eramuslim.com
by Asyari Usman
Seorang emak-emak menangis tersedu sambil menumpahkan kesedihannya. Dia mendengar berita bahwa lahan yang dipakai oleh Habib Rizieq Syihab (HRS) untuk pesantren agrokultural Markaz Syariah (MS) di Megamendung, Bogor, akan diambil paksa oleh pemilik HGU-nya, yaitu PTPN VIII.
Dirut PTPN 8, Muhammad Yudayat, sudah mengirimkan somasi per 18 Desember 2020. Inilah somasi pertama dan terakhir. Tidak main-main. Dia mengatakan, lahan seluas 31 hektar yang selama ini dipakai HRS untuk bercocok tanam, harus diserahkan kepada perusahaan perkebunan itu. Akan diambil paksa.
Pak Dirut mengultimatum, jika dalam seminggu tidak dikosongkan, maka pihak PTPN 8 akan menyampaikan laporan ke polisi. Bakal menjadi pengaduan polisi yang kesekian kali atas nama HRS.
Padahal, lahan itu terlantar lebih 30 tahun. Kemudian digarap oleh warga masyarakat. Dari warga penggarap itulah HRS membeli lahan tsb. Jadi, lahan itu dibeli bukan diserobot.
Ibu yang menangis itu terdengar sangat pilu. “Sampai segitunya mereka membenci Habib,” ujar Ibu tersebut dalam rekaman yang beredar di berbagai platform media sosial.
Ibu yang pilu itu tahu persis penggunaan lahan MS. Di atas tanah yang relatif tidak terlalu luas itu jika dibandingkan 300,000 hektar yang dikuasai oleh konglomerat, anak-anak santri MS melantunkan sholawat. Mereka berzikir. Menghafal al-Quran. Memohon kepada Yang Mahakuasa agar menyelamatkan bangsa dan negara ini.
Ibu yang terisak-isak itu tahu bahwa para santri di MS tidak diajarkan memusuhi siapa pun. Yang diajarkan kepada mereka adalah cara hidup yang berguna bagi manusia lain. Mereka diajarkan memberi, bukan mengambil. Diajarkan hidup sederhana, bukan hidup semena-mena.