Oleh : Umu Fikri (Pemerhati Media)
Menarik mencermati program acara Gesture, TV One, 13 Agustus 2014, jam 19.00 tentang ISIS dan Khilafah bersama Cholil Nafis (MUI Pusat), Nasir Abbas (Pengamat Terorisme, Veteran Mujahidin Afghanistan mitra BNPT) dan Jubir HTI, Ismail Yusanto.
Logika yang dibangun baik Cholil Nafis maupun Nasir Abbas saling terkait dan membangun sebuah justifikasi diantaranya :
Pertama, bahwa ideologi ISIS adalah ideologi penuh dengan kekerasan (baca Jihad).
Kedua, ideologi ISIS sengaja ditujukan kepada pemerintah status quo baik yang ada di Irak dan Suriah khususnya maupun status quo di berbagai negara yang ada pengikut dan simpatisannya.
Ketiga, karena alasan pertama dan kedua itulah maka ISIS bersama seluruh pengikut simpatisannya bermaksud mengganti atau bahkan menumbangkan ideologi dan penguasa negara yang berkuasa di berbagai negara saat ini.
Apalagi Nasir Abbas secara historis kemudian menjelaskan tentang NII. Beserta keterkaitannya dengan Ust Afif yang disinyalir sebagai pentolan ISIS Indonesia. Yang ditangkap di Jatiasih mirip dengan modus infotainment penangkapan teroris sebelum ISIS marak. Sementara Cholil Nafis begitu semangat membenturkan konsep khilafah dengan NKRI dengan mengambil momentum isu ISIS ini. Dan menegaskan berulang ulang bahwa NKRI harga mati. Sebaliknya khilafah tidak sesuai atau bertentangan dengan pilar-pilar negara. Walaupun Nafis juga menganggap bahwa jika hanya wacana saja maka itu dianggap tidak berbahaya. Jubir HTI yang diberikan kesempatan pada bagian akhir menyampaikan bahwa khilafah ala ISIS dianggap tidak sah secara syar’i karena tidak mencukupi syarat-syaratnya. Seraya menjelaskan bahwa khilafah adalah ajaran islam yang memuat substansi syariah, dakwah dan ukhuwah. Sambil menegaskan kenapa harus menolak ajaran islam sendiri yang menjadi keyakinan mayoritas bangsa di negeri ini. Ismail Yusanto juga menjelaskan pentingnya proporsional menanggapi ISIS karena rawan dengan adu domba, kriminalisasi dan monsterisasi ajaran islam khususnya tentang khilafah. Pada akhir penjelasan, Ismail menjelaskan bahwa kemunculan ISIS tidak bisa dipisahkan dengan problem dunia atas hegemoni negara-negara adi daya AS terhadap dunia islam. Tinggal bagaimana islam menjawab tantangan ini.
Sebagaimana layaknya sebuah konsep acara talkshow dalam sebuah tayangan program acara televisi maka di awal selalu dirumuskan script tentang isi dan alur materi talk show. Dan jika kita perhatikan maka konten materi talk show itu memuat pokok-pokok pikiran antara lain :
Pertama, ISIS adalah organisasi teroris yang berhasil mendirikan khilafah.
Kedua, ide khilafah yang diusung ISIS adalah ideologi teroris maka dianggap berbahaya.
Ketiga, ide khilafah bertentangan dengan NKRI.
Keempat, maka siapapun atau kelompok manapun yang mengusung ide khilafah baik ISIS maupun non ISIS dianggap berbahaya dan mengancam NKRI. Dengan konstruksi seperti itu maka isu ISIS bisa diluaskan spektrum sasarannya ke obyek sasaran lebih luas. Untuk konteks talkshow itu maka jelas bahwa isu ISIS akan disasarkan bukan hanya kepada para pengikut dan simpatisan ISIS melainkan juga kepada semua yang berkeinginan memperjuangkan tegaknya syareah dan khilafah di negeri ini.
Sebuah konstruksi mirip dengan logika yang dibangun atas proyek “war on terrorism”. Hanya momentumnya yang berbeda. Jika awalnya menggunakan momentum 9/11 WTC dengan mengaitkan kelompok Al Qaeda pimpinan Usamah bin Laden. Di tengah kejanggalan di seputar persoalan pengeboman itu sebagai sebuah rekayasa alat legitimasi saja. Agak berbeda dengan momentum WTC dengan sasaran Al Qaeda yang dijadikan legitimasi invasi militer AS ke Irak dan Afghanistan. Maka momentum ISIS lebih seksi dimainkan karena lebih berakar dari konflik internal para mujahidin yang diciptakan. Dan seolah-olah lebih rasional untuk menjelaskan bahwa dukungan atas ISIS memang benar-benar sebagai ancaman nasional. Persis dengan pernyataan Ansyaad Mbai di sebuah stasiun TV yang menyampaikan beda antara Al Qaeda dengan ISIS. Jika Al Qaeda sasarannya negara-negara besar seperti AS dan Rusia. Kalau ISIS sasarannya adalah negara-negara manapun tempat keberadaan ISIS termasuk simpatisan dan anggotanya. Yang sudah dianggap sebagai warga negara IS (Islamic State) atau Khilafah ala ISIS. Nampaknya akan selalu ada judul baru dan jangka panjang untuk mempertahankan eksistensi proyek “war on terrorisme” baik di tingkat global maupun nasional.
Hal ini nampak dari temuan kasus beberapa peristiwa penangkapan dan penembakan mati terduga teroris yang disinyalis sebagai bagian dari ISIS. Seperti penangkapan di Jatiasih, Banyumas dan Surabaya. Tuduhan atas terduga teroris di tiga tempat itu masih terkait dengan kasus dugaan terorisme lama namun dibangun dengan setting opini bersindikasi dengan ISIS. Pertanyaan kemudian adalah sampai kapan IS ala ISIS dijadikan momentum pembenaran untuk mengkriminalisasi dan memonsterisasi islam atas nama war on terrorism ? Maka berpulang kepada yang punya proyek.
Tetapi ingatlah Firman Allah Subhanahu Wa Ta’alla : “Mereka (orang-orang kafir itu) membuat makar, dan Allah membalas makar mereka. Dan Allah sebaik-baik pembuat makar.” (Ali Imran : 54). “Sesungguhnya mereka (orang-orang kafir itu) merencanakan tipu daya yang jahat dengan scbenar-be-narnya. Dan Aku pun merencanakan tipu daya pula, dengan sebenar-benarnya.” (Ath-Thariq : 15-16). “Dan Dia-lah Dzat Yang Maha keras tipu daya-Nya.” (Ar-Ra’d : 13). Wallahu a’lam bis shawab.