Guru PAI dan Sekretaris Majelis Tabligh PD Muhammadiyah Kuansing
Entah mengapa sebagian kita latah, terutama remaja kita, ikut-ikutan mende-sakralisasi makna cinta yang begitu agung, luas, dan global. Sakralisasi cinta yang seharusnya mengiringi hembusan nafas kehidupan insan dimaknai hanya satu hari, 24 jam. Maka, valentine days sejatinya adalah hari tragedi cinta yang maha salah kaprah. Lalu, bagaimana seharusnya kita memaknai dan menyikapi cinta? Inilah cinta, mata dan manisnya iman.
CINTA merupakan persoalan komunikasi hati antara yang mencintai dan dicintai. Mencintai berarti dinamis. Ada rasa dan usaha (pengorbanan). Tidak mencintai namanya, tanpa ada yang dicintai. Mencintai perlu bukti dan dicintai perlu reaksi. Mencintai tanpa reaksi yang dicintai, namanya cinta bertepuk sebelah hati. Maka, mencintai dan dicintai berarti persoalan ‘komunikasi’ hati.
Dalam catatan sejarah kehidupan manusia, mata senantiasa berperan menghadirkan cinta pada jiwa. Tetapi mata bukanlah satu-satunya pemain peran bagi kehadiran cinta itu. Sebab, pungsi mata untuk melihat. Semua orang tentu sepakat. Namun, bila dikatakan mata dapat melihat belum tentu semua orang sepakat. Karena mata dapat melihat apabila ada cahaya. Artinya, tanpa cahaya mata tidak dapat menghadirkan cinta. Sebab itu, mata bukan aktor utama asbabul nuzul cinta.
Mata Hati
Namun ada mata yang dapat melihat tanpa ada cahaya. Dia bijaksana dan melahirkan cinta sejati. Dialah mata hati yang juga dikenal nurani. Nur artinya cahaya, dan aini artinya mata(ku). Maka hati nurani berarti cahaya mata hatiku. Bedanya, mata di wajah kita pandangannya terbatas pada benda kasat mata (objek yang terlihat), sedangkan mata hati mampu melihat ke lubuk sanubari (menembus yang tak terlihat). Sebab itu, orang buta mustahil hidup tanpa cinta meski mata di wajah tak sempurna.
Bila mata di wajah kita butuh cahaya, maka mata hati memiliki cahaya bagi dirinya sendiri. Sebab itu hati nurani tidak bisa dibohongi. Ia fitrah Ilahi. Apabila dimiliki dan dijaga, ia akan menerangi jalan hidup pemiliknya. Ia senantiasa akan terhindar dari nafsu jahat lawwamah dan menjadi sumber ketenangan jiwa (muthma-innah). Cinta ini diridhai oleh Tuhan dan balasannya berupa kenikmatan surga. Ia suci dari dosa dan apabila kembali (irji’i) kepada sang penciptanya, maka dalam keridhaan-Nya.
Allah Ta’ala berfirman: “Wahai jiwa yang tenang (muthma-innah)! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridai-Nya (karena cinta). Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS Al-Balad [89]: 27-30).
Sebab itulah cinta sejati berada di hati nurani sekaligus tempat ia diproduksi. Cinta inilah yang mampu berkomunikasi dari hati ke hati. Cinta ini tidak lagi mengukur paras wajah, tingkat sosial, dan kehidupan mewah sebagai standar. Karena globalisasi cinta sudah terjadi, di mana sekat-sekat strata kehidupan hilang dan materi bukan lagi pembeda. Inilah cinta yang menembus realita dan logika. Cinta sang mata hati.
Cinta hati yang sejati berpengaruh kepada sikap dan budi pekerti (akhlak). Selama hati bersih, cinta mata hati akan tetap memproduksi kebaikan. Namun apabila dikotori, ia hanya melahirkan nafsu birahi serta sifat dengki. Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Ingatlah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal darah. Apabila ia baik, niscaya baiklah seluruh anggota badan. Apabila ia buruk, niscaya buruklah seluruh anggota badan (akhlak). Ingatlah, dia adalah hati” (HR Muslim).
Manisnya Iman
Cinta yang hanya diproduksi oleh tatapan mata di wajah, tidak akan melahirkan kekuatan iman di hati. Karena apapun yang ditatap mata, sifatnya fana dan segera musnah. Sebaliknya, cinta yang dilahirkan oleh kebeningan nurani dengan obyek yang tersembunyi, mampu abadi. Cinta inilah yang menurut persfektif agama (Islam) akan mampu merasakan kekuatan, bahkan manisnya iman. Inilah cinta karena rasa, bukan karena benda. Cinta karena keyakinan bukan kemungkinan.
Menurut Imam Al Ghazali, sang hujjatul Islam, hati yang bersih dari nafsu dan dosa hanya dimiliki oleh orang-orang beriman. Oleh sebab itu, orang beriman akan melihat, mendengar, bicara, merasa, dan melangkah karena cinta. Cinta yang didasari karena cintanya kepada Allah SWT. Itulah cinta yang memanjakan kita untuk menikmati kelezatan iman. Inilah cinta manisnya iman.
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Ada tiga perkara yang barang siapa terdapat pada dirinya, maka dia akan merasakan manisnya iman, (yaitu) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari pada selain keduanya; seseorang mencintai orang lain yang mana dia tidak mencintainya kecuali karena Allah; dan membenci kemurtadan terulang kembali sebagaimana dia benci kalau dilemparkan ke dalam neraka” (HR Bukhari).
Cinta adalah anugerah besar yang dititipkan Ilahi buat insan. Cinta tidak akan berarti, kehilangan makna sejati, apabila digunakan tanpa memperhatikan syariat cinta. Ia tidak boleh dibatasi oleh suasana dan keadaan. Sebab nafas cinta akan terhenti jika gerak dan kondisi dibatasi.
Tidak ada hari khusus bagi cinta dan memperingati hari atas nama cinta (valentine days). Karena setiap hari, cinta harus terus berhembus untuk menebar pesona hidup yang lebih indah dan bermakna. Tidak ada cinta yang mulia dan paling terpuji kecuali kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang bersumber pada nilai-nilai ketuhanan. Disinilah kehebatan cinta sepanjang sejarah terbukti selalu mengalahkan logika. Wallaahu A’lam. ***.