Salah satu hak asasi manusia yang underogable dalam keadaan apapun oleh Negara adalah hak untuk merdeka (Pasal 1 DUHAM). Implementasi dari hak asasi ini di beberapa Negara masih terabaikan. Contoh nyata dari pengabaian dan pelanggaran terhadap hak untuk merdeka sekaligus hak hidup adalah apa yang dari dahulu hingga saat ini dirasakan oleh warga Palestina. Tindakan represif yang tidak ber-prikemanusiaan dari Israel telah menjadi catatan kelam dan menjadi bukti sejarah dimana jutaan penduduk palestina, baik anak-anak, orang tua, wanita, maupun laki-laki telah menjadi korban dari kejahatan kemanusian dan genoside yang dilakukan oleh Israel.
Pelanggaran HAM Berat sebagai bagian extraordinary crimes, yang terang-terangan dilakukan oleh Israel sudah terjadi sejak Israel berusaha “mencaplok” sejengkal demi sejengkal tanah palestina. Serangkaian tindakan pembunuhan dan pembataian yang dilakukan oleh Israel terhadap warga palestina sejak dahulu hingga saat ini, belum bisa diadili melalui mekanisme Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). Salah satu penyebabnya adalah karena Israel termasuk dalam Negara yang tidak menandatangani deklarasi penerimaan yuridiksi ICC, sehingga implikasinya adalah terhadap pemberlakukan ketentuan dalam Statuta Roma tahun 1998, yaitu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan memaksa kepada Negara Israel untuk menyerahkan untuk diadili orang-orang yang paling bertanggungjawab terhadap pelanggaran HAM berat tersebut. Akan tetapi bagi negara-negara yang belum atau tidak menandatangani deklarasi tersebut, Dewan Keamanan PBB berdasarkan Piagam PBB mempunyai wewenang “menyeret” orang-orang yang bertanggungjawab atas pembunuhan dan pembataian warga palestina tersebut melalui mekanisme ICC yaitu dengan membentuk ICC Ad Hoc sebagaimana terbosan konstruktif yang pernah dilakukan dengan membentuk ICC Ad Hoc untuk kasus perang di Rwanda dan Yugoslavia. Namun, peran negara adidaya Amerika Serikat dalam melindungi Israel dari tanggung jawab pidana di ICC juga menjadi faktor penyebab, yaitu terlihat melalui penggunaan hak veto setiap kali ada gagasan dan upaya penyelesaian melalui mekanisme ICC yang dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB.
Persyaratan limitatif pelanggaran HAM berat yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur melalui ketentuan Statuta Roma Tahun 1998 pasal (6) dan (7) telah terpenuhi oleh Israel, dengan demikian tidak ada alasan dari aspek yuridis normatif untuk tidak mengadili Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Israel di Mahkamah Pidana Internasional. Apalagi terupdate, Pasukan Israel telah menyerang dengan “membabi buta” ratusan aktivis kemanusiaan dari kurang lebih 50 negara yang berada di atas kapal yang membawa misi kemanusian. Peristiwa ini telah menewaskan (baca : men-syahidkan) puluhan orang dan akhirnya menimbulkan akumulasi amarah yang begitu hebat terhadap Israel.
Berdasarkan uraian tersebut, PAHAM Jakarta sebagai lembaga yang concern terhadap Pembelaan dan Penghormatan Hak Asasi Manusia dengan ini menyatakan sikapnya :
- Bersama-sama dengan elemen bangsa yang lain menyuarakan dan mendorong Dewan Keamanan PBB melalui jalur-jalur yang tersedia untuk mengoptimalkan kembali kewenangannya “menyeret” Israel melalui pembentukan Mahkamah Pidana Internasional Ad Hoc;
- Menyuarakan kutukan terhadap tindakan pelanggaran HAM berat Israel terhadap warga Palestina dan terhadap Aktivis Kemanusiaan Dunia;
- Mendorong Pemerintah Indonesia agar lebih vokal menyuarakan dan memperjuangkan kemerdekaan Palestina di forum internasional.
Jakarta, 01 Juni 2010
Hormat kami,
Direktur PAHAM Jakarta
Nasrulloh Nasution, SH