Kelima, tidak cukup disitu, mereka kemudian berkampanye terus soal anti radikalisme, menyerang seorang anggota MWA lainnya, keluarga konglomerat baru, pemilik merk kosmetik ternama Indonesia, yang memberikan bantuan beasiswa kepada ITB dengan jumlah fantastis dengan menyalurkannya melalui pengelola Masjid ITB yang terkenal, Salman. Disnilah mereka “memukul sarang lebah”. Anehnya, mereka juga menyerang posisi Rektor dukungannya sendiri, menyerang dosen-dosen ITB, mendeskriditkan Bang Dien dengan melaporkan beliau ke KASN, “kegilaan” mereka harus dihentikan.
Bagian akhir, dulu saya waktu menjadi aktivis mahasiswa tidaklah anek ketika rapat-rapat mahasiswa di lantai 4 perpustakaan ITB, di meja sebelah sedang rapat kelompok N11, meja satunya lagi, temen2 pikiran kiri, kelompok caca marica, kelompok penyuka bunga, kelompok independen dan kelompok-kelompok lainnya, tanpa berusaha memadamkan, tanpa menyerang, melawan rezim dengan riang gembira, suka cita bersimfoni penuh kreativtas dan imajinasi dalam ruang-ruang demokratis himpunan dan unit kegiatan maupun jalanan, kadang kalah, kadang menang, lebih sering remis, kini nampaknya alumni-alumni ITB yang tergabung dalam GAR itu melupakan gaya dan karakter ke ITBannya, tersedot gaya politik kekinian yang brutal, vulgar, kering tanpa filosofis dan etika.
Tapi jangan heran juga, jadi ingat sebuah perumpamaan yang mungkin cocok pada situasi yang terjadi di ITB, “Ibarat ayam, ada 2 yang keluar dari pantatnya, pertama telor dan yang kedua…….[konfrontasi]
Sekian, 15 Februari 2021
Khalid Zabidi, Alumnus ITB