Kabid Pelayanan Kesehatan Dinkes Kabupaten Pasuruan, Ugik Setyo Darmoko mengingatkan pengobatan seperti yang dilakukan Ningsih tidak bisa dipertanggung-jawabkan dan tidak bisa dinalar karena semua pasien dianggap terkena santet. Padahal mungkin saja warga yang datang terkena penyakit berbeda-beda sehingga mestinya penanganannya juga berbeda.
“Pasien yang muntah darah karena penyakit liver dianggap terkena santet lalu diobati dengan cara-cara yang tidak tepat, tentu sangat berbahaya,” ujar Ugik.
Pengobatan alternatif seperti dilakukan Ningsih Tinampi bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia. Pihak-pihak terkait seolah tutup mata meski praktik pengobatan seperti itu tidak jarang memakan korban. Bukan hanya karena penanganannya yang tidak ilmiah sehingga pasiennya justru bertambah sakit, tetapi juga dalam beberapa kasus hanya bertujuan untuk mencari keuntungan finansial.
Aparat keamanan biasanya baru bisa bertindak jika ada laporan dari korban. Proses hukum yang kemudian dilakukan juga hanya sebatas pada dugaan penipuan karena , semisal pasien sudah mengeluarkan uang hingga puluhan juta tapi sakitnya justru semakin parah.
Namun jika RUU KUHP disahkan menjadi UU akhir September ini, paranormal alias dukun yang mengaku memiliki ilmu gaib bisa dipidana, bukan lagi semata karena delik penipuan yang berakibat pada kerugian harta benda.
Mari kita lihat draf lengkap pasal santet dalam RUU KUHP, “Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV“.
Secara harfiah, pasal itu dapat ditafsirkan jika pasien Ningsih Tinampi atau dukun lainnya, mengalami sakit setelah diobati maka bisa pasien bisa melaporkan dan polisi dapat menggunak pasal itu untuk menjeratnya.