Kalau mau mati, setidaknya masuk penjara, silakan beroposisi. Rezim ini tidak memiliki kemampuan untuk sekadar senyum kepada orang yang mencetak Koran, yang memberitakan kritik terhadap pemerintahan ini. Rezim ini juga tak mampu senyum terhadap berita radio yang kritis. Rezim totaliter ini menyediakan hukuman penjara lima tahun untuk mereka yang sekadar bersuara kritis terhadap rezim.
Sungguhpun begitu, tidak logis membayangkan orang-orang tidak bisa bicara politik sama sekali. Selalu bisa, bahkan perlu. Rezim ini malah membutuhkan para penggembira, tukang tepuk tangan, terlatih menyanyikan lagu berlirik puji-pujian konyol terhadap rezim. Bagaimanapun rezim tiran selalu picik dan kerdil dalam banyak aspek.
Itu sebabnya rezim-rezim tiranis memerlukan polesan yang khas. Polesan itu berbentuk propaganda atas hal-hal, yang dengannya kelangsungannya menemukan pijakannya. Itu yang dikerjakan Joseph Goeble, propagandis kawakan andalan Hitler.
Apakah hukum totalitarian memenuhi persyaratan ontologi dan epistemologi sebagai hukum? Ilmu hukum barat, jelas mengagungkan positivisme. Esensinya positivisme barat mengesampingkan penyatuan moralitas dan etika dengan hukum. Keduanya, dalam pandangan positivisme khas H. A.L Hart, harus dipisahkan. Ini jelas berbeda, dengan ontologi dan epistemologi hukum alam.