Kaum Muslimin rahimakumullah, ada yang perlu dicermati, pada momen-momen tertentu, orang kadang menyamakan antara yang haq dan yang batil. Sebagaimana kita dapat menyimak adanya gejala menyamakan yang haq dengan yang batil, lalu dipraktekkan dalam rangka ibadah baru, misalnya do’a bersama antar agama. Dalihnya, karena Nabi pernah mengajak orang Nasrani untuk mubahalah. Sedang mubahalah itu sama-sama berdoa, katanya. Jadi boleh dong kita mengadakan doa bersama antar agama, kata mereka yang dikenal sebagai dedengkot liberal.
Kita katakan, cara menyimpulkan hukum seperti itu, jelas cara yang tidak benar. Karena menyamakan mubahalah dengan do’a begitu saja, itu tidak tepat. karena mubahalah itu bukan sekadar do’a.
Mari kita runtut masalahnya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam disuruh Allah Ta’ala untuk mubahalah dengan pihak Nasrani dari Najran, lalu di masa sekarang ini ada tokoh yang dengan lancangnya menjadikan mubahalah itu sebagai landasan bolehnya doa bersama antar agama. Padahal mubahalah itu adalah dua belah pihak saling berdoa agar Allah menjatuhkan la’nat kepada pihak yang berdusta. Itu ada di dalam Al-Qur’an:
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ (٦١)
- Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka Katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak Kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri Kami dan isteri-isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian Marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta[197]. (QS Ali ‘Imran: 61)
[197] Mubahalah ialah masing-masing pihak diantara orang-orang yang berbeda pendapat mendoa kepada Allah dengan bersungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan la’nat kepada pihak yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani dan ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad s.a.w. (catatan kaki dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI).
Orang sekarang yang berani menjadikan ayat tentang mubahalah sebagai landasan untuk bolehnya doa bersama antar agama, itu tidak dapat membedakan mana yang diridhoi Allah dan mana yang tidak. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam jelas diridhai Allah Ta’ala. Sedang utusan Nasrani Najran jelas tidak. Karena mereka mengusung kekafiran.
Dengan menjadikan mubahalah sebagai landasan untuk bolehnya doa bersama antara agama, berarti menganggap bahwa Allah ridho’ terhadap kekufuran sebagaimana ridho’ kepada Islam. Ini sangat bertentangan dengan firman Alah:
وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ
…dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya…[Az-Zumar:7]
وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
…dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. [Al- Ma‘idah :3].
Ketika Allah sudah jelas tidak ridho kekafiran, maka otomatis tidak boleh ibadah (dalam hal ini doa) dicampur atau digabung dengan kekafiran sama sekali. Dan kalau digabung, berarti memberi peluang untuk masuknya aneka kekafiran sekaligus mempraktekkan untuk memakai dan memfungsikan kekafiran. Sedangkan Allah telah memerintahkan:
[فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ [غافر/14
Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya). (QS Al-Mu’min= Ghafir/ 40: 14).
Ketika kita mengaku berdo’a (ibadat) murni ikhlas untuk Allah Ta’ala, tetapi orang kafir menyukai do’a yang kita lakukan itu bahkan suka rela mereka bergabung, atau bersama-sama, maka perlu dipertanyakan: apakah kemurnian iman Islam kita yang sudah tergadaikan kepada orang kafir, atau memang orang kafir sudah berubah jadi murni ke Islam.
Apabila masih teguh dalam kekafiran mereka, dan mereka rela berdoa bersama kita atas kekafiran mereka, berarti justru keimanan kita yang dipertanyakan. Karena tidak ada kekafiran yang suka kepada murninya keimanan. Dan sebaliknya tidak ada keridho’an Allah Ta’ala kepada kekafiran sebagaimana tersebut di atas. Hingga Allah Ta’ala memberikan ancaman:
وَإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لَاتَّخَذُوكَ خَلِيلًا (73) وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا (74) إِذًا لَأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا (75) [الإسراء/73-75]
- Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.
- Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka,
- kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami.(QS Al-Israa’/ 17: 73, 74, 75).
Imam Al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya:
{ وَإِذاً لاَّتَّخَذُوكَ خَلِيلاً } أي : لو اتبعت أهواءهم لاتخذوك خليلاً لهم
“dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Artinya kalau kamu telah mengikuti hawa nafsu mereka tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.
وقال ابن عباس: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم معصوما، ولكن هذا تعريف للامة لئلا يركن أحد منهم إلى المشركين في شئ من أحكام الله تعالى وشرائعه. تفسير القرطبي – (ج 10 / ص 300)
Ibnu Abbas berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ma’shum (terjaga dari dosa), tetapi ini adalah pemberitahuan kepada ummat agar tidak seorang pun di antara mereka (Muslimin) yang condong kepada orang-orang musyrikin dalam hal apapun dari hukum-hukum Allah Ta’ala dan syari’at-Nya. (Tafsir Al-Qurthubi juz 10 halaman 300).
Dalam ayat itu dijelaskan, kalau kamu telah mengikuti hawa nafsu mereka tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dalam kenyataan, orang-orang yang mengaku Muslim tetapi mengadakan doa bersama dengan orang-orang kafir (bukan Islam) tampaknya memang jadi sahabat setia. Berarti yang terjadi adalah perbuatan yang telah mengikuti hawa nafsu mereka (orang-orang kafir).
Yang namanya mengikuti hawa nafsu diri sendiri saja sudah tercela, apalagi ini mengikuti hawa nafsu orang kafir, betapa tercelanya!
Semoga Allah Ta’ala memberikan kefahaman kepada kita dan kaum Muslimin pada umumnya bahwa yang haq itu tampak haq, sehingga kita mampu mengikutinya. Dan semoga Allah memahamkan bahwa yang batil itu tampak batil sehingga kita mampu menghindarinya. Dan semoga Ummat Islam terhindar dari bahaya orang-orang yang mencampur adukkan kekafiran dan keimanan, sehingga iman yang ada di dada Ummat Islam senantiasa terhindar dari kekafiran. Amien ya Rabbal ‘alamien.
(Hartono Ahmad Jaiz)