Umar Syarifudin (Lajnah Siyasiyah HTI Kota Kediri)
Dalam tiga abad terakhir, kapitalisme telah mendominasi pembangunan internasional dan memonopoli perkembangan ekonomi serta memaksa diterapkannya kebijakan-kebijakannya pada dunia. IMF dan Bank Dunia memproklamirkan industrialisasi dan ide ekonomi liberal akan mentransformasi ekonomi tradisional dan masyarakat. Pengaruh seperti ini akan menetapkan negara-negara miskin dalam jalur perkembangan sejalan dengan pengalaman negara-negara maju semasa revolusi industri dulu.
Sebuah fakta, bahwa hutang Luar Negeri (LN) bukanlah solusi tergambar pada kenyataan bahwa 41 negara miskin yang paling banyak berhutang, hutang luar negerinya meningkat dari 55 milyar dolar pada tahun 1980 menjadi 215 milyar dolar pada tahun 1995. Saat ini pemerintahan negara-negara Afrika menanggung utang sebesar 350 milyar dolar sehingga mereka memotong 2/5 penghasilan mereka untuk bayar utang. Akibatnya pemerintah mengurangi pembiayaan jasa/pelayan negara terhadap rakyatnya. Atas dasar itulah, Jubilee 2000 mengatakan bahwa di 40 negara paling miskin setiap 1 menit 13 anak mati. The Ecologist Report, Globalizing Poverty, 2000.
Privatisasi air merupakan kegemaran Bank Dunia dan IMF. Sebuah pemeriksaan acak atas dana-dana IMF di 40 negara selama tahun 2000, mendapatkan bahwa 12 negara peminjam yang persyaratan peminjamannya memuat klausul kebijakan kenaikan harga jasa air dan privatisasi air. Dampak kebijakan IMF dan Bank Dunia memperivatisasi air dapat dilihat pada KwaZulu-Natal, Afrika Selatan, di mana orang-orang miskin yang tidak mampu membayar air bersih terpaksa menggunakan air sungai yang tercemar sehingga menyebabkan wabah kolera. Globalization Chalengge Initiative, Water Privatization Fact Sheet, 2001.
Ketika kota terbesar ke 3 di Bolivia dipaksa melakukan privatisasi air oleh IMF dan Bank Dunia, tingkat kenaikan harga air bagi pelanggan paling miskin mencapai 3 kali lipat. Negara dengan upah minimun kurang dari 60 dolar per bulan tersebut, banyak pemakai air dengan biaya rekening perbulannya mencapai 20 dolar. Warga di kota tersebut yang telah membangun sumur-sumur keluarga dan sistem irigasi selama berpuluh-puluh tahun lalu, tiba-tiba harus membayar hak atas penggunaan air tersebut. International Forum on Globalization, IF Bulletin, 2001.
Indonesia dalam Jerat Hutang Luar Negeri
Indonesia sebagai negara yang baru merdeka pasca Perang Dunia II, tentu juga tidak mau ketinggalan untuk mensukseskan pembangunan ekonominya. Untuk mewujudkan pembangunan ekonominya tersebut, Indonesia juga telah menetapkan tujuan dan target-target pembangunannya. Tujuan pembangunan ekonomi Indonesia adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang dapat diukur antara lain dengan tingkat pendapatan riil per kapita yang tinggi.
Setelah 30 tahun membangun dengan kucuran dana hutang luar negeri dan investasi modal asing, ternyata ekonomi pemerintahan Orba harus berakhir dengan amat menyedihkan. Fundamental ekonomi Indonesia sama sekali tidak mampu menghadapi terpaan badai krisis ekonomi yang melanda Asia tenggara pada tahun 1997. Solusi yang diambil pemerintah Indonesia ternyata tidak bergeser dari pola sebelumnya. Pemerintah Indonesia tetap mengundang IMF sebagai “dewa” penyelamatnya. Kesepakatan antara IMF dan pemerintah Indonesia terjadi pada tanggal 31 Oktober 1997 dengan ditandatanganinya Letter of Intent (LOI) pertama, yang berisikan perjanjian 3 tahun dengan kucuran utang sebesar US$ 7,3 milyar.
Apa yang dihasilkan dari bantuan penyelamatan IMF ini? Kehadiran IMF ternyata tidak menyelesaikan masalah, namun justru telah mengakibatkan bertambah parahnya perekonomian Indonesia. Pengangguran terus meningkat, nilai tukar rupiah terus melorot tajam. Pada akhir tahun 1998 lebih dari 50% penduduk Indonesia harus hidup dibawah garis kemiskinan.
Salah satu resep kebijakan IMF untuk menutup 16 bank, telah membuat masyarakat panik dan menarik uangnya di bank-bank nasional dan sebagian dari bank asing. Untuk mengatasi goncangan ini, IMF kembali membuat rekomendasi kebijakan yang mengharuskan pemerintah mengucurkan dana trilyunan rupiah untuk memperbaiki kecukupan modal pada bank-bank yang bermasalah tersebut melalui obligasi rekap. Setelah itu, bank tersebut harus segera dijual kepada pihak swasta. Akibatnya, pemerintah juga terbebani kewajiban untuk membayar bunga dari obligasi rekap tersebut. Karena IMF memberi batasan waktu untuk penjualan bank-bank tersebut, akibatnya pemerintah harus menjual murah harga bank-bank tersebut. Akhirnya, para pembeli domestik maupun asing bisa menikmati bunga dari obligasi rekap yang lebih besar jumlahnya dari pada harga bank itu sendiri. Obligasi pemerintah yang melekat pada bank-bank bermasalah seluruhnya sebesar Rp. 430 triliun, dengan kewajiban membayar bunga Rp. 600 triliun yang dibebankan kepada pemerintah. Jika pembayaran cicilan hutang pemerintah berjalan tertib, diperkirakan hutang obligasi rekap tersebut baru akan lunas pada tahun 2033.
Hutang luar negeri di negeri ini pada titik kritis. Sebagaimana yang diungkapkan Salamuddin Daeng, peneliti senior The Indonesia for Global Justice (IGJ) Total hutang luar negeri Indonesia dan swasta hingga tahun 2015 sudah mencapai Rp 3534 triliun. Baru-baru ini BI memborong obligasi yang ada di pasar untuk stabilkan rupiah. Tindakan ini sama dengan menumpuk beban hutang pemerintah melalui otoritas moneter. Sementara swasta dibiarkan menumpuk hutang ke luar negeri. Padahal, hutang luar negeri swasta dan Indonesia telah berada pada tingkat yang membahayakan.
Jumlah hutang sebesar itu tentu saja sudah sangat membebani rakyat Indonesia. Jika jumlah hutang tersebut harus dibagi rata dengan jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 250 juta orang, maka setiap kepala penduduk Indonesia akan menanggung hutang sebesar 14 juta rupiah. Apabila ada sebuah keluarga yang memiliki 3 anak, maka keluarga tersebut akan memiliki tanggungan hutang sebesar 70 juta rupiah.
Untuk membayar hutang tersebut, pemerintah Indonesia hanya dapat membebankan cicilannya kepada APBN, yang sumber pemasukannya sebagian besar (sekitar 80%) adalah berasal dari pajak yang ditarik dari kantung rakyat. Akibatnya, APBN akan banyak terkuras untuk membayar hutang pokok ditambah dengan bunganya. Untuk APBN tahun 2012 yang lalu, pemerintah harus membayar cicilan hutangnya sebesar Rp. 170 triliun, yang terdiri dari Rp. 46 triliun untuk membayar hutang pokoknya dan Rp. 124 triliun untuk membayar bunganya.
Akibat dari besarnya cicilan hutang tersebut, beban pajak yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia tentu saja akan semakin berat. Sementara itu, melimpahnya sumber daya alam yang ada di Indonesia sudah tidak dapat dijadikan lagi sebagai andalan untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sebab, SDA yang ada di Indonesia sudah banyak dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing. Hal itu disebabkan kerena telah dibuka selebar-lebarnya kran investasi modal asing di Indonesia, yang telah dimulai dari sejak jaman Orba sampai masa pemerintahan sekarang ini. Dari sektor Migas saja, penguasaan asing sudah mencapai 86 %, sedangkan Pertamina penguasaannya hanya tinggal 16 % saja. Di sisi lain, besarnya beban hutang tersebut juga akan menyebabkan anggaran APBN tidak banyak yang bisa dialokasikan untuk pembiayaan pembangunan. Akibatnya, kemiskinan di Indonesia tidak semakin berkurang, tetapi akan semakin bertambah dari tahun ke tahun.
Pemberian utang adalah sebuah proses agar negara peminjam tetap miskin, tergantung dan terjerat utang yang makin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu. Selanjutnya, utang luar negeri yang diberikan pada dasarnya merupakan senjata politik (as silah as siyasi) negara-negara kapitalis kafir Barat kepada negara-negara lain, yang kebanyakan negeri-negeri muslim, untuk memaksakan kebijakan politik, ekonomi, terhadap kaum muslimin. Tujuan mereka memberi utang bukanlah untuk membantu negara lain, melainkan untuk kemaslahatan, keuntungan, dan eksistensi mereka sendiri. Mereka menjadikan negara-negara pengutang sebagai alat sekaligus ajang untuk mencapai kepentingan mereka.
Dokumen-dokumen resmi AS telah mengungkapkan bahwa tujuan bantuan luar negeri AS adalah untuk mengamankan kepentingan AS itu sendiri dan mengamankan kepentingan “Dunia Bebas” (negara-negara kapitalis). Pada akhir tahun 1962 dan awal tahun 1963 di AS muncul debat publik seputar bantuan luar negeri AS bidang ekonomi dan militer. Maka kemudian Kennedy membentuk sebuah komisi beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat, yang diketuai oleh Jenderal Lucas Clay, untuk mengkaji masalah ini. Pada minggu terakhir Maret 1963, komisi itu mengeluarkan dokumen hasil kajiannya. Di antara yang termaktub di sana, bahwa tujuan pemberian bantuan luar negeri dan standar untuk memberikan bantuan adalah “keamanan bangsa Amerika Serikat dan keamanan serta keselamatan ‘Dunia Bebas’.” Inilah standar umum untuk seluruh bantuan ekonomi ataupun militer.
Jadi, tujuan pemberian bantuan luar negeri tersebut sebenarnya bukan untuk membantu negara-negara yang terbelakang, melainkan untuk menjaga keamanan Amerika dan negara-negara kapitalis lainnya, atau dengan kata lain, tujuannya adalah menjadikan negara-negara penerima bantuan tunduk di bawah dominasi AS untuk kemudian dijadikan sapi perahan AS dan alat untuk membela kepentingan AS dan negara-negara Barat lainnya
Akar masalah
Kalau kita telaah lebih mendalam, ideologi demokrasi dengan kapitalisme sebagai basis kekuatan yang dikembangkan dunia terutama Amerika, Eropa dan negara-negara maju, punya pengaruh yang kuat terhadap hutang ini. Karena dalam alam demokasi, hutang telah menempati peran penting melalui mekanisme ekonomi kapitalis. Dalam konsep kapitalisme yang sudah kita pelajari dari mulai kita sekolah sampai dengan tingkat praktisi, sudah diarahkan dan dibenamkan pemikiran kita bahwa hutang mengambil peranan yang penting dari mulai penempatan modal awal yang akan digunakan untuk memulai suatu usaha sampai dengan ekspansi bisnis yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan. Hingga tertanam bahwa ini sudah menjadi jalan yang lazim dalam kehidupan sekarang ini. Padahal di dalamnya mengandung riba karena adanya perhitungan time value of money. Kita bisa lihat hal ini dalam skala kecil industri menengah, multinasional, baik usaha biasa maupun di perusahaan di bursa hingga pemerintah.
Konsep tersebut diterapkan dengan asumsi bahwa baik individu mau pun perusahaan tidak akan memiliki cukup uang untuk melakukan rencana ekspansi/perluasan usaha, sehingga sudah menjadi hal yang lumrah untuk mencari pinjaman. Bukannya menunggu dari akumulasi keuntungan. Kalau kita telaah kiprah perbankan dalam 300 tahun terakhir, dimana sektor perbankan telah berkembang sampai memainkan peran kunci dalam kehidupan ekonomi, karena perbankan menjadi alat untuk mengumpulkan dana dari masyarakat kemudian diberdayagunakan dalam proses pinjam meminjang atau utang piutang.
Model pembangunan yang diterapkan di Indonesia, sesungguhnya lebih banyak membebek pada arahan yang telah diberikan oleh Barat. Dengan model pembangunan ekonomi seperti itu, jutru telah menyebabkan Indonesia semakin terjebak dalam perangkap “penjajahan” Barat. Model pembangunan Indonesia tidak pernah membuat Bangsa Indonesia menjadi negara yang madiri, kuat dan berdaulat secara ekonomi. Sebaliknya, justru telah menjadikan Indonesia menjadi negara yang semakin bergantung pada Barat, baik dalam bidang teknologi maupun dalam bidang ekonomi.
Solusi Riil
Utang yang terkait dengan individu hukumnya mubah, untuk itu setiap individu boleh berutang kepada siapa saja yang dikehendaki, berapa yang diinginkan baik kepada sesama rakyat maupun kepada orang asing. seperti yang diungkapkan dari hadist :
Dari Rafi’ berkata, Nabi saw meminjam lembu muda, kemudian Nabi saw menerima unta yang bagus, lalu beliau menyuruhku melunasi utang lembu mudanya kepada orang itu. Aku berkata “Aku tidak mendapati pada unta itu selain unta yang ke empat kakinya bagus-bagus. Beliau bersabda berikan saja ia kepadanya, sebab sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling baik ketika melunasi utangnnya.
Hanya saja, apabila utang atau bantuan-bantuan tersebut membawa bahaya maka utang tersebut diharamkan. Hal ini mengacu kepada kaidah :
Apabila terjadi bahaya(kerusakan) akibat bagian diantaranya satuan-satuan yang mubah, maka satuan itu saja yang dilarang.
Adapun berutangnya negara, maka hal itu seharusnya tidak perlu dilakukan, kecuali untuk perkara-perkara yang urgen dan jika ditangguhkan dikhawatirkan terjadi kerusakan atau kebinasaan, maka ketika itu negara dapat berutang, kemudian orang-orang ditarik pajak dipakai untuk melunasinya. Atau kalau memungkinkan digunakan dari pendapatan negara yang lain. Status negara berutang itu mubah dalam satu keadaan saja, yaitu apabila di baitul mal tidak ada harta, dan kepentingan yang mengharuskan negara hendak berutang adalah termasuk perkara yang menjadi tanggung jawab kaum muslimin, dan apabila tertunda/ditunda dapat menimbulkan kerusakan. Inilah dibolehkannya negara berutang, sedangkan untuk kepentingan lainnya mutlak negara tidak boleh berutang.
Untuk proyek infrastruktur, tidak termasuk perkara yang menjadi tanggung jawab kaum muslimin, yaitu termasuk tanggung jawab negara. Oleh karena itu negara tidak boleh berutang demi untuk kepentingan pembangunan proyek baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Sedangkan Untuk pengelolaan dan penanaman modal asing diseluruh negara tidak dibolehkan termasuk larangan memberikan monopoli kepada pihak asing. Larangan seluruh kegiatan tersebut adalah karena aktivitas tersebut terkait langsung atau dapat menghantarkan pada perbuatan yang haram. Baik itu penanaman modal asing melalui bursa saham adalah haram sebab kegiatan dibursa saham adalah haram. Ataupun utang untuk investasi pembangunan. Karena pengelolaan modal dengan jalan utang dari pihak asing juga dilarang sebab terkait dengan aktivitas riba yang diharamkan.
Dengan demikian, utang luar negeri dengan segala bentuknya harus ditolak. Kita tidak lagi berpikir bisakah kita keluar dari jeratan utang atau tidak.
Yang penting dipikirkan justru harus ada upaya riil untuk menghentikan utang luar negeri yang eksploitatif itu.
Pertama, kesadaran akan bahaya utang luar negeri, bahwa utang yang dikucurkan negara-negara kapitalis akan berujung pada kesengsaraan. Selama ini, salah satu penghambat besar untuk keluar dari jerat utang adalah pemahaman yang salah tentang utang luar negeri. Utang luar negeri dianggap sebagai sumber pendapatan, dan oleh karenanya dimasukkan dalam pos pendapatan Negara. Kucuran utang dianggap sebagai bentuk kepercayaan luar negeri terhadap pemerintah. Sehingga, semakin banyak utang yang dikucurkan, semakin besar pula kepercayaan luar negeri terhadap pemerintahan di sini. Demikian juga pemahaman bahwa pembangunan tidak bisa dilakukan kecuali harus dengan utang luar negeri.
Kedua, keinginan dan tekad kuat untuk mandiri harus ditancapkan sehingga memunculkan ide-ide kreatif yang dapat menyelesaikan berbagai problem kehidupan, termasuk problem ekonomi. Sebaliknya mentalitas ketergantungan pada luar negeri harus dikikis habis. Sejumlah program yang dicanangkan negara donor berpotensi menambah jumlah kaum miskin.
Program-program yang diajukan di bidang politik dan ekonomi antara lain : (1) standarisasi Gaji (juga upah buruh) sehingga kenaikannya dibatasi dapat diatur dengan undang-undang. Padahal ini akan kontradiktif dengan daya beli, karena situasi yang mengakibatkan harga membumbung sementara gaji mengalami pelambatan; (2) kebijakan di bidang kesehatan, dimana subsidi dikurangi yang mengakibatkan tarif layanan kesehatan RS milik pemerintah melonjak. Dan mengeluarkan kebijakan kartu miskin mampu menyelesaikan masalah, padahal masalah sebenarnya ada pada kum marginal, dimana tidak termasuk golongan masyarakat miskin; (3)Adanya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, yang mengakibatkan biaya pendidikan Perguruan Tinggi makin mahal dan makin tidak terjangka masyarakat miskin dan marginal; (4) Subsidi BBM harus dihilangkan; (5) Merosotnya nilai mata uang. Kondisi ini akan menyebabkan ekspor besar-besaran dan menurunnya konsumsi dalam negeri. Pasar dalam negeri akan mengalami kelangkaan barang akibat ekspor berlebihan. Langkanya barang, jelas dapat melambungkan harga; (6) Liberalisasi ekonomi terhadap pihak luar negeri. Kebijakan ini akan memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan multinasional untuk melebarkan sayapnya di sini. Akibatnya, bukan saja keuntungan besar yang mengalir ke luar negeri, namun juga dapat mematikan perusahaan lokal. Tentu saja hal ini akan dapat memancing kerusuhan sosial yang ujung-ujungnya akan membuat rakyat menderita. Apalagi dalam penerapan kebijakan pemerintah ini, tak jarang dibarengi dengan politik represif atau kekuatan militer yang kejam (Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga: Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang, hal. 99).
Ketiga, menekan segala bentuk pemborosan negara, baik oleh korupsi maupun anggaran yang memperkaya pribadi pejabat, yang bisa menyebabkan defisit anggaran. Proyek-proyek pembangunan ekonomi yang tidak strategis dalam jangka panjang, tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia, dan semakin menimbulkan kesenjangan sosial harus dihentikan.
Keempat, melakukan pengembangan dan pembangunan kemandirian dan ketahanan pangan. Dengan membangun sector pertanian khususnya produk-produk pertanian seperti beras, kacang, kedelai, tebu, kelapa sawit, peternakan dan perikanan yang masuk sembako. Dan memberdayakan lahan maupun barang milik negara dan umum (kaum muslimin) seperti laut, gunung, hutan, pantai, sungai, danau, pertambangan, emas, minyak, timah, tembaga, nikel, gas alam, batu bara dll.
Kelima, mengatur ekspor dan impor yang akan memperkuat ekonomi dalam negeri dengan memutuskan import atas barang-barang luar negeri yang diproduksi di dalam negeri dan membatasi import dalam bentuk bahan mentah atau bahan baku yang diperlukan untuk industri dasar dan industri berat yang sarat dengan teknologi tinggi. Serta memperbesar ekspor untuk barang-barang yang bernilai ekonomi tinggi, dengan catatan tidak mengganggu kebutuhan dalam negeri dan tidak memperkuat ekonomi dan eksistensi negara-negara Barat Imperialis.