Oleh :Anastasia, Alumni Pendidikan Bahasa Jerman UPI Bandung
Masih segar di ingatan kita bagaimana kisah tragis kematian Ade Sarah, yang lebih mengejutkan lagi Ade meninggal ditangan mantan pacarnya, menurut laporan motif sang pacar tega menghabisi nyawa Ade adalah persolan asmara. Sosok Hafid menjadi sorotan karena dia tega membunuh mantan kekasihnya Ade Sara Angelina Suroto (19). Aksi keji itu melibatkan pacarnya, Assyifa, untuk bertanya kenapa Hafid kenapa begitu bengis membunuh Sara, kita bisa melihat rekam jejak kehidupannya, disinyalir Ayahnya Ownie memberikan dampak signifikan kepada Hafid, Hafid tengah mencari sosok panutan, sementara ayahnya masuk penjara karena terlibat kasus aborsi, Hafid tumbuh dalam kegemilangan harta, apa pun keinginan Hafid orangtuanya akan berusaha mengabulkannya, seperti membelikan mobil. Selain itu dugaan kedua pelaku adalah psikopat ditunjukkan dengan pembunuhan yang sudah direncanakan sepekan sebelum mayat Ade Sara ditemukan di Tol Bintara, Bekasi. Keanehan lainnya adalah ketenangan yang diperlihatkan kedua pelaku dengan cara mengucapkan belasungkawa melalui mesia sosial menurut Psikolog Pendidikan, Diennaryati Tjokrosuprihatono kepada Okezone, melihat kasus ini adalah contoh dari gagalnya pendidikan yang diberikan oleh orang tua dan sekolah kepada kedua pelaku khususnya untuk pelaku pria yang menurut Dien adalah ‘otak’ dari pembunuhan. “Saya melihat Hafid ini cenderung memiliki kepribadian psikopatik dan agak sadistik, untuk Syifa sendiri saya melihatnya ia terlalu dipengaruhi oleh Hafid dan rasa insecure yang tak mau kehilangan cintanya Hafid yang memaksa ia mengikuti pembunuhan tersebut,” ucapnya.
“Mereka ini kurang mendapatkan pengetahuan moral, kasih sayang dan mungkin mereka sehari-harinya mengalami atau melihat kekerasan rumah tangga. Perlu disadari bersama dunia remaja sekarang memang tumbuh di antara budaya pacaran, sebenarnya banyak kasus tindak kekersaan yang di alami remaja dilatarbelanggi asmara sangatlah banyak, kurangnya pengawasaan dari orangtua menjadikan remaja bablas bergaul, bahkan lebih membiarkan mereka pacaran, masyarakat pun sudah tidak punya sistem kontrol untuk menjaga nilai-nilai etika sosial.
Islam memelihara generasi
Dalam kasus Hafid kita bisa melihat minimnya sosok teladan orangtua, selama ini hafid diberikan penghidupan bersifat materi namun kebutuhan ruhiyah kepada Tuhannya sangat kering, anak merupakan amanah dari Allah Swt yang diberikan kepada setiap orangtua, orangtua mempunyai kewajiban memelihara, bukan hanya sekedar membesarkan tapi tanggung jawab mendidik supaya faham hakekat Allah menciptakannya, anak pun bisa merupakan ujian bagi setiap orangtua sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surah al-Anfal ayat 28 yang berbunyi :
عَظِيمٌ جْرٌأَ عِندَهُ اللَّهَ أَنَّوَ فِتْنَةٌ أَوْلَادُكُمْوَ أَمْوَالُكُمْ أَنَّمَا وَاعْلَمُوا
Artinya :”Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya disisi Allahlah pahala yang besar “(QS.al-Anfal ayat 28).
Lahirnya genarasi cemerlang terlahir dari sebuah keluarga, tentu saja keluarga menjadikan aqidah sebagai pondasi utamanya, kita bisa melihat bagaimana Allah memberikan contoh kepada umat manusia pentingnya mengenalkan sang pencipta kepada keturunannya seperti dalam surat Luqman ayat 13 yang artinya :
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Mengenalkan anak kepada Tuhannya menjadikan identitas awal alasan mengapa Allah menciptakan manusia ke muka bumi, tiada lain menghambakan diri kepada-Nya. Di sinilah titik sental peran orangtua mengarahkan anaknya untuk menemukan jati dirinya, memasuki usia balig tanamkan pelaksanaan berbagai taklif hukum, yaitu menjalankan setiap syariat Allah, berbicara masa perubahan anak menuju remaja tidak hanya dilihat dari fisiknya saja aqliyah atau pola pikir anak serta mentalnya, tidak bisa dibiarkan tumbuh begitu saja, melainkan harus “diisi” untuk mempersiapkan kedewasaan, kerap terjadi pertumbuhan fisik dan akal anak tidak seimbang, di mana fisik sudah baligh, tapi pemikiran masih nol. Idealnya, akil-baligh itu satu paket. Ketika perangkat fisik pada diri anak sudah matang, akal dan mentalnya pun harus menjadi dewasa, caranya, dengan mengajak anak berpikir dan berdialog tentang konsep-konsep kehidupan, khususnya sebagai Muslim. Orang tua harus selalu mengajak anak berpikir, mengajarkan nilai-nilai Islam dan memahamkan berbagai syariat Islam, akhirnya anak mempunyai pola fikir cerdas dalam bertindak, merasa bahwa setiap perbuatannya mempunyai konsekuensi panjang yang akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah sehingga generasi cermerlang akan terhindar dari segala virus pemahaman budaya asing yang berdampak pada prilaku buruk remaja sekarang. Walluhu’Alam