“Harusnya aparat terkait , fokus dan profesional untuk segera ungkap dan tangkap pelakunya, jadi tidak perlu membangun opini dan sangkaan atau analisis dihadapan publik. Apalagi sibuk (seperti BNPT) memfollow up kasus itu dengan analisa keterkaitan antara jaringan terorisme dan sebagainya, menurut saya itu berlebihan dan mendramatisir.
Kalau dilihat impact dari bom tersebut juga menunjukkan low eksplosif, bisa jadi cuma petasan yang dicampur dengan material lain agar terkesan ia bom rakitan yang benar-benar bom. Dan banyak orang yang bisa bikin bom seperti itu. Kalau pelaku, berangkat dari material bomnya bisa saja orang iseng atau orang sakit hati. Dan bisa juga kerjaan intelijen gelap untuk membuat “keruh” dengan target tertentu dibalik itu.
Dan kalau dari sisi tempat maka orang akan berpikir linear bahwa ini kerjaannya “teroris” yang tidak terima dengan kasus pembantaian muslim Rohingnya.Jadi menurut saya, kasus ini dimoment yang relevan ketika AS mengeluarkan early warning tentang kemungkinan serangan teroris (jaringan al Qaeda).Dan peletakan bom itu ditempat yang “sensitif” menyangkut isu kerukunan umat beragama dan toleransi.
Maka dangan menjadikan Vihara tempat aksi akan memberikan stimulasi mudah untuk justifikasi siapa pelakunya dan memudahkan orang mengkait-kaitkan antara Vihara (Budha) dengan kasus pembantaian Muslim di Myanmar oleh orang-orang budha. Jadi ini aksi kecil, tapi cukup bisa didramatisir untuk mengalihkan beberapa isu lain misalkan tentang “fatal atraction” dari Densus 88 yang salah tangkap 2 orang (Mugi dan Safari) di Tulung agung dan extra judicial killing terhadap 2 orang lainnya (Rizal alias eko-Klaten dan Dayat-Paciran Lamongan).
Dan dugaan saya, dari kasus bom “mainan” ini, aparat kontra terorisme (BNPT n Densus) mau melakukan perburuan dan mendapat legitimasi tindakan tindakan  “hukum jalanan” berikutnya kepada orang-orang yang di sangka dan diduga terkait dengan terorisme.
Jadi,masyarakat harus bisa bedakan mana fakta dan mana berita/opini rekayasa dan juga fakta kejadian yang jadi produk rekayasa orang-orang opuntunir.
Salam
(Harits Abu Ulya-Pemerhati Kontra Terorisme dan Direktur CIIA/5 Agustus 2013)