Oleh : Abu Fikri (Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia)
Kemarin 22 Juli, pengumuman hasil riil count pilpres oleh KPU sudah disampaikan. Hasilnya tidak berbeda jauh dengan prediksi perhitungan quick qount sebelumnya. Misalnya yang dirilis oleh RRI. Selisihnya kurang lebih 0,23 persen. Dan seperti yang sudah diprediksikan sebelumnya pemenangnya adalah Jokowi-JK. Tetapi hasil riil count oleh KPU itu ditolak oleh kubu Prabowo-Hatta. Bahkan disikapi dengan tanpa melalui mekanisme formal yang dikehendaki. Apalagi kalau bukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang sering dijadikan dalih oleh KPU. Dan menjadi diktum pidato Prabowo menyikapi hasil riil qount pilpres. Sikap Prabowo ini mengindikasikan bahwa kontestasi pilpres kemarin pada hakekatnya hanya diikuti oleh satu pasangan capres cawapres yakni Jokowi-JK. Atau tidak diakuinya proses kompetisi 2 capres cawapres kemarin. Tak ayal ini mendapatkan respon berbagai pihak. Termasuk kekhawatiran pada bursa saham di negeri ini. Secara khusus juga Wiranto sangat menyayangkan sikap Prabowo yang dianggap kurang bisa legowo sebagai seorang negarawan. Di tengah himbauan seruan damai agar bisa menerima kenyataan hasil riil qount pilpres.
Jika Prabowo tetap keukeuh dengan pendiriannya maka ini menjadi sikap politik yang menarik. Tetapi sebaliknya jika Prabowo merubah sikap politiknya dengan mentolerir berbagai penyimpangan pada prosesi pilpres kemarin justru menjadi sebuah pertanyaan besar. Yakni benar adanya dugaan bahwa setiap friksi kepentingan politik para elite politik maupun elite penguasa akan disudahi dengan kompromi politik. Dalam kondisi seperti ini maka aspirasi rakyat dalam bentuk hak pilih hanya menjadi obyek eksploitasi politik untuk memenangkan bargaining of power (tawar menawar kekuasaan) antar elite. Hal itu bisa diuji dari seberapa jauh jawaban riil policy para penguasa menyikapi berbagai persoalan yang mendera negeri ini. Misalnya tentang kenaikan BBM, upah buruh, kemiskinan, pengangguran, SDA dieksploitasi oleh asing, hutang luar negeri membumbung tinggi, kedaulatan negara dan lain-lain. Sepanjang tidak terjadi perubahan mendasar atas berbagai problem di atas diantaranya maka sesungguhnya pergantian pilpres dari waktu ke waktu hanya menjadi ritual politik tanpa isi. Khususnya, dalam bentuk keberpihakan nyata terhadap kepentingan rakyat. Apalagi berpihak pada kepentingan aspirasi umat islam yang menjadi mayoritas negeri ini. Yakni aspirasi akan penerapan syariat islam di semua aspek kehidupan.
Keberpihakan terhadap kepentingan rakyat ini relevan dipertanyakan karena produk legislasi di negeri ini kebanyakan seperti pisau bermata dua. Pertama, menindas rakyat dan kedua, berpihak pada kepentingan asing. Salah satu indikator berpihak kepentingan asing bisa dilihat dari bagaimana profile hutang luar negeri Indonesia. Ada 3 lembaga dan 3 negara yang rutin memberikan hutang. 3 lembaga itu antara lain IDB, ADB dan World Bank. Sementara 3 negara itu antara lain Perancis, Jerman dan Jepang. Kelihatan seolah-olah AS tidak muncul padahal sejatinya menjadi kekuatan politik di balik lembaga-lembaga donator internasional. Dan kita juga memahami bahwa Jerman, Perancis, dan Jepang adalah sekutu-sekutunya. Mereka bersaing untuk memperebutkan kue jajahan dan jarahan di Indonesia melalui pemberian hutang. Indikator yang lain terbaru adalah kunjungan Clinton yang tidak bisa hanya dimaknai sebagai kunjungan biasa saja. Apalagi juga terdengar kabar bahwa James T Riady yang menjadi bos Lippo Group baru-baru ini mendapatkan visa kembali bisa masuk ke AS. Pasca sebelumnya dilarang karena keterlibatannya pada pilpres jaman Clinton. Dan diduga mengkoneksikan dengan jejaring intelijen China. Hubungan Clinton, James T Riady dan Jokowi sebagaimana banyak analisis menyebut punya kedekatan khusus. Dan inilah salah satu bukti kuat sejak awal terutama melalui rekayasa opini media keseriusan Jokowi diantarkan ke RI 1. Dan semuanya menjadi terbukti bahwa Jokowi akhirnya benar-benar menjadi RI 1. Tinggal menunggu sepak terjang politiknya terutama dalam menyusun kabinet dan menggerakkan roda pemerintahan. Benarkah Jokowi sebagai sosok seperti yang digambarkan selama ini. Yang sulit dipahami justru adalah bagaimana fakta kepentingan politik asing dan aseng akan bermain di balik kekuasaan Jokowi. Yang jelas negeri ini saat ini menghadapi kenyataan politik, dipimpin oleh Jokowi sebagai RI 1. Dan Ahok yang China Nasrani menjadi pimpinan pusat kekuasaan negeri ini DKI 1. Sulit rasanya untuk tidak mengatakan bahwa Jokowi bukan menjadi antek asing dan aseng jika melihat track recordnya selama ini. Diantaranya pertama, pemberian IMB gedung Kedubes AS di Jakarta yang disinyalir sebagai pusat intelijen, spionase dan militer strategis untuk mengendalikan kawasan Asia Pasifik. Kedua,kemungkinan ditutupnya kasus BLBI yang melibatkan banyak Aseng konglomerat hitam. Keberpihakan kepada kepentingan Asing dan Aseng ke depan kemungkinan akan lebih diperkuat melalui pembuatan desain kerangka legislasi sebagai legitimasi formal konstitusional. Dengan dalih sesuai amanah UU dan atas nama amanah rakyat.
Nampaknya keabsahan hasil pilpres ini menyisakan berbagai persoalan tidak saja hasil prosesi pilpres yang ditolak oleh kubu Prabowo Hatta karena dianggap cacat hukum. Melainkan juga landasan yuridis formal karena dikabulkannya uji materiil kelompoknya Efendy Ghozali CS dan Yusril Ihza Mahendra beberapa waktu yang lalu yang mempertanyakan legalisasi pilpres. Dan tetap saja so must go on. Untuk kesekian kalinya dalam pandangan para pembela Demokrasi dan para pengikutnya, Demokrasi dianggap mengalami berbagai ujian di tengah mahalnya biaya yang dihabiskan dari duit rakyat. Sampai kapan kondisi kerusakan sistemik akibat implementasi sistem politik Demokrasi ini berulang terjadi. Sementara sudah jelas disadari oleh mayoritas bangsa yang muslim ini bahwa Demokrasi adalah sistem kufur buatan manusia. Hanya dengan sistem Islam yang memuat ajaran jihad, syariah dan khilafah sesungguhnya semua kemelut persoalan mampu dipecahkan. Berhentilah bermain dengan kesia-siaan dengan menggunakan hukum buatan manusia Wahai Para Penguasa. Bulan Ramadhan penuh dengan kemuliaan ini dimana dunia muslim terus didera oleh berbagai persoalan terutama kaum muslim di Gaza Palestina yang dinvasi oleh Israel laknatulloh, harusnya dipenuhi dengan upaya untuk senantiasa meningkatkan ketaqwaan sebagaimana perintah Allah Subhanahu Wa Ta’alla. Baik ketaqwaan individu, kelompok, masyarakat dan negara. Dengan jalan hanya menggunakan aturan yang datang dari Allah Subhanahu Wa Ta’alla semata. Ingatlah Firman Allah Subhanahu Wa Ta’alla di dalam QS An Nisa 60 : “Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu ? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya”. Wallahu a’lam bis shawab.