Oleh Zeng Wei Jian
Sun Tzu bilang, “Ada lima faktor fundamental untuk menang perang…dan moral influence adalah faktor terpenting.”
Ahokers hanya paham sedikit soal “faktor moral” ini, lantas membabi-buta.
Pasca penistaan Surat Al-Maidah 51, semakin jelas bahwa Ahok keropos. Aksi demonstratif prohok hanya dihadiri 25 orang. Bukan tandingan aksi “sejuta umat” tangkap Ahok.
Ahokers memperdaya Wagub Djarot dalam aksi manipulasi sepetak taman. Tetap gagal naikan elektabilitas Ahok. Publik semakin jijik. Djarot kena getah. Dibully abis-abisan.
Nyata, Ahok tidak didukung banyak pihak. Cuma Nusron Wahid, Nyonya Daimah, Mustofa Bisri dan Gus Coy. Semua ustad, kyai, alim-ulama dan tak terhitung laskar meminta polisi menangkap Ahok. Dunia internasional juga mengecam penistaan agama yang dilakukan Ahok.
Ini perang asimetri (tak berimbang). Ahok ngga punya chance menang.
Jakarta terdiri dari 85% muslim. Indonesia secara keseluruhan berkomposisi 95% muslim. Fakta ini hendak ditiadakan oleh Ahokers.
Setelah gagal memanipulasi taman, Ahoker mencoba memainkan isue disintegratif.
Tujuannya menaikan kepercayaan diri, militansi dan moral prohok dari golongan minoritas: cina rasis & kristen fundamentalis.
Sekali lagi, in war, faktor moral pegang peranan penting. Itu diajarkan semua ahli perang seperti Goebbels dan Carl von Clausewitz. Karena itu, citra Ahok hebat perlu selalu dijaga. Agar moral prohok tidak rusak. Sehingga mereka bisa lebih bringas, sekaligus ngga tau malu.
Prohok katak dalam tempurung ini coba diyakinkan bahwa Ahok masih kuat.
Isue disintegratif itu adalah menyebar hoax dukungan Gubernur Papua, Panglima Perang Dayak dan Laskar NTT. Selain, tentu saja, memfitnah MUI.
Namanya kebusukan, sooner or later, pasti tercium. Dalam kasus Ahokers, kebusukan itu cepat sekali terbongkar.
Sehari sesudah mereka menggoreng isue, Gubernur Papua merilis penyangkalan. Dia menyatakan tidak pernah ngomong akan memerdekakan Papua demi Ahok. Malahan dia bilang Ahokers itu sekumpulan provokator.
Panglima Perang Suku Dayak juga menyangkal hoax dukungan kepada Ahok. Dia datang ke Sulawesi sebagai duta budaya. Tidak urus politik, apalagi urusan politik Ahok di Jakarta.
Terakhir, foto yang diklaim sebagai pemuda NTT yang katanya siyap memerangi FPI ternyata foto kuno gerilyawan Fretelin. Sampai di sini, Oh My God, keterlaluan sekali Ahokers ini.
Ngga sadar, mereka memprovokasi umat Islam dan menyulut peperangan yang tidak mungkin dimenangkan golongan minoritas pro Ahok.
THE END