Lebih lanjut dalam pengantarnya, Ust. Rahmat mengingatkan kita atas terjadinya kebinasaan suatu kaum, di antaranya karena tak mau mengambil ibroh dari kejadian-kejadian masa lalu. Mengambil ibroh dari semua fenomena alam, mestinya memudahkan kita memahami perintah, larangan, anjuran atau keluasan syariah. Bila melihat buruknya orang mabuk, mulut yang berbau, sendawa yang menjijikkan, ucapan yang kacau dan perilaku yang tak terpuji, tentu orang akan segera berhenti dari niat meminum khamr.
Beberapa pertanyaan layak kiranya muncul dalam benak kita dengan pertanyaan, mengapa Fir’aun sampai menganggap dirinya serba cukup, paling hebat dan kuat? Bagaimana ia berani bertindak melampaui batas-batas nurani dan kemanusiaan, di satu sisi menjadi binatang, di sisi lain menjadi tuhan?
Al Qur’an telah memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Ternyata orang-orang yang ada di sekitarnyalah yang membuat Fir’aun merasa serba cukup, paling hebat sekaligus penguasa nan tak tertandingi. Memang Fir’aun bukanlah orang shalih. Tapi segala kejahatan Fir’aun mungkin tak jadi besar jika ada orang yang berani mengatakan “tidak”.
Inilah permasalahannya, keberanian untuk menyatakan “tidak” dalam hal-hal yang menyangkut pelanggaran aturan yang kita sepakati bersama disadari atau tidak, sudah mulai terkikis bahkan nyaris hilang. Sehingga tanpa disadari pula Fir’aun-Fir’aun kecil ini merasa mendapat dukungan dari orang-orang yang ada di sekelilingnya. Dalam kondisi demikian, maka tak salah kalau jawaban dari pertanyaan, “Benarkah Bukan Hanya Salah Fir’aun?” Maka jawabnya, “Benar!”.
(Penulis Pemerhati Masalah Sosial)