Oleh : Abu Fikri (Aktivis Revivalis Indonesia)
Bukan sesuatu yang tiba-tiba respon terhadap ISIS dilakukan oleh Pemerintah Pusat hingga Daerah. Nampaknya eskalasi penyikapannya semakin meningkat. Sterilisasi dari ISIS yang menjadi simbol terorisme dan radikalisme selain digambarkan sebagai kepentingan dan tanggung jawab bersama. Juga dianggap sebagai jalan lapang terjalinnya kondisi kondusif bagi kepentingan masuknya investasi asing di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Di Sulawesi Selatan misalnya pada Selasa, 14 April 2015 yang lalu telah berhasil diselenggarakan Sosialisasi Sinergitas Penanggulangan Radikalisme dan Terorisme di Ruang Pola Kantor Gubernur, yang dihadiri oleh beberapa narasumber antara lain : KH Hasyim Muzadi, Wakapolri, Kapolda Sulsel, Gubernur Sulsel, BNPT, Pangdam Wirabuana, Jajaran dan Muspida Sulsel. Sedang di deretan hadirin terdiri dari Bupati/Walikota, SKPD-SKPD terkait, MUI, FKPT (Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme) Sulsel (Sulawesi Selatan), Intelijen/Reserse, Aparat Polri TNI, Tokoh-Tokoh Masyarakat dari Ormas maupun Pesantren.
Yang menarik dari forum tersebut adalah kuatnya dorongan pemerintah untuk meletakkan kerangka legislasi yang kokoh sebagai legitimasi penanggulangan terorisme dan radikalisme melalui momentum ISIS. Sebagaimana diungkap oleh Direktur Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Pusat Brigjen Pol Rudi Sufahriadi di antara pemaparannya. Rudi menyampaikan ada 3 treatment legislasi yang harus dilakukan di tengah-tengah tidak adanya sandaran hukum jelas untuk menjerat para veteran mujahidin Syam yang disinyalir berpotensi kembali ke tanah air dalam jumlah ratusan orang. 3 treatment itu antara lain lahirkan undang-undang baru, revisi undang-undang yang ada dan ciptakan perppu. Penjelasan Rudi tersebut diungkapkan dengan mengambil contoh beberapa negara tetangga yang sudah mengimplementasikan internal security act seperti di Singapura atau Malaysia. Yang dianggap efektif untuk mencegah dan meredam potensi radikalisme dan terorisme. Selain Rudi, KH Hasyim Muzadi (Anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang juga mantan Ketua NU) menjelaskan bahwa dibutuhkan peran besar ulama untuk bisa mengurai dan mengkerangkakan pemikiran radikalis. Terutama bagaimana mengarustamakan gambaran Islam Rahmatan Lil Alamin, Islam Moderat, atau Islam Wasathan. Bahkan Hasyim di forum tersebut tidak segan-segan menyampaikan bahwa pemerintah jangan hanya memberikan dana kepada BNPT saja. Melainkan harus diberikan juga kepada NU maupun Muhammadiyah sebagai stimulan peran kedua ormas islam tersebut melalui para ulamanya di dalam kerangka penyadaran umat. Sebagaimana Rudi, di akhir pemaparannya, Hasyim juga menandaskan pentingnya kerangka legislasi pada gerakan penanggulangan terorisme dan radikalisme di Indonesia. Selain point-point di atas ada beberapa point penting lain yang diungkap oleh KH Hasyim Muzadi dalam forum tersebut. Antara lain : Pertama, bahwa euforia terorisme ini terjadi dalam kurun waktu 15 tahun belakangan terutama pada saat momentum 9 11. Meski tidak terbukti jelas bahwa Usama Bin Laden otak di belakang pengeboman WTC tersebut. Kedua, penanggulangan terorisme jangan sampai membuka ruang intervensi asing. Maka konsepnya jangan war on terrorism tetapi zero terrorism. Ketiga, siapa sebenarnya di belakang ISIS karena tidak satupun gerakan pemberontakan yang tidak ada hidden agenda di belakangnya. Keempat, beragam kemungkaran yang terjadi telah menjadi legitimasi munculnya aksi radikal. Kelima, pentingnya memberikan kesadaran kepada umat bagaimana mengindonesiakan islam bukan mengislamkan Indonesia. Karena Indonesia bukan negara agama bukan juga negara sekuler. Bagaimana mentransformasikan nilai-nilai islam dalam substansi legislasi kita bukan memaksakan teks-teks hukum-hukum islam. Keenam, radikalisme muncul, kesalahannya bukan pada substansi islam melainkan implementasi terhadap nilai-nilai islam. Ketujuh, NU dan Muhammadiyah lah sebagai ormas sah dan asli yang mengawal proses pendirian dan penyelenggaraan negara di Indonesia. Maka peran strategis kedua ormas tersebut menjadi penting artinya dalam kerangka penanggulangan terorisme.
Forum di Ruang Pola Kantor Gubernur Sulsel sebagaimana dilakukan di tempat lain berbagai daerah Indonesia belakangan ini cukup menggambarkan dan menguak beberapa hal sebagai berikut :
Pertama, meski disadari bahwa war on terrorisme seyogjanya tidak membuka ruang intervensi asing. Tetapi pengarustamaan islam moderat atau islam rahmatan lil alamin atau islam wasathan adalah infrastruktur sosial kultur yang dikehendaki oleh AS sebagaimana yang diungkap beberapa waktu lalu oleh Hillary Clinton. Yakni apresiasi positip terhadap Indonesia sebagai negara Islam moderat terbesar.
Kedua, meski tidak secara transparan dan terus terang disampaikan bahwa ada intervensi asing dalam bentuk kerjasama formal antara kedua negara AS dan Indonesia dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Namun semua orang sangat mudah menangkap begitu kuatnya pertemuan kepentingan kedua negara yang membuka ruang kemungkinan lebar-lebar terjadinya intervensi asing. Baik di bidang politik maupun ekonomi. Latihan militer bersama, Keberadaan Armada 7 AS di Selat Malaka, Kedubes AS di Jakarta, Kerjasama diplomatik dan perdagangan, Kedatangan Clinton ke Aceh atas nama misi kemanusian menjelang kemenangan Jokowi beberapa waktu yang lalu, Multi National Corporate dari AS yang mendominasi eksploitasi sumber daya alam, serta sederetan fakta yang lain. Terakhir perayaan independence day AS di Losari Makassar semuanya adalah simbol terjadinya intervensi asing.
Ketiga, jika di Timur Tengah yang saat ini sedang bergolak, AS (Amerika Serikat) menggunakan isu syiah dan sunni sebagai obyek pengelolaan konflik maka berbeda treatment dengan di Indonesia yang mayoritas paham sunni ini. Tema yang digunakan sebagai pintu masuk adalah moderat/wasathan/rahmatan lil alamin versus radikalis/fundamentalis. Tema ini sesungguhnya cara efektif yang digunakan sebagai jalan memojokkan entitas/komunitas islam yang satu dengan menggunakan entitas/komunitas yang lain. Artinya dalam istilah orang Jawa “Nabok Nyeleh Tangan”. Menghantam atau memojokkan sebuah entitas/komunitas islam tetapi memakai tangan orang lain. Hal ini mengingatkan kepada kita semua bagaimana cara-cara dulu kolonialis Belanda menjajah Indonesia dengan strategi “devide et impera”.
Keempat, ISIS hanyalah momentum yang dikelola secara apik melibatkan semua pihak mulai dari pusat hingga daerah atas nama mengantisipasi ancaman nasional. Meski tidak mau menyebut sebagai negara sekuler maupun negara agama. Tetapi point pentingnya adalah negara tidak memiliki keberdayaan politik untuk mengelola negara secara berdaulat dan independen. Pengelolaan negara dipenuhi dengan nuansa ketergantungan politik dan ekonomi negara lain. Hutang semakin melambung. Pajak semakin menjerat. Rakyat dilayani dengan beragam kebijakan publik yang menikam.
Kelima, terdapat kesadaran bahwa penanganan paham radikal oleh ISIS berakar dari beragam terjadinya tindak kemungkaran. Dan harus ditangani dengan tanpa intervensi asing. Namun kesadaran itu dijawab dengan pentingnya membangun kesadaran baru Islam Moderat atau Islam Wasathan yang lebih memperhatikan kearifan lokal, keindonesiaan, pluralitas, kebhinekaan dan alasan lain yang dianggap mampu meredam segala bentuk potensi munculnya radikalisme. Pertanyaannya adalah apakah semua itu menjadi jawaban apalagi semangatnya jika hanya sebagai representasi tendesi kepentingan dan duit saja. Apalagi semangat mereduksi sekaligus mengkriminalisasi substansi islam yang hakiki memuat ajaran syareah, dakwah, khilafah dan jihad beserta para pengembannya. Wallahu a’lam bis showab.