Kini ide demokrasi dan HAM dengan sangat gencar ‘diobral’ ke seluruh penjuru dunia. Bagi Amerika Serikat, mengampanyekan ide ini tentu saja dengan biaya yang tidak sedikit. Amerika dan semua sekutunya mengecam siapa saja dan negara mana saja yang menentang ide ini. Mereka menyebut orang-orang yang tidak menyetujui ini sebagai teroris.
Demokrasi menjanjikan kesejahteraan dan memberikan janji muluk-muluk kepada rakyat. Namun pada kenyataanya kesejahteraan itu hanya bisa dirasakan segelintir orang, yakni pengusaha dan elit penguasa. Mereka bersekutu untuk memperkaya diri di atas derita dan nestapa kaum papa. Ketika kaum papa kesulitan mendapatkan sebutir nasi, terlantar di jalanan dan menggelandang di emperan toko serta kolong jembatan, maka pada saat yang sama pengusaha dan elit politik makan dengan harga yang luar biasa, dan tinggal di rumah lux dan hotel berbintang. Inilah sebuah ironi dari penerapan demokrasi. Betapa senggangnya jurang antara si kaya dan si papa. Lihatlah kondisi real Amerika dan Barat yang menerapkan demokrasi. Sistem ekonomi mereka sedang krisis. Pengangguran pun makin meningkat. Angka kriminalitas meroket. Masyarakatnya mengidap penyakit sosial yang akut.
Penerapan HAM, jauh dari yang diharapkan selama ini oleh umat manusia. Amerika sebagai panutan dalam penerapan HAM, pada kenyataanya menjadikannya sebagai alat untuk melanggengkan kepentinganya. Berbagai penindasan dan diskirimasi yang dilakukan Barat dan Israel terhadap Umat muslim di berbagai belahan dunia sama sekali tidak dibela oleh HAM. Namun dalam kasus lain yang menimpa umat non-muslim, mereka berkoar-koar dan bertindak atas nama HAM.
Mengapakah ketidakadilan yang diterapkan dari demokrasi dan HAM bisa terjadi? Permasalahannya adalah keduanya merupakan ide buatan manusia. Aturan-aturan yang dibuat manusia pasti memiliki kelemahan sebagaimana terbatas dan lemahnya akal manusia. Aturan pun bisa berubah-ubah sesuai kepentingan, dimensi ruang dan waktu. Buktinya sangat berbeda demokrasi dan HAM yang ada di Barat dengan yang ada di Indonesia dan di negara-negara Arab dan Timur Tengah.
Akar demokrasi dan HAM berasal dari pemikiran para filosof Barat. Para filosof itu menjadikan fakta sejarah menjadi sumber hukum, padahal seharusnya fakta sejarah itulah yang harus dihukumi oleh suatu konsep yang bukan berasal dari pemikiran manusia yang lemah dan tak sanggup melihat sesuatu secara komprehensif.
Apakah umat Islam masih percaya pada demokrasi dan HAM yang bersumber dari Barat? Fakta menunjukkan rakyat di negeri ini sudah semakin tipis kepercayaan mereka kepada para elit penguasa yang mengusung paham demokrasi dan HAM. Toh bagi orang yang berpikir pragmatis, apa yang mereka dapatkan dari mendukung penguasa, hanya janji-janji yang tak pernah terbukti.
Untuk itu, kemanakah kita berharap? Sebagai muslim sudah selayaknya kita berharap pada Islam. Islam merupakan satu-satunya agama masa depan yang menjadi solusi untuk carut marut dunia. Islam akan menjamin hak-hak umat muslim maupun non-muslim tanpa sekadar janji, namun bukti nyata yang akan dirasakan. Dahulu para rasul dan para khalifah rasyidah telah membuktikannya dalam rentang peradaban yang tidak bisa dikatakan sebentar, selama 14 abad. Mereka membuktikan bahwa Islam bisa memberikan kesejahteraan dan memberikan keamanan atas hak individu dan sosial mereka. Baik warga muslim maupun akan non-muslim akan merasa aman hidup di wilayah Islam (Daar Al–Islam).
Kedigjayaan Islam yang agung itu akan kembali membumi, seandainya Islam dan Totalitas ajarannya diaplikasikan dalam kehidupan bernegara, dengan metode yang dicontohkan Rasul dan para sahabatnya, yakni dalam konsep negara khilafah ala minhajin nubuwwah.