HRS hanya jadi penyambung lidah dari organisasi mahasiswa dan kelompok intelektual yang lama bungkam. Jujur saja, saya melihat selama tiga hari kemarin, hilang kampanye anti politik uang di pilkada, sementara 931 korporasi berafiliasi dengan kandidat di pilkada (Data Tempo dan Auriga Nusantara). Ngeri ini bung, kalau pengusaha jahat terus mengontrol kepala daerah, oligarki menang terus.
Bapak, ibu yang merasa paling Pancasila, kita semua sudah paham NKRI dan Pancasila sudah final, negara ini untuk semua suku, agama, dll. Jangan mengajarkan Pancasila kepada orang yang sudah mengamalkan bahwa kepentingan nasional di atas kepentingan dirinya.
Marilah fokus pada masalah penting saat ini, yaitu penanganan covid, pemulihan ekonomi. Penggunaan buzzer untuk menyerang FPI justru menurunkan kredibilitas, gunakan dong buzzer2 itu untuk diplomacy (social media diplomacy); pertahanan negara, melawan buzzer para koruptor. Gunakan akun-akun buzzer itu untuk pariwisata yang kalah terus sama Thailand, Singapura, Malaysia, dll.
Saya setuju dengan ide dialog dari Emha Ainun Nadjib, mengapa? Kontribusi Cak Nun banyak sejak muda, ia juga tokoh reformasi yang ikut meminta Presiden Soeharto lengser, dan setelah itu Cak Nun menghilang, semua jabatan yang digaji APBN ditolaknya, Cak Nun tak ada kepentingannya. Listrik dan air di rumahnya dari uang pribadi.
Bayangkan situasi terburuk jika terjadi konflik horizontal. Tidak ada yang diuntungkan. Kita semua akan rugi, dan butuh waktu lama untuk pemulihan psikis. Ayolah para pemimpin, baik pemimpin yang dibayar oleh uang rakyat maupun pemimpin yang dihormati umat, tolonglah salinglah berkomunikasi. Bukan pelucutan senjata yang menyebabkan perdamaian, tapi pelucutan kebencian dari hati kita semua.
Mari cek hati kita, apakah sudah adil atau belum, sebelum kita menuduh hati orang lain penuh kebencian?. Alfatihah untuk enam pemuda, terima kasih untuk para aktivis yang tidak dibayar, terima kasih untuk Bang Ari Yusuf Amir, terima kasih untuk untuk Bang Fadli Zon dan sedikit anggota DPR, DPRD yang mengawal demokrasi kita.
Untuk mereka yang dipilih dan digaji karena demokrasi, mengapa diam ketika demokrasi terancam.
Terima kasih. Jakarta, 10 Desember 2020.
Hariqo Wibawa Satria (Pengamat Media Sosial, Direktur Eksekutif Komunikonten).