Sebagai mualaf, Deddy juga setahu saya belum paham soal aliran-aliran di dalam Islam. Jadi tak perlu heran jika beliau akrab dengan ustadz Wijayanto, mengagumi Aa Gym, lalu tiba-tiba merapat ke UYM dan Ma’ruf Amin, eh kemudian disyahadatkan oleh Gus Miftah.
Awam politik plus awam agama, ya memang seperti itu contoh konkritnya. Tak perlu heran dan tak perlu berpikiran negatif. Namanya juga orang awam.
Sebagai mualaf, Deddy masih memandang Islam itu secara general saja. Dia belum paham soal aliran-aliran di dalamnya, belum paham soal NU, Muhammadiyah, ikhwanul muslimin, jamaah tabligh, pro tahlilan vs anti tahlilan, dst.
Ya, maklumi saja, doakan, dan jika memungkinkan arahkan dia agar bisa mengarah ke Islam yang lurus sesuai Al Quran dan Sunnah.
Perlu juga Anda pahami, bahwa mualaf itu biasanya masih belum 100% move on dari agama lamanya. Kadang-kadang dia masih suka membanding-bandingkan, misalnya berkata, “Untuk urusan A, agama lama gue lebih baik dari Islam.”
Dulu orang tua saya juga mualaf. Saya menyaksikan sendiri bagaimana ketika ibu saya selama BELASAN TAHUN masih suka membanding-bandingkan Islam dengan agama lama kami. Namun sejak rajin ikut pengajian, alhamdulillah ibu saya berhasil move on 100% ke ajaran Islam.
(NB: Sekalian meluruskan, yang mualaf adalah orang tua saya. Ketika itu saya masih berusia 5 tahun, jadi saya masuk Islam hanya ikut orang tua)
Karena itulah, mualaf itu umumnya butuh bimbingan, butuh pengarahan, ditemani, bahkan berhak menerima zakat agar dia senang. Bukan malah dijauhi, dibully, dicaci-maki, dan sebagainya.
Semoga tulisan ini bisa dipahami, dan maaf bila tidak berkenan.
Jakarta, 22 Juni 2019
Jonru Ginting
[kk/wa]