ILUSI SEKULARISME MEMBASMI KORUPSI
Oleh Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
IKHTIYAR mewujudkan supremasi hukum dan menata kehidupan sosial masyarakat dengan membasmi mafia hukum dan gurita korupsi di Indonesia, sudah berulangkali dilakukan pemerintah. Mulai dari pembentukan Waskat (pengawasan melekat), KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Pengadilan Tipikor, hingga TPF (Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum).
Namun hasilnya, bukan saja tidak ada perbaikan, malah sebaliknya, menyelesaikan masalah tanpa penyelesaian. Dalam kaitan ini, Presiden SBY, termasuk yang paling banyak membentuk tim pencari fakta atau komisi anti korupsi. Sehingga kepemimpinan SBY, yang dikenal piawai dengan retorika berkelitnya itu, terkesan ingin bagi-bagi resiko bila terpaksa mengalami kegagalan.
Kasus kriminalisasi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yang melibatkan institusi hukum seperti Polri, Kejaksaan Agung, Komisi III DPR RI, dan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus yang diketuai Adnan Buyung Nasution, kian memperlihatkan wajah para penegak hukum bagai geng Mafioso. Mereka bukan tolong menolong dan saling menguatkan dalam menegakkan keadilan dan memberantas mafia hukum. Tapi sebaliknya, menghadapi koruptor dan markus (makelar kasus) korupsi, sesama institusi pemberantasan korupsi malah saling melemahkan.
Perseteruan antara cicak dan buaya, yang dipersonifikasikan sebagai konflik antara tiga institusi pilar hukum, yaitu Polri dan Kejaksaan Agung disatu pihak menghadapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipihak lain, bukan saja mencuatkan problem hukum dan politik. Tapi juga bersinggungan dengan nasib hidup rakyat, menyangkut besarnya biaya yang dikeluarkan Negara.
Kasus hukum terkait dugaan suap pada pimpinan KPK yang dilakukan markus (makelar kasus) Anggodo Wijoyo melalui Ary Muladi itu demikian spektakuler, padahal peristiwa sebenarnya kecil saja bila dibandingkan dengan kasus korupsi secara keseluruhan. Menyikapi rekomendasi Tim Verifikasi Fakta Kasus Hukum Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto yang diketuai Adnan Buyung Nasution itu, menyiratkan opsi berbasis pada pijakan berfikir sekular, sebuah ideology yang berkeyakinan bahwa dalam tataran kehidupan bernegara Tuhan sama sekali tidak boleh intervensi.
Opsi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang disampaikan di Istana Negara Jakarta, Senin (23/11), mengindikasikan adanya kekacauan politik, keboborokan moral, mental, dan disiplin kelembagaan institusi penegak hukum.
Menurut Presiden SBY, kasus Bibit dan Chandra tidak hanya kasus hukum, tetapi juga berimbas pada aspek sosial. Oleh karena itu, untuk menghindari mudharat yang lebih besar, Presiden menghendaki ‘para cicak’ ini ‘diadili tanpa pengadilan.’ Mekanisme pelaksanaannya diserahkan kepada Kepolisian dan Kejaksaan.
Mekanisme penyelesaian yang ditawarkan SBY, tanpa mengindahkan rekomendasi Tim 8, mengingatkan kita pada penyelesaian gaya rezim orde baru. Di era Soeharto, mafia hukum dan korupsi merajalela Tapi pemberantasan korupsi yang menyangkut pejabat nyaris tak terdengar.
Kasus yang terungkap pada tahun 1986 ketika Raden Sonson Natalewaga, ayah Menteri Luar Negeri Raden Marty Natalegawa sekarang, yang saat itu salah seorang Direktur di Bank pemerintah. Sonson diadili dalam perkara korupsi karena terlibat dalam kasus penyelundupan mobil mewah oleh pengusaha Acai. Selebihnya, kasus korupsi dibungkam.
Ketika itu, Presiden Soeharto membentuk GAK (Gerakan Anti Korupsi) –semacam KPK sekarang, diketuai oleh Moh. Hatta, mantan Wapres era Soekarno. M. Hatta yang dikenal sebagai tokoh anti korupsi, ditugasi oleh Soeharto memberantas Korupsi, tapi bukan saja Soeharto tidak menghargai hasil kerja tim yang dibentuknya sendiri, malah Moh. Hatta dipermalukan dengan tidak mengakomodir hasil kerjanya.
Di akhir hayatnya, Hatta tidak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata. Karena disitu dimakamkan koruptor Pertamina Haji Taher. Menurut Hatta banyak koruptor lain dimakamkan disana, sampai mati pun ia tidak mau bergabung bersama Koruptor.
Ilusi Sekularisme
Kini, korupsi merajalela di segala sector, dan parpol mengavling departemen-departemen dan perusahaan negara. Sehingga korupsi, bagai gurita raksasa yang sulit diberantas. Dulu, Soeharto mengawal kekuasaannya dengan ideology asas Tunggal, sementara SBY agaknya ingin memperlihatkan diri sebagai penguasa tunggal. Kasus Bibit-Chandra yang telah menggoncangkan jagat hokum di negeri ini mengindikasikan beberapa hal.
Pertama, institusi dan penegak hukum belum siap mengawal Negara hukum Indonesia. Integritas institusi polri benar-benar babak belur. Selama ini polisi sudah sering mempermainkan nasib rakyat pencari keadilan, tanpa ada yang bisa melawan.
Lihat saja, polisi sangat berhati-hati untuk menangkap markus Anggodo, dengan alasan belum cukup bukti untuk mempidanakannya. Sementara, terhadap Ketua KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, cukup dengan laporan beberapa markus, polisi menahan mereka. Akibatnya, ketidak percayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian dan juga kejaksaan, kian meluas.
Kedua, sumpah dan air mata pejabat hanya sekadar fasilitas bersih diri di saat tidak berdaya. Aksi air mata Kabareskrim Polri Komjen Susno Duaji yang sempat menitik –seakan sangat bersedih- kala memberi keterangan dalam rapat kerja Polri dengan Komisi III DPR RI di Jakarta, Kamis 5 November 2009, memperlihatkan rapuhnya para penegak hukum di Indonesia.
“Sebagai seorang muslim, lillahi taalloh –yang benar lillahi taala-, saya tidak pernah mendapatkan 10 miliar dari siapa pun terkait dengan kasus Bank Century. Ke mana lagi saya mengadu. Saya sudah mengadu ke anak dan istri, saya sudah mengadu kepada Tuhan, tapi tuduhan itu tetap ada. Mudah-mudahan di forum ini bisa melepaskan penderitaan anak, istri, cucu, bahkan saya sendiri”. Susno bahkan bersumpah dan siap mati kalau tudingan itu benar.
Aksi Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), M Yasin, juga mengharukan. Sambil berurai air mata ia bersumpah di bawah Alquran: “Wallahi, demi Allah saya bersumpah bahwa saya tidak pernah menerima suap atau saya memaksa orang lain untuk menerima suap atau pemerasan. “Saya hanya bisa berkeluh kepada Allah tentang penegakan hukum di Indonesia. Ya Allah jangan biarkan hamba-Mu ini menjadi tempat fitnah orang zalim, dan selamatkanlah atas fitnah orang zalim,”
Mantan Ketua KPK Antasari Azhar, juga melakukan aksi serupa: “Sumpah demi Allah, saya tidak ngapa-ngapain dengan Rhani. Rhani ke sini cuma bicara masalah Modern Golf,” kata Antasari. “Demi Allah saya bersumpah, waktu itu saya dikondisikan Dir, Wadir, Kabag, Kasat, orang yang menyebut sasaran kita Antasari” dengan nada tinggi di depan para hakim yang mengadilinya.
Ketiga, ilusi sekularisme. Sistem hukum dan perundang-undangan sekuler yang diterapkan pemerintah, untuk menegakkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, hanyalah ilusi.
Terjadinya pembiakan kriminalitas, disharmonisasi kehidupan, dekadensi moral serta pembusukan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, membuktikan bahwa hukum sekuler tidak mampu memberikan pengayoman, ketentraman, keadilan dan rasa aman kepada masyarakat. Kasus korupsi sudah lama coba diatasi dengan pendekatan sekularistik, secara formalitas dan legalitas, tetapi mengabaikan kenyataan dalam masyarakat bahwa kejahatan kian meluas, penyalahgunaan jabatan, mafia dan demoralisasi hukum merajalela.
Melalui perangkat normatif seperti lembaga hukum, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, lembaga pengawas hukum, pengacara dll, kaum sekuler merasa yakin dapat mengatasi problem kehidupan.
Karena itu, dalam urusan publik sekularisme menolak intervensi hukum Allah, tidak peduli dengan sepak terjang dan segala hal yang dapat meruntuhkan moral dan mental manusia, sebagaimana yang menjadi larangan keras dalam hukum Allah. Seperti khamer yang dapat merusak akal, kebebasan seksualitas yang merusak moral dan rasa tanggungjawab manusia, perjudian yang mendorong manusia hidup boros dan hura-hura dan menimbulkan mental curang. Semua perbuatan dosa ini dapat menyuburkan tindak pidana korupsi yang oleh sekularisme tidak diberantas secara formal.
Kekuatan yang dapat menanamkan kontrol pribadi yang dibutuhkan manusia, mengendalikan dirinya tanpa intervensi orang lain tidak dimiliki sekularisme. Sebab sekularisme tidak percaya dengan Tuhan dan akhirat, yang dalam hukum Allah dijadikan sebagai pokok pangkal mengendalikan jiwa dan akal manusia agar tidak berbuat dosa apapun.
Syariah Islam tidak hanya berbicara masalah hukum dan hukuman, melainkan juga berfungsi untuk membimbing, mengayomi, menjamin keselamatan dan keamanan serta kesejahteraan manusia, baik sebagai individu, masyarakat, bangsa dan Negara. Mengapa bangsa Indonesia tidak kembali kepada Islam yang rahmatan lil Alamin, dan tidak hanya memperlat Islam untuk meneguhkan eksistensi diri dan membersihkan diri dari rasa malu pada manusia?
Jogjakarta, 25 November 2009
Irfan S Awwas
Jl. Karanglo No. 94, Kotagede, Jogjakarta
Telp./ Hp 0274 – 451665/ 08122761569