Saya baru membaca buku ini. Benar kata orang, "don’t judge the book from it’s cover". Buku saku ini entah sudah berapa kali diperbanyak, dan yang saya pegang ini jelas bukan aslinya. Nama penulis dan penerbitnya pun tak pernah saya dengar. Tapi saya terperanjat dengan isinya yang sama sekali mengungkapkan hal berbeda dari yang saya pahami selama ini.
Buku ini berisi potongan-potongan surat-surat Kartini kepada beberapa orang. Ada yang berisi tentang cita-citanya, kekecewaannya terhadap praktek kolonialisme, kesenjangan sosial, dan lain-lain. Tapi yang paling membuat saya terperangah adalah potongan suratnya kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902; “Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya. Kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendididk manusia yang pertama-tama.” Dan juga potongan suratnya kepada Ny. Abendanon, 10 Juni 1902; “Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang Jawa yang kebarat-baratan.”
Jadi selama ini kita salah mengartikan perjuangan Kartini. Atau lebih tepatnya sengaja dibuat salah untuk mengekalkan praktek kolonialisme yang belum selesai hingga saat ini. Kesalahan mengartikan perjuangan Kartini membuat Kartini menjadi simbol bagi perjuangan kesetaraan perempuan dengan laki-laki. Kartini ditunjukkan sebagai sosok pribumi yang menentang adat turun temurun, dan ingin modernisasi dialami oleh kaum wanita. Semakin lama, penerjemahannya menjadi semakin keliru. Wanita sekarang ingin emansipasi, memasuki semua kancah kehidupan yang sebelumnya hanya diperuntukkan untuk laki-laki. Wanita ingin lebih daripada laki-laki dalam segala hal. Sampai-sampai kodratnya sebaga ibu malah dianggap sebagai pengekangan terhadap kebebasan dan potensinya.
Dari awal Kartini tidak menginginkan wanita mengalahkan laki-laki. Kartini justru memperjuangkan agar wanita mendapat pendidikan, untuk bisa mengoptimalkan perannya. Menjadi ibu pengawal generasi, adalah hal yang mulia. Seperti mulianya laki-kali yang menafkahi keluarganya. Islam sudah mengaturnya. Masing-masing memliliki tugas. Kehancuran yang akan timbul jika kodrat ini tak terpenuhi. Indonesia cukup bisa menjadi salah satu contohnya. Dengan mudah kita bisa melihatnya dimana-mana.
Kartini juga tidak mau identitas bangsanya terhapus karena masuknya budaya bangsa lain. Keinginanya sekolah ke Belanda tidak menjadikannya ingin menjadi seperti orang Belanda. Pertemanannya dengan orang-orang Eropa, tidak menjadikannya ingin mengikuti gaya hidup mereka, karena Kartini melihat banyak yang salah dalam gaya hidup mereka, terutama dalam kebebasannya. Kebebasan seperti itu sangat bertentangan dengan budaya Jawa yang banyak diwarnai oleh Islam.
Maka saya ingin kita, para wanita menjadi wanita seutuhnya, melakukan tugasnya sebagai ibu dengan sebaik-baiknya. Membangun bangsanya dengan membentuk generasi yang tangguh. Seperti potongan surat Kartini kepada Ny. Abandenon, Agustus 1900; “Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya.”
Ibu Herlin Syaiful
Ibu Rumah tangga, tinggal di Sarijadi, Bandung
[email protected]