Argumentum ad hominem adalah berdebat dengan cara menyerang karakter lawan debat. Akibat tak ada lagi argumen representatif. Biasanya, orang-orang seperti ini ketika sudah mulai merasa terpojokkan, akan menyerang karakter lawan debatnya. Sedikit mengutip tulisan ibu Dina Y Sulaiman mengenai istilah ini adalah ketika Budiono nyawapres, Amien Rais menyebut Budiono beraliran neolib. Sebagian pembela Budiono tidak memberikan argumen apapun untuk membuktikan ketidakneoliban Budiono, tapi malah menyerang kepribadian Amien Rais misalnya menyebutnya sering bolos mengajar di kampus. Inilah yang disebut argumentum ad hominem. melawan argumen lawan dengan menjelek-jelekkan kepribadian si lawan. Tentu saja, ini cara berdebat yang salah kaprah. Bangsa kita tidak akan maju-maju kalau logika yang salah ini terus dipertahankan. Masih kata Bu Dina, contoh lain adalah ketika Ahok melakukan sebuah kebijakan yang merugikan pihak X, misalnya. Bukannya berdebat ilmiah, tapi X langsung mencerca, “Dasar Cina!”. Inilah argumentum ad hominem. Inilah cara berdebat yang tidak pakai otak. Kelak kita semua dapat mencerdaskan diri dan menjauhkan diri dari fallacy yang satu ini.
Namun ada beberapa studi kasus yang cukup menarik perhatian saya. Adalah tentang konflik Suriah antara islam suni dan syiah, dimana orang-orang syiah yang berdebat dengan islam suni di Suriah, di negara lain dan termasuk di Indonesia tentu tidak akan bisa mengambil sikap untuk tidak ber-argumentum ad hominem. Kenapa? Karena orang-orang syiah yang sudah tentu membenci islam suni akan terus berlindung dibalik identitas ke-syiah-annya. Orang-orang syiah ini akan menerapkan prinsip taqiyah, yaitu merahasiakan identitas ke-syiah-annya. Jelas saja, orang-orang syiah ini tidak akan pernah bisa berdebat dengan cerdas, mereka tidak dapat memberi argument. Sebagus apapun. Semenarik apapun. Seperti yang kita ketahui bahwa syiah adalah ajaran sesat, maka argumen apapun yang orang-orang syiah ini lontarkan, semua hanyalah omong kosong besar.
Menurut majalah Hidayatullah.com, taqiyah adalah salah satu rukun kewajiban untuk orang-orang syiah. Orang syi’ah memahami bahwa taqiyah adalah merahasiakan keyakinan dari para lawan syi’ah yang bisa merugikan agama dan jiwanya. Padahal berdasarkan ahlus sunnah, konsep taqiyah sesungguhnya adalah memberlakukan taqiyah terhadap orang-orang kafir. Dalam paradigma Islam, menyembunyikan keyakinan di hadapan orang kafir dibenarkan jika dalam kondisi darurat. Hukumnya boleh, tidak wajib.
Seperti dalam firman Allah swt: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS: Al-Nahl : 106).
Jadi, ada perbedaan mendasar antara taqiyah dalam Ahlus Sunnah dan Syiah. Ahlus Sunnah mensyaratkan dalam kondisi darurat. Darurat ini ukurannya seperti ukuran dalam fikih. Yakni nyawa terancam. Sedangkan Syiah, tidak ada syarat seperti itu. Bahkan merupakan kewajiban agama di tengah mayoritas golongan lain.Taqiyah dalam Syiah bukan dispensiasi, tapi kewajiban asasi. (Hidayatullah.com)
Maka, tidaklah heran ketika orang islam suni dan beberapa orang islam yang sangat tak suka dengan ketaqiyahan orang syiah, mewajarkan tindakan argumentum ad hominem kepada para pendukung syiah, yaitu menyerang identitas orang-orang yang membela rezim Bashar Al-Assad. “Eh si dia tuh syiah lho, ga usah dengerin apa yang dia bilang”. Sebenarnya, komentar ini adalah pilihan terakhir. Kalopun orang-orang syiah ini mau berdebat, bisa saja dilayani. Tetapi, saya pikir memang akan menjadi sia-sia. Syiah, ketika mendengar namanya saja, para penentangnya akan alergi duluan. Bagaimana tidak? Syiah memang sesat. Mau sebagus apapun argumen dan alasan yang mereka kemukakan, semuanya hanyalah omong kosong. Penuh kebohongan. Mereka akan melakukan apapun, termasuk berbohong demi melindungi prinsip ke-taqiyah-annya sendiri.
Ciri lain bahwa orang-orang syiah ini suka berbohong adalah mereka menggunakan ilmunya untuk melindungi identitas sejati mereka. Maka, dipaksa untuk mengaku bahwa mereka syiah adalah sia-sia. Mereka akan berbohong untuk melindungi kesyiah-annya. Bahkan yang paling licik, mereka akan melakukan pencitraan diri dengan cara apapun untuk membuat orang lain menganggap mereka bukan syiah, demi satu hal, menyebarkan informasi dan dukungan terhadap rezim Bashar Al-Assad. Menyebarkan pemahaman-pemahaman bahwa suriah itu bukan konflik syiah-suni, tetapi mengalihkannya ke persoalan zionis. Kenali saja tulisannya, ketika mereka menuliskan bahwa islam suni adalah pemberontak. Kalimat ini saja sudah menjadi bukti bahwa mereka syiah, pro rezim penguasa Suriah yang notabene adalah syiah dan membenci islam suni.
Orang syiah adalah orang yang sudah tidak bisa diajak berdialog. Selama mereka berlindung dibalik ke-syiah-annya, saat itu juga jalan dialog tertutup. Berbohong dan melindungi diri dengan segala cara adalah pekerjaan sehari-hari mereka. Maka, ketika ada yang bilang “dia itu syiah”, saya pikir itu cukup untuk mematahkan argumen-argumen mereka yang kosong.
Lantas, apakah hal semacam ini bisa disebut dengan argumentum ad hominem?tergantung konteksnya, untuk urusan selain syiah dan tetek bengeknya sudah jelas tidak. Karena tameng ke-taqiyah-an syiah akan selalu jadi penghalang dialog-dialog cerdas.
Wahai, Syiah. Penyerangan karakter penentangmu kepadamu adalah bukti bahwa merekalah yang cerdas, bukan kalian.
Biodata Penulis
Rena Erlianisyah Putri, dengan nama pena Rere Karerina