Euforia peningkatan perolehan suara partai yang berazas Islam pada pemilu 2004 yang fenomenal dalam percaturan politik Indonesia ternyata tidak memberikan cukup pelajaran bagi elit-elit politik partai tersebut untuk menyadari bahwa suara yang meningkat sedemikian dahsyatnya, sekitar 600% dari perolehan sebelumnya di pemilu 1999, merupakan kontribusi terbesar dari bukti kerja militan para kadernya dengan membawa panji-panji Islam dan memberikan efek ganda untuk mempengaruhi kesadaran ummat.
Bahwa dihadapan mereka ternyata masih ada harapan baru dengan munculnya generasi ummat yang penuh dengan semangat baru untuk membawa secercah perubahan dalam tubuh bangsa ini yang sudah sekian lama terpuruk karena berbagai persoalan multidimensi.
Euforia para elit partai tersebut yang tidak dibarengi sikap tawadlu’ semakin menunjukkan langkah-langkah yang bertentangan dengan semangat dan nilai-nilai yang selama ini menjadi prinsip dan syi’ar mereka dimulai sejak tahun 2004 sampai akhir-akhir ini. Mungkin saja mereka sempat bersyukur, tapi syukur yang bagaimana?
Karena sejatinya sikap bersyukur itu harus tercermin dengan semakin tawadlu’nya seseorang atau sekelompok kecil maupun besar orang terhadap Robbnya, Penciptanya. Dengan bukti ia atau sekelompok orang tersebut makin sadar dan teguh untuk berpegang pada nilai-nilai Robbnya. Bukan malah makin menunjukkan langkah-langkah yang menjauh dari nilai-nilai Robbnya.
Bukti euphoria yang kebablasan itu kenyataannya semakin diperparah dengan mulai dicanangkannya ‘wacana keterbukaan’ melalui Mukernas Majlis Syuro partai berazas Islam tersebut di Provinsi Bali pada bulan Februari 2008, sebuah provinsi tempat pusat agama berhala yang sangat bertentangan dengan prinsip da’wah partai tersebut yaitu menjunjung tinggi ajaran Tauhid yang mengesakan Allah saja. Tak ayal lagi, wacana tersebut mengundang sejumlah kontroversi baik dari eksternal apalagi dari internal partai tersebut. Wacana yang sangat dipaksakan.
Nampaknya konsep keterbukaan tersebut sudah disiapkan dan dijadikan grand design oleh segelintir pengendali tingkat elit partai berazas Islam tersebut. Berdasarkan informasi media, hasil Mukernas Majlis Syuro partai tersebut gagal menghasilkan keputusan bahwa kebijakan partai ke depan adalah menjadi partai terbuka. Bahkan Bayan partai tersebut yang dimuat separuh halaman koran Republika beberapa hari setelah penutupan mukernas menjelaskan bahwa partai tersebut tetap merupakan partai eksklusif.
Yang jadi persoalan adalah karena mungkin sudah kadung jadi hidden agenda segelintir elit partai tersebut, walaupun sudah menjadi keputusan Majlis Syuro yang merupakan keputusan tertinggi partai menolak konsep keterbukaan, konsep tersebut yang tadinya hanya wacana terus digulirkan dengan berbagai maneuver politik oleh segelintir politisi muda partai berazas Islam itu dengan tujuan agar dapat meraup suara semua kalangan dan bisa meraih 20% suara pemilu 2009.
Yang terjadi adalah maneuver politik keterbukaan kenyataannya memunculkan gaya berpolitik sekuler dan mengarah pada wacana-wacana politik controversial yang menyakitkan dan membingungkan ummat. Seperti tidak ada dikotomi lagi antara ideologi Islam dan nasionalisme, diskursus ideologi Pancasila dan UUD’45 telah final bagi partai yang mengaku partai da’wah itu, syari’at Islam adalah agenda masa lalu, memberikan gelar pahlawan dan mengangkat Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa, dan lain-lain. Akhirnya “mengharap burung di langit, punai ditangan dilepaskan”.
Agenda besar partai yang dikelola oleh sebuah tim yang mereka sebut dengan Tim Pemenangan Pemilu Nasional (TPPN) yang diketuai oleh politisi bernama Anis Matta, begitu yakin dengan gembar gembornya bahwa program-program partainya yang akan digulirkan sepanjang tahun dapat mendongkrak suara partainya untuk meraih 20%. Nyatanya, walaupun penghitungan manual KPU belum selesai, tapi quick count sebagai sebuah pendekatan ilmiah dan sudah terbukti di pemilu 2004 dan di setiap pilkada hasilnya mendekati kebenaran dengan margin error sekitar 1%, menunjukkan perolehan suara partai yang mengaku partai da’wah tersebut hanya mampu nangkring di angka 7,8%.
Jauh dibawah target bombastis 20%. Paling banter kalaupun ada perubahan mungkin hanya mampu mencapai angka dibawah 10%. Biasa untuk menghibur diri, komentar yang dikeluarkan oleh sebagian politisi partai itu berdasarkan penghitungan mereka sendiri katanya partai mereka bisa meraih angka sampai 13%???
Dengan fakta seperti ini berarti program keterbukaan yang high-economy (high cost) dan high-human capital telah gagal total. Harusnya para kader partai ini yang berbasis well-educated dan well-informed menggugat ketua TPPN dan jajarannya untuk bertanggung jawab terhadap langkah-langkah dan program politiknya yang merugikan harga diri partai dan menguras energi dan potensi partai dan kader hanya untuk bertaruh yang bisa jadi tidak diridloi Allah swt karena banyak menggunakan cara-cara yang mencederai nilai-nilai da’wah bahkan menjurus pada ikut mempromosikan kemaksiatan dengan berkampanye meniru kampanye partai-partai sekuler dengan dangdutan, mengundang penyanyi-penyanyi wanita yang berlenggak lenggok dihadapan khalayak kaum pria, sementara kader disuruh usbu’ruhiy (meningkatkan keimanan). Ironis memang!
Para elit partai ini dan sekujur jajarannya sepertinya tidak mau mengambil pelajaran penting dari ayat-ayat Allah. Dulu ada tokoh partai nasional yang notabene muslim dengan bahasa lain mengatakan kalau partainya memakai baju Islam akan terasa sempit. Kenyataannya partai itupun tidak mampu leading.
Sekarang partai yang mengaku partai da’wah beretorika dengan subtansi yang sama tetapi dengan bahasa yang beda yaitu melakukan deideologisasi Islam dan syari’at Islam, dan dengan tegas menyatakan masalah ideologi adalah agenda masa lalu. Singkatnya, hal-hal yang berkonotasi Islam militan coba disingkirkan dan dijauhkan. Padahal lompatan suara pemilu 2004 adalah hasil tumpah ruah ummat karena militansi yang ditunjukkan citra partai ini. Pelajaran penting, siapapun yang meninggalkan Islam, Allah pasti akan beri pelajaran dan perhitunganNya sendiri.
Wahai kader da’wah!, jadilah kalian orang yang cerdas dalam menentukan nasib berpolitik. Berorganisasilah dengan cara yang cerdas dan bertanggung jawab. Islam terlalu mulia untuk dipermainkan dengan cara-cara politik pragmatis. WAllahua’lam.
Jakarta, 13 April 2009
Salam Ta’zhim
Muis Saifulhaq
Email: [email protected]