Kembali ke Kalora adalah kembali melihat sejarah, kembali berjumpa dengan situs kenangan. Kembali melihat puing-puing derita masyarakat akibat ulah orang-orang serakah. Kembali ke kampung halaman ini, saya seolah kembali merasakan gejala derita itu kembali hadir. Derita yang pernah ditanggung masyarakat Kalora dan Poso umumnya. Rumah habis terbakar, kenangan di kampung halaman pun ikut habis tak bersisa, ada pula yang meregang nyawa, terpaksa merelakan sanak saudaranya pergi. Dan …Semuanya hilang tanpa pertanggungjawaban. Ah…sudahlah, mengusik peristiwa keji itu, kita kerap disebut memantik kembali luka lama. Walau pada kenyataan hari ini, luka itu diusik kembali oleh negara dengan baju pengamanan sebagai dalih pembenaran mereka.
Poso perlahan kondusif. Masyarakat telah kembali beraktivitas seperti sedia kala. Petani kembali menggarap lahan pertaniannya, pedagang kembali membuka jualannya, guru kembali mengajar, anak-anak kembali tertawa riang bersama teman-temannya. Dan pihak keamanan kembali lebay menjaga keamanan.
Konflik Poso telah berlalu 14 tahun lebih. Rentan waktu itu, masyarakat poso telah melalui proses yang begitu panjang dan melelahkan. Tak mudah mengembalikan trauma kerusuhan itu untuk beraktivitas seolah tak ada yang terjadi. Semua itu dilalui masyarakat poso dengan jiwa yang besar. Dan mereka membuktikan, mereka bisa keluar dari kondisi yang menegangkan itu. Islam dan Kristen rukun dalam satu komitmen perdamaian.
Belakangan keamanan Poso kembali terusik. Pihak keamanan mempertontonkan tindakan keji dan represif dimasyarakat. Tak aneh, bila trauma kerusuhan 1999 kembali hadir. Operasi salah tangkap, salah pukul, dan salah tembak terekam dalam memeori masyarakat Poso. Mereka sudah cukup menderita dengan konflik 14 tahun lalu, maka, operasi salah dan diluar prosedur yang dilakukan kepolisian, jelas mencedrai spirit perdamaian yang telah dibangun masyarakat.
Pagi ini, saya berbincang lepas dengan bapak. Mencoba menghilangkan trauma yang dialaminya selepas operasi salah tangkap 20 Desember lalu. Sampai hari ini, ia kerap dihantui ketakutan, bahkan untuk berangkat mengajar ke sekolah pun berat baginya.
“Pa, tidak mengajar…” sapaku mencoba mencairkan suasana saat kami lama terdiam tanpa kata di teras rumah.
“Hari ini te enak perasaanku…” Jawabnya datar.
“Jangan terlalu dipikirkan, papa sekarang dibawah perlindungan LPSK dan Komnasham. Insya Allah mereka juga akan mendapat ganjarannya.” Ucapku mencoba menerka gerangan yang menjadi beban pikirannya.
“Saya sudah tidak perduli dengan proses hukum, bahkan bila mereka tidak menerima hukuman, saya sudah pasrah. Toh…banyak kasus di Poso ini yang tidak selesai. Semua sudah saya serahkan pada Tuhan. Hukuman dari Allah adalah seadil-adilnya pembalasan.” Keluhnya.
Ya, melawan penegak hukum tidak mudah di republik ini. Keadilan adalah milik mereka yang berkuasa. Hukum sudah tak punya nurani. Beberapa hari selepas percakapan saya dan bapak. Pihak kepolisian datang kerumah. Semula bapak menolak sebab memang tak ingin sudah ia berjumpa dengan Polisi. Sebab terus di desak, bapak akhirnya luluh.
Selapas Jum’at dua orang polisi tanpa seragam mendatangi bapak. Bermaksud meminta maaf atas perlakuan mereka. Ia sampaikan permohonan maaf atas nama instansi kepolisian, mewakili semua pihak yang terlibat.
“Kami mohon maaf atas semua yang terjadi pak, kami mengakui salah. Mewakili teman-teman baik di sini maupun yang di Jawa. Atas nama instansi kami mohon maaf. Kami berharap hubungan siilaturahim tidak putus. Bukankah, antar sesama kita mesti saling memaafkan… ini ada sedikit dari kami untuk mengganti biaya pengobatan.” Polisi itu menutup pembicaraannya sambil menyerahkan amplop.
Melihat polisi itu menyerahkan amplop saya merasa tak enak hati. Merasa bahwa kami dapat diukur dengan uang. Tak bermaksud berprasangka buruk pada geliat kepolisian, tapi saya telah merasakan tindakan tak terpuji mereka. Bahkan berbohong di media pun mereka sudah tak malu. Wajar bila saya merasa ada intrik yang sedang ingin mereka buat kali ini. (Silahkan liat Radar Sulteng edisi 28 Desember 2012 dan 3 Januari 2013. Keterangan Kepolisian bahwa telah mengkonfrontir dan menemui korban semuanya tidak benar).
Pada Polisi itu saya sampaikan bahwa kami menolak pemberiannya. Bukan maksud tak menghargai. Tapi sekarang kami tak butuh uang. Kami hanya butuh keadilan. Padanya saya sampaikan, kenapa permohonan maaf saat kejadian telah berlalu tiga bulan begini. Kompensasi baru diberikan saat desakan dari LPSK dan Komnasham mereka terima. Ini tentu bukan berangkat dari niat yang tulus, tapi lebih pada kondisi yang terdesak. “Seharusnya bila bapak-bapak polisi berjiwa kesatria, punya jiwa kewiraan sebagai seorang aparat keamanan negara, memiliki jiwa yang besar. Seharusnya bukan bapak yang datang memohon maaf disini, tapi oknum pelakunyalah yang langsung mendatangi kami menyampaikan maaf. Bahkan bila perlu, ia dengan jiwa yang besar menyerahkan diri, mengaku salah dan siap diproses sesuai hukum.” Kesahku pada dua polisi itu.
Tindakan-tindakan aparat yang tidak profesional potensial untuk mengusik kembali luka lama. Apalagi bila itu membawa sentimen agama. Pada penangan Poso aparat mesti jeli melihat. Mengevaluasi kinerja dan beritikad memperbaikinya. Wajarlah, bila korban kekerasan polisi menyimpan dendam hingga hari ini. Luka itu kian menganga, bila proses hukum tumpul dan tak bisa tegak dihadapan polisi sendiri. Bukan tak mungkin, luka yang pernah ada akan terakumulasi dalam luapan emosi yang tak terbendung. Jangan salahkan masyarakat bila pada saatnya nanti mereka mencari jalan sendiri untuk keadilan mereka.
Ari Fahry. Sekretaris FLP Sulteng. Keluarga korban salah tangkap Polisi.