Eramuslim.com – Akibat memprihatini nasib rakyat tergusur di Kampung Pulo, Pasar Ikan, Luar Batang, Bukit Duri, Gunung Kapur dan lain sebagainya, saya dihujani aneka ragam hujatan mulai dari tua bangka bau tanah, lansia kurang kerjaan, pahlawan kesiangan, sampai ke pemberontak melawan pemerintah.
Hujatan tua bangka bau tanah sepenuhnya dapat saya terima sebab kenyataan saya memang sudah tergolong tua bangka sudah berbau tanah akibat maka dari hari ke hari memang makin mendekati liang kubur. Sebutan lansia juga benar sebab usia saya memang sudah layak dianggap lanjut. Namun istilah kurang kerjaan agak kurang tepat sebab sebenarnya kerjaan saya menulis, menggarap komposisi musik, membina wayang orang, menggembleng para musisi muda berbakat, melestarikan jamu, menyelenggarakan acara seminar/diskusi/simposium dan lain sebagainya cukup berlimpah menyita waktu dan energi lahir batin saya yang sudah makin terbatas ini.
Hujatan pahlawan jelas berlebihan sebab saya sama sekali tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai pahlawan meski hujatan kesiangan memang tepat sebab seharusnya saya lebih dini mulai merasa prihatin nasib rakyat tergusur akibat kepekaan sosial saya rada tumpul. Namun hujatan pemberontak melawan pemerintah jelas tidak benar. Saya sama sekali bukan pemberontak sebab niscaya senantiasa setia kepada NKRI. Saya juga tidak melawan siapa pun apalagi pemerintah akibat saya memang pengecut maka tidak memiliki cukup keberanian untuk melakukan perlawanan.
Sepenuhnya saya mendukung kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah namun terbatas pada kebijakan pembangunan yang tidak melanggar Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia dan mashab Pembangunan Berkelanjutan yang telah disepakati oleh PBB sebagai mashab pembangunan abad XXI dengan tidak mengorbankan lingkungan hidup, sosial dan budaya yang pada ujung-ujungnya akhirnya akan memusnahkan umat manusia di planet bumi yang satu-satunya di alam semesta ini.
Maka mohon dimaafkan bahwa saya tidak mendukung kebijakan pemerintah menggusur rakyat tanpa melalui proses musyawarah mufakat. Dalam konteks keberpihakan gusur-menggusur memang saya memilih berpihak ke pihak yang digusur akibat logika bahwa pihak yang digusur lebih tidak berdaya ketimbang pihak yang menggusur. Pihak yang menggusur pasti lebih memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk menggusur ketimbang pihak yang digusur yang tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk tidak digusur. Kebetulan saya juga tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan yang dimiliki pihak penggusur maka mubazir jika saya melawan pihak yang menggusur sama mubazirnya seperti seekor semut melawan seekor gajah.
Bahkan saya tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengritik pihak penggusur sama mubazirnya dengan seekor anjing menyalak senyaring apa pun juga tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan mengritik demi menghentikan sebuah khafilah berlalu. Maka saya hanya mampu memrihatini nasib rakyat tergusur. Rasa prihatin itu saya ungkap melalui tulisan seperti naskah yang sedang anda baca ini. Sama sekali tidak ada harapan politis dalam naskah-naskah saya sebab saya sama sekali tidak memiliki ambisi jabatan apalagi kekuasaan.
Harapan saya melalui ungkapan keprihatinan saya terhadap rakyat tergusur melalui tulisan hanya terbatas pada harapan kemanusiaan saja. Insya Allah, tulisan-tulisan sederhana saya bisa menyentuh lubuk sanubari dan nurani pihak yang menggusur agar berkenan bermurah hati untuk berbelas-kasihan untuk bermusyawarah-mufakat dengan rakyat tergusur sesuai sila kemanusiaan, kerakyatan dan keadilan sosial bagi segenap rakyat Indonesia. Bermusyawarah-mufakat dengan rakyat tergusur demi bersama mencari kemungkinan untuk mengurangi beban derita rakyat tergusur.(ts/rmol)