Eramuslim.com – Di tahun 1990-an ketika cukup aktif di pusat kebugaran Clark Hatch, baik di Hilton ataupun hotel Borobudur, saya sering bertemu, berpapasan dengan beberapa ‘gay’ atau banci di tempat tersebut. Entah mengapa, naluri saya secara spontan menolak berkenalan dengan mereka.
Sering terjadi, setiap kali melihat gelagat mereka ingin mendekat, saya buru-buru menjauh.
Kerap terjadi, walaupun baru menceburkan diri ke dalam whirle pool, tetapi tiba-tiba ada banci yang ikut bergabung ke dalamnya, saya langsung keluar.
Demikian pula, sekalipun belum sempat berkeringat deras di dalam ruang sauna, tapi tiba-tiba ada seorang atau lebih, banci yang ikut masuk ke dalam, saya juga langsung ke luar.
Jujur secara pribadi saya punya perasaan tidak nyaman berdekatan dengan lelaki yang berpenampilan seperti perempuan.
Maaf, bahkan sejatinya saya merasa “jijik” manakala mereka berusaha menegur. Sebab saya khawatir, teguran yang saya balaskan kepada mereka, bisa menjadi ‘pintu masuk’ bagi mereka untuk selanjutnya menjalin persahabatan. Dan katanya, sulit untuk keluar dari cengkeraman dari mereka.
Pernah terjadi, saya baru saja mengayu sepeda statis. Tiba-tiba di sebelah saya, sudah mengayu seorang ‘gay’ kemudian menyapa : “Hi”……. sembari melempar senyum dan kerlingan mata.
Saya hanya melempar senyum kemudian berhenti mengayu sepeda statis tersebut. Saya perhatikan, semenjak kejadian itu, si ‘gay’ terus memperlihatkan sikap tidak bersahabat manakala kami berpapasan.
Seorang sahabat anggota klub kebugaran, memperingatkan untuk tidak membuat si banci tersinggung. Sebab banyak di antara mereka berasal dari keluarga mapan dan punya kemampuan menaklukan orang yang menyakiti perasaan mereka.
Sebetulnya sekalipun ada rasa “jijik”, perasaan saya juga bercampur kasihan. Sebab sebagai manusia biasa, saya menduga mereka sebetulnya tidak ingin menjadi orang yang memiliki kelainan sex.
Yang saya bayangkan, keluarga khususnya orang tua mereka. Terutama mereka yang masuk golongan masyarakat “the have”. Betapa besar pukulan psikologis yang diderita para orang tua mereka. Secara materi mereka diberi berkah oleh Tuhan. Tetapi Tuhan juga memberi mereka keturunan yang berkelainan sex.
Secara kasat mata, jumlah LGBT ketika itu (1990), belum begitu banyak dibanding sekarang (2016). Karena belum begitu banyak, saya pun tidak memikirkan mereka sebagai sebuah ancaman berbahaya bagi saya apalagi buat bangsa dan negara.
Namun belakangan ini, tiba-tiba LGBT menjadi semacam isu nasional. Komunitas mereka sudah makin besar. Ada yang menjadi seleb. Sejumlah LGBT dikenal sebagai pembawa acara di beberapa jaringan televisi.
Di saat yang sama pemerintah seperti belum punya kebijakan yang jelas. Padahal isu LGBT sudah cukup membuat gaduh.
Di tengah kegaduhan tersebut saya berusaha diam.
Hanya saja saya menandai isu LGBT ini makin kencang dan para anggota ataupun pendukungnya pun seperti merasa sudah ‘mendapat angin’.
Sebagai contoh, pekan lalu, tepatnya Jumat malam 19 Pebruari 2016, saya melakukan pertemuan di sebuah bistro di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Sambil menunggu teman, saya duduk di tempat yang tidak jauh dari meja dimana ada 4 pasang lesbi dan banci sedang ngerumpi sambil menikmati bir dan juice.
Saya tahu mereka sebagai LGBT, tercermin dari pola pakaian yang mereka kenakan, selain cara bicara dan cara berekspresi kegirangan.
Dari cara mereka tampil di bistro tersebut, cukup jelas tergambar bahwa perbincangan tentang LGBT saat ini, telah mempengaruhi cara mereka tampil di publik.
Dari cara berbicara, menikmati makanan dan sesekali memperhatikan tamu yang baru datang atau akan pergi, mereka seperti merasa sudah mendapat pengakuan. Kehadiran mereka sudah merupakan sebuah keniscayaan.
Karena mungkin merasa seperti punya statuis sosial, cara mereka makan, minum dan bicara seperti cuma mereka yang ada di dalam bistro tersebut.
Sesekali di antara mereka ada yang bolak balik ke dapur bar tender. Yang saya tandai bolak-balik itu seperti sekedar ingin menarik perhatian bagi pengunjung. Sebab sambil berjalan kesana kemari, mata mereka terus menyasar kemana-mana.
Jujur “muak” melihat pola tingkah para ‘gay’ dan ‘lesbian’ malam itu.
Belakangan rasa “muak” saya berubah menjadi sebuah ketakutan. Sebab pekan lalu saya teringat diskusi saya dengan seorang dokter. Dia pernah menjadi Menteri dan memiliki sejumlah referens tentang LGBT.
Dia memperingatkan, LGBT hanya satu dari sejumlah agenda negara Barat yang ingin ‘menghancurkan’ Indonesia.
Agenda lainnya seperti virus Zika atau penyakit penyakit baru yang belum ditemukan. Zika katanya merupakan penyakit yang bisa membuat DNA kita menjadi lemah. Kecerdasan seorang yang terkena virus Zika akan berkurang.
Zika tidak mematikan, tetapi penyebarannya sangat muda. Dan yang pasti, Zika merupakan virus ciptaan. Hasil rekayasa.
Yang pasti LGBT dan Zika sengaja ditularkan. Tujuan akhirnya melemahkan Indonesia dari sistem pertumbuhan generasi berikutnya.
Agenda itu ingin menciptakan Indonesia yang tidak memiliki SDM berkualitas.
Konklusi sementara itu, agenda tersebut merupakan bagian dari apa yang disebut “Perang Asimetris”. Perang yang tidak menggunakan senjata modern maupun konvesional. Perang yang tidak dirasakan sebagai sebuah peperangan.
Agenda korporatnya, Barat sedang melakukan program pengurangan penduduk di seluruh dunia. Barat tidak menginginkan penduduk Indonesia dan RRT bertumbuh, hingga dunia memiliki penduduk sebanyak 9 miliar.
Saat ini total penduduk dunia berjumlah 6 miliar.
Mula-mula LGBT dimasukkan ke Indonesia sebagai sebuah gaya hidup modern generasi muda. Setelah gaya hidup ini diterima, maka diharapkan akan bermunculan generasi muda yang memilih gaya hidup tersebut. Di mana orang tidak akan malu lagi melakukan perkawinan sesama jenis kelamin.
Otomatis, jika sudah banyak atau mayoritas penduduk lebih suka kawin dengan sesama jenis, perkawinan itu tak akan membuahkan keturunan.
Sampai akhirnya gaya hidup ala LGBT itu sudah menjadi budaya bangsa Indonesia.
Sebetulnya yang disasar Indonesia dan RRT. Sebab dua negara ini memiliki pertumbuhan penduduk paling cepat.
Pertumbuhan ini dikhawatirkan akan menjadi ancaman bagi dunia, khususnya Barat.
Selain pertumbuhan penduduk akan terhenti, generasi yang dimiliki Indonesia, mayoritas merupakan manusia-manusia yang tak memiliki kepribadian.
Bekas Menteri terebut selain mengingatkan bahaya LGBT, juga menceriytakan sebuah berita yang tersiar akhir tahun lalu (2015). Dimana disebutkan bahwa Bill Gates, salah seorang manusia terkaya di dunia, telah membeli perusahaan makanan terbesar di dunia.
Perusahaan yang dibeli Bill Gates tersebut akan memproduksi makanan yang diberi “racun”. Makanan itu akan dipasarkan ke seluruh dunia, tetapi yang menjadi target utama RRT dan Indonesia.
Makanan itu dicampuri dengan sebuat zat, zat yang dapat melumpuhkan kepintaran. Sehingga setiap manusia yang mengkonsumsinya, bakal mengalami kerusakan berbagai saraf.
Saraf yang menjadi sasaran adalah yang berkaitan dengan otak. Semakin banyak orang yang mengkonsumsi makanan itu, semakin besar SDM yang berpotensi rusak saraf kepintaran mereka.
Ironisnya, tak satupun yang mengetahui jenis makanan tersebut. Bentuk dan namanya pun dirahasiakan.
Agenda lainnya, penyebaran virus Zika. Penyakit ini sulit diobati dan pasien yang terjangkit Zika tidak akan merasa terkena penyakit mematikan.
Oleh sebab itu dengan informasi seorang bekas Menteri tersebut saya akhirnya memutuskan mengambil sikap. Tidak akan mau “bersahabat” dengan teman yang jelas-jelas anggota LGBT atau pendukung maupun promotornya.
Sebagai buktinya, Minggu pagi saya memutuskan keluar dari sebuah grup WA, sebab salah seorang anggotanya berusaha mempengaruhi grup agar tidak memusuhi LGBT.
Saya pikir dunia semakin tua sementara manusia semakin gila.(***Derek Manangka adalah Wartawan Senior Indonesia, artikel ini disalin utuh dari laman Rakyat Merdeka On Line)