“Anak-anakku semuanya, kalau kamu sudah dapat pendidikan Islam dan kalau kamu sudah sama dewasa, ditakdirkan Allah SWT yang Maha luhur, kamu dijadikan orang tani, tentu kamu bisa mengerjakan pertanian secara Islam; kalau kamu ditakdirkan menjadi saudagar, jadilah saudagar secara Islam; kalau kamu ditakdirkan menjadi prajurit, jadilah prajurit menurut Islam; dan kalau kamu ditakdirkan menjadi senopati, jadilah senopati secara perintah Islam. Hingga dunia diatur sesuai dengan azas-azas Islam”
(Yogyakarta, 24 Agustus 1925. Wasiat H.O.S. Tjokroaminoto)
Ada yang menarik dalam pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke VI di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 9 Februari 2015. Terutama jika kita cermati pembukaan yang disampaikan oleh sultan Hamengkubuwono X. dalam pidato pembukaannya. Terkuak bahwa Raden Fatah pemimpin kerajaan Demak adalah seorang Penguasa Tanah Jawa yang mendapat mandat langsung dari Kekhilafahan Islam yang berpusat di Turki. Perwakilan Kekhilafahan Islam di tanah Jawa. Hal ini ditandai dengan penyerahan bendera berwana ungu kehitaman bertuliskan Laa Ilaaha Illallah yang terbuat dari kain kiswah Ka’bah. Kini, bendera tersebut masih tersimpan di Museum Kraton Yogyakarta.
Tak cukup sampai disitu, sultan menyampaikan bahwa pada tahun 1903 diadakan kongres Jami’atul Khair yang berlangsung di Jakarta yang dihadiri utusan Kekhilafahan Islam bernama Muhammad Amin Bey. Kongres ini menelurkan fatwa yang berbunyi “Haram hukumnya bagi kaum muslimin untuk tunduk kepada penguasa belanda”. Fatwa inilah yang kemudian menjadi inspirasi perlawanan sengit atas penjajahan kolonialisme Belanda yang mencengkram bumi Nusantara.
Kata sambutan dari sultan HB X tersebut semakin memperkuat pernyataan bahwa kemeredekaan Indonesia diperoleh berkat inspirasi ajaran Islam yang banyak tidak diketahui generasi bangsanya. Entah karena benar-benar tidak tahu atau sengaja disembunyikan. Padahal, kemerdekaan Indonesia tak lepas dari andil besar ceceran darah, serpihan tulang dan daging para syuhada yang beradu dengan mesiu kaum kafir kolonial. Ditambah dengan pekikan takbir yang menggema. Semua atas nama ketidak-relaan tunduk kepada kekuasaan kafir selain dari kekuasaan Allah saja.
Namun anehnya, begitu Indonesia merdeka kaum nasionalis sekuler-lah yang tiba-tiba mengklaim sebagai pemenang dan memegang tampuk kekuasaan. Tak cukup sampai disitu, setelah membajak revolusi Islam, seperti ada upaya sistematis dari mereka untuk membuat lupa para generasi bangsa terhadap keterkaitan masa lalunya dengan Islam melalui berbagai macam propaganda dan kurikulum pendidikan. Benarlah kata pepatah, sejarah ibarat ingatan masa lalu bagi diri seseorang, jika dihilangkan maka seseorang akan lupa siapa dirinya dan bagaimana kebesaran masa lalunya. Pun hingga saat ini tatanan hidup di Indonesia dibangun diatas dasar selain Islam. Selain dasar hidup yang diperjuangkan para pendahulunya dengan kucuran keringat, air mata bahkan darah.
Ambillah sebagian contohnya, ketika peringatan hari kebangkitan Nasional ditandai dari berdirinya organisasi Budi Oetomo pada tahun 1905. Padahal Budi Oetomo adalah organisasi untuk kalangan dan lingkup tertentu saja yaitu hanya sebatas pulau Jawa dan anggotanya hanya dari kalangan bangsawan yang berpihak kepada Belanda. Padahal 3 Tahun sebelum berdirinya Budi Oetomo telah lahir suatu organisasi perlawanan yang melegenda dengan ruang lingkup seantero nusantara yaitu Sarekat Islam (SI) dan beranggotakan dari berbagai lapisan masyarakat. Dipimpin oleh seorang ulama kharismatik bernama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto yang dijuluki Belanda raja tanpa mahkota. Beliau juga dikenal sebagai singa podium dan Bapak para pendiri bangsa. Para anggota SI banyak yang menjadi langganan keluar masuk tahanan Belanda akibat gagasan perlawanannya. Hal ini amat berbeda dengan para tokoh Budi Oetomo yang toleran dan bersahabat dengan penjajah Belanda. Tetapi organisasi Budi Oetomo-lah yang ditetapkan sebagai tonggak kebangkitan Nasional oleh pemerintah NKRI.
Islam telah menjelma menjadi sumber perlawanan di tanah air melawan kolonialisme karena Islam bukanlah ajaran yang hanya berisi tentang cinta kasih dan lemah lembut belaka namun juga dapat menjadi inspirasi gelora perlawanan atas segala kedzaliman dan penjajahan yang ada diatas bumi Allah. Jika ajaran Islam hanya berisi cinta kasih maka Islam takkan mampu menjadi bahan bakar semangat perlawanan. Keras dan lemah lembut dipadukan secara proporsional dalam ajaran Islam. Dalam ideologi Islam, penjajahan adalah suatu kondisi dimana manusia terkungkung oleh kekuasaan yang membuatnya keluar dari jati diri yang sesungguhnya yaitu sebagai hamba Allah. Hamba yang hanya layak tunduk mengabdi kepada kekuasaan Allah saja yang telah menciptakanNya dari ketiadaan. Bukan kepada kekuasaan makhluk meskipun yang berkuasa itu adalah bangsanya sendiri. Karena sekali lagi bagaimanapun manusia adalah hamba Allah yang memiliki tugas beribadah kepadaNya saja.
Atas dasar itulah kolonialisme Eropa mendapatkan perlawanan sengit bukan hanya di Tanah Jawa namun di seantero Nusantara. Di Aceh, Sumatera Barat, Makassar, Ternate Tidore, Kalimantan, Maluku dll. Dan tidak hanya di Indonesia, bahkan diseluruh negeri-negeri muslim di dunia. Di belahan mana lagi kolonialisme bangsa Barat mendapat perlawanan sengit jika bukan di Negeri-negeri muslim. Di Libya, siapa tak kenal sang singa padang pasir Omar Mukhtar yang hanya untuk melumpuhkan 10.000 pasukannya Italia harus mengerahkan 300.000 personil. Di Turki ada Sa’id An Nursi. di Fillipina Selatan, di Mesir, dan yang fenomenal adalah di Afghanistan sebuah negeri gersang dan miskin yang mampu menghabisi kekuatan super power dunia Uni Soviet hingga membuatnya bangkrut.
Islam adalah gelora inspirasi perlawanan, hal ini amat disadari betul oleh penjajah Barat. Seorang orientalis Barat bernama Snouck Hugronje yang ditugaskan untuk meneliti sumber kekuatan masyarakat Islam Aceh. Berbaur dengan menyamar sebagai seorang ulama bernama Abdul Gaffar. Ketika itu belanda amat kewalahan menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Akhirnya ia mengambil kesimpulan dan berkata “Musuh utama dari kolonialisme bangsa Barat bukanlah Islam sebagai agama ritual, tetapi Islam sebagai doktrin politik”.
Begitupun dengan Kaisar Jerman, meskipun umat Islam diberbagai belahan dunia dalam kondisi lemah dan tertinggal namun potensinya tetap membuat segan dan gentar lawan-lawannya. Sebagaimana yang tercermin dari pernyataannya yang berpidato pada perayaan ulang tahunnya yang ke 70. Dia berkata “Ketahuilah, seandainya saja umat Islam menyadari bahwa Allah memerintahkan mereka untuk menyerbu Barat yang sudah rusak untuk kemudian menundukkan mereka dibawah kehendakNya, maka mereka pasti akan dapat menyerbu kita seperti gelombang pasang yang tak terbendung oleh siapapun bahkan oleh kaum Bolshevik yang paling militan dan gemar bertempur” (Evening Standard, London, 26 Januari 1929).
Bangsa Barat yang menyadari betul potensi besar yang dimiliki Islam mengubah metode penjajahan dari penjajahan fisik yang menghadapi perlawanan tangguh dari pejuang Islam, menjadi penjajahan budaya dan pemikiran hingga generasi Islam terpalingkan dari sumber kekuatan utamanya kemudian perlahan-lahan mengekor gaya hidup dan pola pikir mereka. Membuat mereka terpecah-pecah tak berdaya sampai benar-benar lemah dan setelah itu mereka akan kembali datang untuk berkuasa penuh atas Islam dan kaum muslimin. Adalah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menyadarkan generasi Islam terhadap kebanggaanya yang selama ini luput dari pengelihatan akibat metode perang pemikiran ini. Bahwa dengan kebanggaan itulah mereka akan mampu mengguncang dunia timur dan barat sebagaimana generasi terbaik Islam dulu melakukannya. Kehinaan umat Islam akibat berpaling dari ajaranNya dan kejayaannya hanya dengan kepatuhanNya kepada sang Pencipta langit dan bumi.
Ketahuilah !, Inspirasi perlawanan itu adalah Islam. Dan bendera kejayaanNya akan kembali berkibar dengan slogan khas perlawanannya yang menggentarkan para penjajah “Isykariman au mut syahidan” yang berarti “Hidup mulia atau mati sebagai syuhada”.
Biidznillah !
Maha Benar Allah dengan segala firmanNya :
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayanya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai”. (QS. At Taubah 32)
“Dan katakanlah: “Yg benar telah datang dan yg batil telah lenyap”. Sesungguhnya yg batil itu adalah sesuatu yg pasti lenyap.” (QS.17:81)