupi kecuali muka dan telapak tangan, maka bukan berarti ia boleh keluar rumah. Kenapa? Karena syariat Islam telah mengatur tentang memakai busana muslimah ketika keluar rumah dan di dalam rumah. Itulah sejak awal saya katakan, jangan mencampurkan kewajiban menutupi aurat dan kewajiban memakai pakaian muslimah.
Mengapa? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat. Celana panjang atau baju potongan itu hanya boleh ia kenakan ketika berada di dalam rumah, dan ini termasuk ke dalam pakain mihnah atau pakaian keseharian wanita di dalam rumah. Dan ketika ada laki-laki non mahram yang ada di rumahnya, ia tetap boleh memakai pakain tersebut namun di tambah dengan pakain lain yang menutupi aurat dia yakni agar semua auratnya tertutupi kecuali yang biasa tampak yakni wajah dan telapak tangannya, dan tidak wajib baginya untuk memakai jilbab (baju gamis) didalam rumahnya.
Ketika berada di kehidupan umum, seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah, menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.
Wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.
Adapun dalil-dalil yang menjelaskan seputar memakai jilbab ketika keluar rumah dan berada di area umum adalah sebagai berikut :
“Rasulullah Saw memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata, ‘Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?’ Maka Rasulullah Saw menjawab: ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!’” [Muttafaqun ‘alaihi] (Al-Albani, 2001 : 82)
Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, juz I, hal. 388, mengatakan: “Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar (rumah) jika tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).
Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu ‘Athiah r.a. di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab —untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)— maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi Saw tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.
Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan: “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka).
Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini —yaitu idnaa’ berarti irkhaa’ ila asfal— diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah Saw telah bersabda:
“Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi Saw menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’ (yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab, ‘Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab, ‘Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” [HR. At-Tirmidzi, juz III, hal. 47; hadits sahih] (Al-Albani, 2001 : 89)
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi Saw, pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah —yaitu jilbab— telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.
Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan) (An-Nabhani, 1990 : 45-51).
Wallahu A’lam.
Adi Victoria
[email protected]