Assalamu’alaikum wr. wb.
Kampanye tertutup JK di Medan, 23 Juni 2009, menuai masalah. Tersebar sekitar 400 lembar kopian tulisan dari sebuah majalah yang menyatakan bahwa Herawati, istri Boediono cawapres SBY, beragama Katholik. Peristiwa ini berbuntut panjang ketika kubu JK mensomasi Rizal Malarangeng, anggota tim sukses SBY, yang menuduh pihak JK-lah yang menyebarkan selebaran itu.
Belakangan diketahui, Edi Zeini mengaku sebagai pelaku dan telah diperiksa oleh Polisi. Keterangan yang berbeda sempat keluar dari mulutnya tentang siapa dalang dibalik itu semua, entah mana yang benar. Tudingan balik kepadanya sebagai pemfitnahan bermunculan dari orang yang tersudutkan.
Ada beberapa analisa atau skenario yang muncul menanggapi permasalahan ini, 2 diantaranya adalah adanya upaya black campaigne yang dilakukan salah satu tim sukses, atau adanya upaya mengadu domba para capres.
Black campaigne adalah politik kotor dengan tujuan utama untuk mendiskreditkan kompetitor, bisa dilakukan oleh kompetitor, bisa juga oleh tim suksesnya sendiri yang men-set sedemikian rupa seolah dilakukan oleh kompetitor. Diakui ataupun tidak hal ini lumrah dilakukan dalam dunia politik saat ini. Bukankah politik saat ini sendiri adalah dunia yang kotor?
Pelaku berharap masyarakat teropini mencap lawannya telah menghalalkan segala cara dengan menyerangnya secara kotor, bukan berperang program kerja tetapi masuk ke ranah pribadi yang mungkin tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Dan masalah yang paling efektif memang adalah yang berkaitan dengan SARA. Dengan ini pelaku berharap mendapat simpati dan empati sebagai pihak yang terdzalimi dan teraniaya. Suatu positioning strategy yang cukup efektif dalam upaya meraup suara.
Tentunya kita masih ingat pada Pemilu 2004 popularitas SBY yang semula under-dog tiba-tiba meroket akibat simpati dan empati masyarakat kepadanya. Walaupun bukan hasil dari sebuah black campaigne, tim sukses SBY secara cerdik melakukan positioning strategy ini. Padahal kalau jernih kita melihatnya, apakah benar saat itu SBY terdzalimi? Begitu juga Obama di AS sana. Sebagai wakil kaum marginal, akhirnya dia sukses menjadi orang nomor 1 negeri uncle sam ini. Lalu saat ini siapa yang ber-black campaigne di negeri ini. Biarlah mereka yang menjawab sendiri, itung-itung belajar kejujuran dan keterbukaan.
Skenario kedua, adu domba. Bisa jadi eksesnya akan lebih parah karena sangat mungkin akan membenturkan masa di grassroot yang dapat menimbulkan chaos dan ketidakstabilan keamanan. Kalau sudah begini, maka pihak asing punya dalih untuk masuk campur tangan, baik diundang atau menawarkan diri. Iran adalah contoh terkini. Dan kalau kita membaca sejarah, yang paling lihai dan gemar melakukan politik licik ini adalah kaum imperialis barat, baik dengan tangannya sendiri ataupun melalui antek-anteknya.
Kalau sudah begini, tujuan yang ingin dicapai bukan sekedar mengalahkan pihak-pihak yang tidak sejalan, tetapi sesuatu yang jauh lebih besar sudah dipertaruhkan, bukan sekedar partai politik tetapi sebuah Negara. Kok sejauh itu ? Tidak ada makan siang gratis. Itu jargon mereka yang harus selalu kita waspadai. Sudah bukan rahasia bahwa calon yang bisa menjadi pemimpin, terutama di negara-negara ketiga, adalah mereka yang direstui sang adidaya.
Oleh karenanya siapapun yang ingin berkuasa akan berusaha mengajukan portofolio yang memang diinginkan calon tuannya itu. Kalau sudah begini, maka janji bagi-bagi proyek, konsensasi eksplorasi sumber daya alam, sampai kemungkinan ikut dalam mengatur kebijakan negara adalah pokok yang biasa dibahas. Jadi Negara sudah diposisikan sebagai sebuah komoditi, dan akan dikelola sebagaimana sebuah perusahaan. Kalau sudah begini, apakah bukan liberalisasi?
Inilah kalau sistem yang rusak tetap dipertahankan, kalau orang-orang bermuka banyak tetap berkuasa.
Oleh karenanya kita harus semakin cerdas dan jernih dalam melihat konstelasi politik yang ada. Jangan sampai taklid buta, asobiyah berlebihan, atau iming-iming materi sesaat akhirnya menggadaikan Negara seisinya. Jangan sampai kita dengan mudahnya dipecah belah dan dipermainkan tanpa martabat.
Dalam Islam telah digariskan secara tegas bahwa syarat-syarat pemimpin Negara adalah: Muslim, Laki-laki, Baligh, Berakal, Adil, Merdeka, dan Mampu. Dan yang lebih penting adalah komitmennya untuk tidak hanya menjaga dan mempertahankan kedaulatan Negara, tetapi juga komitmennya menjaga dan mempertahankan akidah ummat (baik muslim ataupun non muslim) melalui penerapan syariah yang kaffah. Wallahu’alam bishowab.
Nanu Utama, Jl. H. Montong No. 48 RT 05/02 Ciganjur, Jakarta Selatan