Hal apa dalam tulisan itu yang memiliki kualifikasi hukum sebagai bohong? Bila Presidium KAMI menyatakan mendukung pemogokan nasional akan dilakukan buruh, bukan mendukung demonstrasi, lalu Sahganda menafsirkan KAMI mendukung demonstrasi buruh, dimanakah letak kebohongannya?
Kebohongan macam apakah yang menjadi maksud substansial pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946? Apakah pada saat peristiwa ini terjadi Indoneasia sedang berada dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan persis pada tahun 1945 dulu?
Apakah Nederlands Indie Civil Administration (NICA) sedang eksis di Indonesia pada saat Sahganda menuliskan isi pikirannya mengenai demonstrasi terhadap RUU Omnibus Cipta Kerja , dan menyebarkannya? Apakah ada Koninglijke Nederlands Indische Leger (KNIL) pada saat itu?
Apakah ada orang bekas KNIL yang dicari-cari oleh laskar-laskar perjuangan kemerdekaan dari sabotase Belanda? Misalnya laskar Hisbullah dan Kris (Kebaktian rakyat Indonesia Sulawesi)? Apakah tentara Belanda yang membonceng NICA, sedang bergerak dari Surabaya memasuki Jakarta?
Om Ventje Sumual, dalam Buku “Memoar” diterbitkan oleh Bina Insani, tanpa tahun, setelah mengambarkan suasana nyata masyarakat Jakarta kala itu, menulis “banyak penghasut dikalangan penduduk”. Keadaan sungguh berat.
Belanda, sesuai penilaian pemerintah akan kembali. Itu sebabnya pemerintah memberi penjelasan agar rakyat bersiaga menghadapi kembalinya penjajah Belanda yang membonceng tentara sekutu. Benar-benar berat. Kata Om Ventje, kami harus menghadapi dua masalah sekaligus.
Kerja sosial untuk menolong warga yang jadi korban ekses revolusi, sekaligus menjalankan revolusi itu sendiri.” Situasi politik sangat semrawut. Perihal keadaan ini, dapat dicek pada semua buku sejarah sejarah TNI, parlemen dan lainnya. Saya ingin mengajukan satu keadaan kecil untuk mempertebal konteks UU Nomor 1 Tahun 1946, yang mungkin akan ditembakan kepada Sahganda.
Tanggal 4-5 Januari 1946 menurut Adam Malik, diadakan pertemuan wakil-wakil organisasi politik dan militer di Purwokertto dibawah pimpinan Tan Malaka. Dalam pertemuan itu, disepakati pembentukan Wadah Persatuan Perjuangan (PP). Wadah ini dikukuhkah pada tanggal 4 Februari 1946, di Solo.
Tanggal pengukuhan iitu menunjukkan terjadi tiga minggu sebelum UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana dibentuk oleh BP KNIP, dan diresmikan oleh Dr. Suwandi pada tanggal yang sama juga. Tanggal pembentuka UU ini, sama dengan terjadi tiga minggu sebelum pemerintahan RI, pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
John D. Lege menulis, tanggal 4 Januari 1946 malam, diam-diam Bung Karno dan Bung Hatta diberangkatkan ke Yogyakarta. Sjahrir sendiri tetap berada di Jakarta. Pemisahan ini berhasil menaikan level oposisi yang berada di Yogyakarta terhadap pemerintahannya.
Ketika Persatuan Perjuangan (PP) diinisiatifi oleh Tan Malaka- Amir Sjarifudin- memperoleh dukungan Pak Dirman pada waktu pembentukannya, melancarkan opisisi terhadap politik perundingan Sjahrir, dan hasilnya jelas. Sjahrir mengundurkan diri. Itu terjadi pada tanggal 23 Februari 1946.
Apa korelasinya dengan UU Nomor 1 Tahun 1946? UU Nomor 1 Tahun 1946 yang ditandatangani oleh Bung Karno, Presiden RI, dan Suwandi, Menteri Kehakiman, dan diundangkan oleh A.G Pringodigdo, Sekretaris Negara pada tanggal 26 Februari 1946.
Praktis UU itu terbentuk tiga hari setelah Sjahrir meletakan jabatan sebagai Perdana Menteri, atau dua hari setelah kabinet Sjahrir resmi dinyatakan bubar oleh Bung Karno pada tanggal 28 Februari. Kabinet Sjahrir I ini dilantik pada tanggal 23 November 1945. Usianya tidak sampai empat bulan.
Apa dari kenyataan ini yang dapat dipertalikan dengan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, yang besar kemungkinan dituduhkan kepada Sahganda Nainggolan? Kenyataan inilah yang menjadi “original intent” dari pasal 15 itu. Kabar bohong, dan keonaran mutlak dipertalikan dengan keadaan itu. Situasi dan politik semrawut. Desas-desus ada dimana-mana. Pemerintah belum terbentuk secara normal, sehingga harus ditertibkan. Itu subtantive goal dari pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu.
Suka atau tidak, sejak tanggal 23 November 1945 itu. UUD 1945 telah kehilangan validitasnya sebagai hukum positif, setidaknya hanya berlaku secara simbolik. Mengapa? Sistem pemerintahan telah berubah dari presidensial ke sistem parlementer.