Bagaimana Dengan Indonesia?
Apa yang saya jelaskan di atas agak mirip dengan kasus yang terjadi di Indonesia. Sebuah negara demokrasi terbesar yang sedang merosot menuju negara otoriter.
Sebuah pemerintahan yang berdiri di atas kuburan 600 lebih petugas KPPS. Pemilu itu disebut oleh beberapa pihak sebagai pemilu brutal yang menewaskan banyak anak bangsa.
Apabila membuat produk hukum, pasti bermasalah. Di balik produk hukum yang bermasalah itu, seperti UU KPK telah menewaskan dua orang mahasiswa akibat melakukan protes terhadap perubahan UU tersebut.
Kekerasan negara terhadap demonstran sepanjang tahun 2020 merupakan potret negara yang sedang memacu dirinya menjadi negara otoriter. Kritik di bungkam, protes di tindak dan semuanya itu berbau kekerasan negara terhadap warga sipil.
Lahirnya UU Omnibus Law Cipta Kerja, menimbulkan reaksi besar dari semua kalangan. Namun pada akhirnya, meski Muhammadiyah dan organisasi masyarakat lainnya menolak UU itu, tapi toh tetap disahkan dengan seribu satu macam dagelan dan kesalahan.
Belum lagi masalah Covid-19 yang telah merenggut nyawa 22 ribu masyarakat Indonesia. Meski ancaman Covid sangat dahsyat, namun ia tidak pernah mampu menghalau Pilkada serentak 2020. Semua untuk memuluskan jalan ya kekuasaan oligarki yang telah bertengger menjadi mafia politik dan ekonomi.
Sunyi suara anggota DPR masalah-masalah yang terjadi. Tidak ada suara nyaring wakil rakyat terhadap kematian 6 orang yang diduga di bunuh secara sadis. Begitu tidak berharganya nyawa manusia dalam sebuah negara otoriter.
Sunyi pula suara anggota DPR ketika utang negara sudah mencapai Rp 6.000 triliun. Sunyi pula anggota dewan terhadap penggunaan dana Covid-19 yang hampir mencapai Rp 900 triliun, bahkan sampai dikorupsi oleh Menteri Sosial.
Bahkan kita sudah terbiasa dengan budaya membubarkan organisasi. Sudah dua organisasi yang dibubarkan hanya dengan pernyataan Menteri. Bahkan menteri pun bisa melampaui hukum dan perundang-undangan. Sungguh berkuasa menteri hanya dengan pernyataan bersama nasib perkumpulan bisa dieksekusi dan dilarang.
Lengkap sudah masalah yang kita hadapi, tetapi inilah demokrasi, setelah terpilih demokrasi hanya milik kekuasaan dan rakyat tinggal menunggu nasib baik dan nasib buruk.
Seperti kata Emha Ainun Nadjib: “Di negara komunis tidak boleh bicara tapi dikasih makan, di negara kapitalis bicara bebas tapi cari makan sendiri, sementara di Indonesia, bicara tidak boleh cari makan masing-masing”. Lengkap sudahlah menjadi warga negara Indonesia.
Entah rezimnya siapa, Indonesia selalu menghadapi masalah yang serupa. Semoga kita semua masih kuat untuk menghadapi hantaman tahun 2021 ke depan.
Wallahualam bis shawab. (rmol)