Genderang perang menjelang pemilu presiden April mendatang sudah terasa panas, setiap partai disibukan dengan segala persiapan menuju perhelatan akbar pesta demokrasi, tak terkecuali MUI, setelah mengeluarkan fatwa terkait haramnya rokok, kini MUI mengeluarkan fatwa kontroversial haramnya golput, fatwa “latah” menjadi budaya menjelang pemilu memang diharapkan mampu menekan angka golput, tentu saja fatwa ini muncul ketika melihat realita pemilih suara yang kian kendor, terlepas adanya beberapa pihak yang mengklaim fatwa tersebut sarat akan muatan kepentingan politik.
Sangat disayangkan fatwa kontroversi itu terucap dari perkumpulan ulama bergensi sekelas MUI, yang notabenenya mereka terdiri dari orang-orang mumpuni cerdas akan pemahaman agamanya. Loyonya peminat pemilu adalah bencana besar dalam demokrasi, kesakralan demokrasi terletak pada partisipasi pemilih dalam menentukan pilihan yang dibalut jargon “suara rakyat suara tuhan”, apa boleh buat kenyataan berkata lain pemilu dari tahun ke tahun merosot tajam sebagai contoh pada pemilihan gubernur Jabar yang lalu dimana jumlah pemilih di Jawa Barat sekitar 32,5 juta orang, angka golput berdasarkan survei mencapai 32,23 persen atau 10. 474.750 orang. Angka golput itu bersaing ketat dengan raihan suara pemenang pilkada berdasar hasil survei, Angka golput ini mengungguli empat pasangan calon lain. Bagaimanakah kita menjawab fenomena besarnya golput ini, maka dari itu kita harus cerdas melihat kenyataan bahwa angka besarnya golput disebebkan oleh beberapa hal :
Pertama, jenuhnya rakyat akan pemilu. Rakyat Indonesia sudah apatis dengan para pemimpin bangsa, mereka menilai keberadaan para peminpin sama sekali tidak memberikan solusi terhdadap permasalahan rakyat, justru lewat mekanisme pemilu, setiap tahun rakyat diberi hadiah tahun baru yakni, naiknya BBM.
Kedua, hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemimpin. Kita tahu bahwa tingkah pola para pesohor elite politik bangsa ini nihil prestasi, sudah banyak kasus korupsi terkuak menyeret mereka, korupsi di Indonesia sudah akut menjalar dari instansi daerah sampai pusat. Mungkin inilah yang disebut korupsi berjamaah.
Ketiga, sistem mendukung korupsi. Kekuasaan dalam demokrasi ikut andil besar memberikan peluang korupsi, karena politik dalam pandangan demokrasi adalah kekuasaan dengan segala fasilitas yang diberikan, seperti kemudahan dalam membuat suatu undang-undang atau proyek yang bisa memperkaya diri.
Golput bentuk muhasabah kepada penguasa
Dari ketiga pemaparan di atas seharusnya MUI bisa lebih cerdas melihat bahwa fenomena golput disebabkan banyaknya kebobrokan para penguasa kepada rakyatnya, inilah sebuah kenyataan besar yang seharusnya para pimpinan kita berintropeksi diri, selama ini kita menjalankan pemilu dari tahun 1955 sampai sekarang namun tak satu pun dari pemilu mampu membangkitkan keadaan bangsa, membawa suatu ke arah kemajuan, justru keadaan kita malah lebih terpuruk dari tahun sebelumnya, mahalnya ongkos pemilu yang digelontorkan negara jauh lebih besar dari pada pembiayaan rakyat. Pertanyaan besar pun muncul apakah sudah demokrasi melalui pemilunya memberikan suatu perubahan? Ataukah kita membutuhkan sistem alternatif lain yang mampu membawa bangsa Indonesia ke arah perubahan yang hakiki? Wallahu ‘Alam