Kualitas Wakil Rakyat
Politisi Parlemen seyogyanya dipilih oleh rakyat untuk “menggonggongi” kekuasaan. Mereka dipilih sebagai jurubicara rakyat terhadap kebijakan-kebijakan kekuasaan yang tidak berpihak kepada rakyat. Posisi wakil rakyat menjadi sangat strategis dalam sistem demokrasi dan presidensialisme seperti Indonesia. Sebab politisi Parlemen memiliki hak imunitas yang bisa memproteksi segala niat buruk kekuasaan terhadap tiap-tiap anggota Parlemen.
Tetapi akhir-akhir ini, politisi bersenggama dengan kekuasaan melalui proyek-proyek yang dilakukan lewat Parlemen. Beralihnya profesi anggota dewan menjadi “pemain proyek” membuat garapan lembaga antikorupsi di gedung Parlemen semakin banyak.
Durhakanya lagi, wakil rakyat telah memutuskan hubungan historisnya dengan rakyat setelah mendapatkan legitimasi politik dari rakyat. Justru politisi berdiri menggonggongi rakyat. Alasannya karena merasa diri sebagai representasi suara rakyat. Mereka telah ramai-ramai memproteksi dirinya dengan hak imunitas untuk menangkal kritik konstituen terhadap dirinya. Yang seharusnya Imunitas itu untuk melindungi diri dari kekuasaan dalam aktivitasnya membela rakyat.
Politisi yang dulunya mengemis kepada rakyat tiba-tiba menjadi ‘tuan’ yang tak bisa dipersalahkan atau dipersoalkan. Bahkan mereka lebih otoriter dalam berpikir ketimbang kekuasaan.
Inilah arogansi politik yang dihasilkan dari sistem demokrasi. Kenapa bisa muncul politisi arogan seperti itu? Sebab, persekongkolan antara pemilik modal dan politisi tidak lagi menghasilkan politisi yang benar-benar berkualitas, melainkan telah melahirkan politisi yang tidak memiliki kualitas apapun. Inilah kemerosotan demokrasi yang sesungguhnya.
Arogansi ini adalah mental otoriter. Dalam mental otoriter seperti itu korupsi menjadi kebiasaan buruk keseharian elit politik khususnya anggota dewan.
Seperti orang-orang penting yang menjabat antara tahun 2014-2019 telah terjerat kasus korupsi sejumlah 23 orang. Sebagian adalah ketua umum partai seperti Setya Novanto dan M. Romahurmuzy. Keduanya merupakan ‘orang penting’ yang menjadi pesakitan karena korupsi.
Karena kelakuan mereka, institusi lembaga perwakilan yang tadinya memiliki posisi yang kuat, akhirnya menjadi lemah. Sebab banyak politisi yang menjadi pengemis dikekuasaan setelah berhasil mendapatkan legitimasi rakyat. Mental Parlemen seperti ini yang akhirnya memperkuat posisi Presiden dan dengan demikian lahirlah tirani kekuasaan.