Lemahnya Chek and Balances
Setelah institusi yang melakukan pengawasan dan penyeimbang sudah berubah menjadi “jongos kekuasaan” maka eksekutif bertindak di luar kendali. Hukum dijadikan alat, bedil dan pentungan mengamankan tirani.
Dalam sistem presidensialisme, eksekutif memiliki kekuasaan yang kuat dan besar. Dengan kekuasaan yang besar itu menggiurkan bagi siapa saja yang jadi kepala eksekutif untuk melakukan tindakan yang melampaui hukum.
Bukankah polisi, tentara, jaksa dan lembaga-lembaga kementrian di bawah komando Presiden? Kalau anggota Parlemen hanya sebatas “orang-orang kebetulan” maka tentu mereka tidak akan mengerti bahaya lahirnya pemerintahan yang otoriter.
Lembaga kehakiman yang diharapkan Independen pasti secara psikologis tidak akan berani berada di luar cengkraman rezim otoriter. Sebab hakim-hakim di mahkamah dipilih oleh eksekutif dan Parlemen. Jadi secara politik hubungan mereka sangat dekat.
Hanya saja konstitusi dan perundang-undangan menyebut kekuasaan Kehakiman mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Tapi dalam transaksi kepentingan itu tidak berlaku.
Lalu siapa yang akan mengawasi jalannya pemerintahan? Rakyat?
Rakyat Bisa saja menjadi oposan untuk mengkritik kebijakan pemerintah, namun ketika demokrasi sudah mulai meredup, kritik pun pasti akan dilarang.
Berulang-ulang dosen, mahasiswa, aktivis maupun masyarakat menyebutkan “kebebasan untuk berkumpul, berserikat, menyampaikan pendapat secara lisan maupun tertulis dijamin konstitusi”. Capek mulut dan pecah telinga mendengarkannya. Itu hanya diskursus akademis, berbeda dalam konteks politik kekuasaan, ia justru menjadi pembatas bagi siapa saja yang berbeda dengan kekuasaan.
Karena itu dalam keadaan yang demikian kita hanya dapat meraba~raba kematian apalagi yang akan terjadi selanjutnya. Kebiadaban apalagi yang akan dipertontonkan di hari-hari yang akan datang.