Eramuslim.com – Ruas protokol Sudirman-Thamrin Jakarta adalah lahan bermainku sejak kecil. Sebagai seorang yang lahir dan besar di kawasan paling elit di Jakarta sejak zaman Soekarno, aku tahu bagaimana perkembangan kawasan tersebut dari tahun 1970-an. Rumahku dulu cuma sepelemparan dari Patung Jenderal Sudirman yang berdiri gagah di selatan jembatan Dukuh Atas, menatap Bundaran HI dengan Patung Selamat Datangnya yang dibangun 17 Agustus 1961.
Sejak kecil aku terbiasa mondar-mandir di ruas jalan ini. Hampir tiap hari.
Dulu, kami bisa melalui jalan ini dengan menumpang becak. Saat meletus peristiwa Malari (15 Januari 1974), aku tengah menumpang becak di Jalan Sudirman menuju Setiabudi dan dengan mata kepala sendiri, masih terbayang jelas sampai kini, aku melihat bagaimana Kantor Astra dibakar massa, kaca-kaca besarnya dipecah, mobil-mobil buatan Jepang dibakar di tengah jalan. Tak jauh dari tempat patung Sudirman berdiri, sebuah jeep digulingkan massa dan dibakar.
Seiring berjalannya tahun, kawasan ini termasuk yang paling pesat pembangunannya. Dipoles dan dipercantik di sana-sini. Gedung-gedung pencakar langit pun tumbuh bagai cendawan di musim hujan. Cepat dan banyak. Presiden dan gubernur DKI boleh berganti dan kawasan ini tetap tumbuh semakin cantik, hingga menjadi etalase pariwisata tidak saja bagi DKI Jakarta, tapi juga bagi Indonesia secara keseluruhan.
Dan seperti warga DKI asli kebanyakan yang tinggal disitu, kami akhirnya harus menyingkir ke pinggiran ibukota, mengalah pada proses pembangunan yang memerlukan tanah-tanah kami. Namun karena hampir semua aktivitas mencari nafkah di sekitar situ juga, kami tetap mondar-mandiri di kawasan ini. Sampai sekarang.