Nama ibukota negara Saigon mereka ganti menjadi Ho Chi Minh yang merupakan nama tokoh utana komunis. Nama-nama wilayah yang berbau Melayu dan Sansekerta diganti menjadi nama-nama utara yang sangat China. Nama Indrapura, Paduranga, Air Terang, Bintan, dan segala nama Melayu dan sansekerta lainnya kini sudah musnah. Bahasa Melayu pun kini sudah tak ada. Karena generasi baru di Vietnam memang tak diizinkan belajar bahasa ibu mereka.
Penjajahan agama pun luar biasa. Semua masjid dihancurkan. Sepanjang perjalanan kami dari Ho Chi Minh City ke Paduranga yang berjarak 370 kilometer, hanya ada satu masjid yang berdiri. Itupun bantuan dari pemerintahan Abu Dhabi. Di Paduranga sendiri, yang merupakan pusat Kerajaan Champa, kini hanya memiliki empat buah masjid. Mungkin yang agak tersisa banyak hanyalah di aliran Sungai Mekong, di sekitar Chau Doc yang sudah berada di perbatasan Vietnam-Kamboja. Mayoritas muslim yang berhasil melarikan diri di sini memang agak leluasa.
Kontrol terhadap agama Islam (tidak untuk agama lain) memang luar biasa. Di Vietnam hanya ada satu pondok pesantren tahfiz Alquran Jamiul Azhar yang ikut kami kunjungi. Itupun untuk mendirikannya meminta izinnya luar biasa sulit. Hanya boleh tahfiz Alquran, tak boleh ada pendidikan mata pelajaran lain. Di Vietnam seluruh masjid dikontrol.
Banyak mata-mata komunis di dalam masjid. Bahkan belum tentu semua yabg mengaku ustadz adalah orang Islam. Bisa saja dia mata-mata komunis. Bahkan ketika kami di Paduranga, seorang ustadz asli mengingatkan kami akan seorang yang mengaku ustadz kepada kami padahal dia diduga kuat adalah _spy_ komunis. Kami pun bila bercerita soal komunis harus mengamuflase kata jadi _’ayam’_.