Persoalannya, tidak mudah membuktikan apakah suatu pengobatan oleh paranormal atau dukun, berakibat sakit lebih lanjut, terkecuali cacat fisik. Sebagai contoh, seseorang yang sebenarnya terkena penyakit liver, lalu berobat ke paranormal dan ternyata sakitnya bertambah parah. Tentu perlu pemeriksaan medis untuk mendapatkan bukti jika sakit lanjutannya disebabkan oleh pengobatan alternatif.
Artinya, tidak mudah untuk membuktikan unsur tersebut. Jika pun dilakukan pembuktian terbalik, di mana paranormal itu diminta membuktikan dirinya memiliki kekuatan gaib, juga harus disertakan ahli yang memahami ilmu gaib. Sementara ilmiah- termasuk medis, tidak dikenal hal-hal demikian itu.
Selain pasal santet, pasal-pasal lain dalam RUU KUHP memang sangat kontroversial. Pemidanaan pasangan kumpul kebo juga multitafsir dan akan bersinggungan dengan ranah agama serta ada-istiadat. Sebab dalam UU Perkawinan, nikah siri dan nikah adat diakui, namun ada embel-embel harus didaftarkan. Jika menggunakan tafsir dalam RUU KUHP, apakah pasangan nikah adat dapat dipidana karena tidak terdaftar sehingga dapat mengabaikan UU Perkawinan yang bersifat lex specialis?
Belum lagi pasal karet terkait penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Sejak dahulu pasal ini sudah ditentang karena berpotensi membukam kritik. Frasa “penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden” tidak memiliki batasan yang jelas sehingga setiap kritik terhadap Presiden atau Wakil Presiden akan sangat mudah ditafsirkan oleh aparat penegak hukum sebagai bentuk penghinaan.
Kita mendesak DPR dan pemerintah untuk menunda pengesahan RUU KUHP ternyata masih banyak mengandung kelemahan. Cukup sudah warisan yang ditinggalkan anggota DPR dan pemerintahan periode 2014-2019 dengan “mengamputasi” kewenangan KPK. Jangan ditambah yang lain.
Salam @yb
(sumber)