Akhir-akhir ini hubungan Indonesia-Malaysia mulai menghangat kembali, itulah kesan yang dapat kita tangkap dari laporan media cetak dan elektronik di tanah air dan juga di Malaysia. Pemicunya berbagai kasus, seperti Pulau Ambalat, Manohara, TKW (PRT) yang dianiaya majikannya di Malaysia, dan klaim Malaysia atas hasil seni budaya kita. Tak urung emosi publik pun semakin berkobar menanggapi rentetatan kasus tersebut, seolah menantang semangat “nasionalisme” rakyat yang cinta akan bangsanya. Tak peduli walau mereka sendiri tengah bergelut dalam penderitaan hidup. Media sangat pandai mencari topik-topik yang dapat menyedot perhatian massa yang sedikit banyak memiliki “nilai jual” di masyarakat.
Pers kita seharusnya tidak hanya sebagai penyedia informasi yang terpercaya kepada publik, tapi hendaknya juga berperan mendidik masyarakat dengan mencari solusi yang cerdas, bukan malah memuat berita yang makin “mengompori” situasi menjadi lebih buruk, menyebabkan tindakan-tindakan publik yang keluar dari konteks permasalahan sebenarnya (melakukan sweeping terhadap orang Malaysia, dll).
Sebagai rakyat, kita juga harus lebih teliti dalam menanggapi segala informasi yang masuk kepada kita. Jangan karena emosi, tindakan yang kita ambil malah menyebabkan kerugian bagi kita sendiri.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu orang fasik membawa berita, periksalah dengan teliti (tabayyun) agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q. S. Al-Hujuraat: 6)
Layaknya kehidupan bertetangga, hubungan Indonesia dan Malaysia, rawan dengan konflik bila tidak adanya pengertian dan saling menghargai antar sesama. Lihatlah hubungan antara India – Pakistan, dua negara yang bertetangga, yg selalu tegang hingga timbul peperangan. India yang mayoritas Hindu dan Pakistan yang mayoritas Islam, sejak dari berdirinya sebagai negara merdeka telah terlibat konflik antara sesamanya. Tercatat telah terjadi beberapa perang terbuka antara mereka sejak mulai berdirinya negara tersebut tahun 1947.
Hubungan Indonesia dan Malaysia tidaklah bisa disamakan seperti hubungan India-Pakistan. Begitu banyak persamaan di antara Indonesi dan Malaysia baik dari segi sejarah, sosial dan budaya. Bahkan, dua Negara ini disebut sebagai negara serumpun dikarenakan banyaknya kesamaan di antara keduanya. Mayoritas penduduk Malaysia adalah muslim, sama seperti Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim. Artinya, dari kacamata agama, Indonesia dan Malaysia adalah saudara-saudara seiman. Keberkahan dan kemuliaan akan kita peroleh apabila dapat hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai sesuai tuntutan Islam, sebaliknya, kehinaan akan kita peroleh apabila berpecah belah dan saling memusuhi.
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat" [QS. Al-Hujurat: 10]
Realitas Hubungan Indonesia – Malaysia
Ada pakar yg menyatakan hubungan Indonesia – Malaysia dianalogikan seperti hubungan antara "saudara tua" dan "saudara muda" atau sebagai hubungan ‘kakak" dan "adik" di mana sang kakak dulunya yang selalu membimbing, membantu dan mengajar sang adik dalam segala hal. Demikian juga sang adik, dulunya selalu mencontoh apa yg dilakukan sang kakak. Sang kakak menganggap sang adik tetap sebagai orang yang tak tahu apa-apa, sedangkan waktu telah berubah. Sang adik telah tumbuh dan berkembang menjadi orang yg mandiri dan dalam beberapa hal, lebih baik dari sang kakak. Sang kakak tidak bisa menerima kondisi ini, dan selalu menganggap dirinya lebih baik dan "superior" dari sang adik. Sang kakak menjadi sangat sensitif terhadap sikap sang adik. Sedikit saja sang adik berbuat salah, sang kakak tersinggung dan menjadi sangat reaktif dengan memarahi sang adik habis-habisan.
Indonesia, sebagai “saudara tua“ mestinya lebih mampu bersikap dewasa. Kalau pun Malaysia sebagai “saudara muda” berbuat salah , hendaklah ditanggapi dengan proposianal dan profesional. Para pemegang otoritas terkait dapat menghubungi langsung mitranya di Malaysia dalam merespon kasus atau isu-isu yang timbul. Selesaikan kasus-kasus tersebut melalui saluran-saluran resmi, baik secara diplomasi atau pun hukum internasional. Tak perlu memanas-manasi situasi melalui media yang akhirnya meperkeruh permasalahan. Kasihan rakyat dibuat terombang-ambing dalam kemarahan dan kebencian yang sebenarnya menguras energi bangsa ini.
Malaysia juga pernah merasakan kehilangan pulau seperti Indonesia. Mereka tahun lalu kehilangan Pulau Batu Puteh, yang ditetapkan oleh Pengadilan Internasional di Den Haag sebagai milik Singapura. Rakyat Malaysia tentu kecewa dengan keputusan tersebut, tetapi reaksi yang timbul tetap wajar dan dewasa. Setidaknya demikian yang tergambar dalam liputan di media mereka.
Harapan Rakyat
Indonesia, terutama para pemimpinnya mesti lebih fokus memajukan bangsa ini. Kelolalah negeri ini secara bertanggungjawab, demi kebanggan seluruh rakyat. Jika kita menjadi negara yang kuat, baik dari segi ekonomi, teknologi, budaya, dan lain-lain, maka martabat kita dengan sendirinya terangkat di mata negara-negara tetangga kita, bahkan di dunia.
Fokuskanlah dengan program-program yang sangat mendesak saat ini demi peningkatan harkat dan martabat bangsa ini, yaitu: pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat, pelayanan kesehatan, penegakan hukum, dan pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya buat rakyat.
Kita harus lebih waspada dan berhati-hati terhadap niat jahat pihak-pihak tertentu yang menginginkan buruknya hubungan Indonesia –Malaysia. Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari kedua negara bila kita dapat menjalin hubungan yang baik dan saling menghormati. Permusuhan dan kebencian hanya mendatangkan kerugian dan penyesalan.
Sesungguhnya dalam momentum bulan Ramadhan, sepatutnya kita lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt, meninggalkan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan tujuan puasa Ramadhan tak tercapai, yakni menjadi insan yang bertakwa (QS Al Baqarah, 183).
“Puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah dia berkata keji , jika ada yang memeranginya atau mencercanya maka katakanlah: Aku sedang berpuasa”. (riwayat al-Imam al-Bukhari dan Muslim).
Akhirnya, di saat semua bangsa di dunia ini bergerak mencapai kemakmurannya, saya khawatir tanpa tekad yg kuat dan konsep yg jelas dalam mengelola bangsa ini, kita malah bergerak menuju ke belakang. Tak heran dalam 20 atau 30 tahun mendatang kita akan lebih banyak "tersinggung" lagi dengan negara tetangga kita, kali ini bukan dengan Malaysia, tapi dengan Timor Leste (dulunya Timor Timur) yang mungkin telah lebih maju dari kita dalam beberapa hal. Semoga hal ini tidak terjadi.
DR. Yanuar Z. Arief
Dosen Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura Pontianak
Visiting Lecturer in University of Technology Malaysia