Peristiwa tersebut dalam penilaian kami sangat penting dan menjadi cermin atau puncak gunung es dari peradaban bangsa Indonesia yang sedang membusuk menjadi bangkai.
Banyak faktor dapat dijabarkan untuk menjelaskan terkait membusuknya peradaban bangsa Indonesia saat ini, namun yang paling mendasar adalah fakta perilaku Kepala Negara yang tidak beradab dalam memperlakukan rakyatnya sendiri, menghinakan martabat manusia Indonesia.
Bayangkan, seorang pemimpin negara yang seharusnya menjadi teladan dalam memanusiakan manusia, bertanggungjawab menciptakan sistem negara yang dapat mewujudkan nilai nilai kemanusiaan di bumi Indonesia, justru demi pencitraan bertindak memperlakukan rakyat nya tak ubah nya binatang.
Bukankah peri kemanusian yang menjadi prinsip dasar di daam Pancasila, adalah sebuah rasa kemanusian. Sebuah rasa kemanusian tidak ditujukan semata untuk manusia dan umat manusia, tapi juga kepada seluruh alam semesta, rasa kemanusian ditujukan baik kepada binatang maupun tumbuhan.
Bercermin dari perilaku si Kepala Negara yang sangat tidak beradab di atas, maka Kartu Kuning dari Ketua BEM UI, Muhammad Zaadit Taaqwa, dapat ditangkap sebagai pesan sirine peringatan tentang peradaban bangsa Indonesia yang telah menjadi bangkai dan membusuk.
Kartu kuning tersebut ibarat peringatan keras dari Eyang Semar Ismoyo Jati kepada Petruk yang telah menyimpang dari kepatutannya, lupa diri, lupa daratan, yang sangat membahayakan masa depan peradaban bangsa Indonesia. Kartu kuning tersebut adalah pertanda Eyang Semar telah turun gunung.
Penutup, saatnya mahasiswa dan pemuda bergerak dan membangun perdebatan intelektual yang beradab tentang situasi peradaban bangsa yang telah menjadi bangkai dan membusuk. Katakan tidak kepada kekonyolan pencitraan dan nyinyiran tidak beradab di media sosial yang menambah makin membusuknya peradaban bangsa Indonesia.[]
Penulis: Haris Rusli (Petisi 28)