Dalam kurun dua bulan terakhir harga beras melonjak-lonjak. Bayangkan, harga beras telah terbang dari Rp 7.000/kg jadi Rp 10.500-11.000/kg hanya dalam tempo dalam 8 pekan.Keruan saja, rakyat menjerit. Perut mereka makin melilit. Hati pun kian sakit.
Di bawah pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, rakyat benar-benar telah menjadi yatim piatu. Rakyat dipaksa menghadapi berbagai persoalan hidup sendiri. Di mana Pemerintah? Pemerintah sudah lama absen! Mereka sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Mereka adalah kumpulan penggenggam amanah yang autis. Ironis. Tragis!
Pertanyaan besar yang patut disorongkan kepada Jokowi-JK adalah, apa kerja kalian selama ini?
Khusus buat Jokowi, sebaiknya kamu, tuh, mulailah down to earth. Jangan lagi berpikir yang ‘besar-besar’ dan, sepertinya, gagah. Singkirkan dulu berbagai gagasan wah seperti poros maritim, tol laut, dan lainnya. Cobalah lihat, lebih dari 15,5 juta rakyat Indonesia yang miskin itu kini makin miskin karena harga beras yang tak terkendali.
Maaf, ya, saya memang sengaja mengkamu-kamukan Jokowi. Bukannya bermaksud tidak sopan kepada Presiden, lho. Ini sekadar mengingatkan kembali tagline yang dilekatkan para pendukungnya, “Jokowi adalah kita!”
Saya memaknai jargon itu benar-benar sebagai Jokowi adalah kita. Jokowi adalah teman, sahabat. Bahkan Jokowi adalah benar-benar kita. Jadi, ga apa-apa dong kalau berkamu-kamu dengan Jokowi.
Kebijakan sembrono
Kian menggunungnya derita 15,5 juta rakyat miskin bermula dari kebijakan gegabah Jokowi-JK yang menghapuskan program beras untuk rakyat miskin (Raskin). Kebijakan itu makin konyol karena bekas Walikota dan Gubernur DKI yang ‘desertir’ itu mengganti program Raskin dengan kartu bank. Idenya, kelak, rakyat miskin bisa membeli beras dengan kartu bank yang diberikan pemerintah.
Rencananya, electronic money alias e-money, begitu program pengganti Raskin itu disebut, baru akan digulirkan enam bulan ke depan. Kalau pun jadwalnya melar, paling lambat sudah menggelinding awal tahun 2016. Dengan e-money, pemerintah tidak lagi menyalurkan beras kepada rakyat miskin, tapi diganti dengan mentransfer dana ke rekening rakyat. Nah, uang elektronik itulah yang bisa digunakan untuk membeli beras.
Baru sampai di sini sebetulnya sudah mencuat betapa sembrononya mengganti Raskin dengan e-money. Di lapangan, terutama di daerah-daerah memangnya mudah membeli beras dengan ‘uang plastik’? Kalau pun harus menguangkan lewat ATM, apa mesinnya bisa ditemui di tiap pelosok desa? Kalau ternyata tidak ada, kemana rakyat miskin itu harus menguangkan e-money-nya? Singkat kata, bakal timbul serenceng keribetan baru yang membelit rakyat miskin tadi.
Penghapusan program Raskin dan mengganti dengan e-money inilah yang dikritik sejumlah kalangan. Kepala Badan Urusan Logisitik (Bulog) era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, adalah salah satunya. Menurut dia, Raskin selama ini sangat efektif membantu rakyat miskin. Pasalnya, dibagikan langsung oleh kepala-kepala Dukuh kepada keluarga miskin dan jompo.
Di sisi lain, ekonom senior yang dikenal bertangan dingin menyelesaikan banyak problem ekonomi ini mengakui, memang terjadi manipulasi Raskin di beberapa kota. Meski begitu, lanjut dia, tidak berarti kelemahan pelaksanaan di kota-kota besar tersebut membuat Raskin dihapus. Seharusnya, programnya diperbaiki, bukan malah menghapus program Raskin.
Bisa jadi tidak banyak orang tahu, RR, begitu tokoh nasional ini biasa disapa, adalah orang di balik cikal bakal program Raskin ketika masih menjadi Kepala Bulog. Tapi kegeramannya bukan semata-mata karena Raskin dihapus Joko Widodo-JK.
“Penghapusan Raskin adalah kebijakan keblinger karena 15,5 juta keluarga miskin tidak memiliki daya beli membeli beras pada harga pasar. Kondisi ini akan membuat keluarga miskin betul-betul diabaikan dan dibiarkan lapar. Kejam!” ujarnya masygul.
Hatinya tidak untuk rakyat
Sejatinya, penghapusan program Raskin bukan cuma menunjukkan Jokowi-JK sembrono. Tapi juga sekaligus membuktikan bahwa hati mereka benar-benar tidak untuk rakyat. Padahal, berpihak kepada rakyat inilah jualan yang terus-menerus disemburkan pasangan itu dan para pendukungnya selama kampanye Capres-Cawapres.
Penghapusan Raskin akan menggiring beras sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar. Inilah jiwa dari mazhab neolib. Ujung-ujungnya, bukan mustahil Indonesia akan semakin tinggi tingkat ketergantungannya terhadap beras impor. Selanjutnya gampang ditebak siapa saja yang bakal menangguk untung besar. Mereka itulah segelintir importir yang membentuk kartel beras. Di kalangan pemain beras, konon, nama dengan inisial BH sudah begitu kondang sebagai raja kartel komoditas startegis ini.
Padahal, selama ini Raskin bukanlah sekadar program menjual beras kepada rakyat miskin dengan harga murah. Ia juga sekaligus menjadi bagian dari instrumen pengendali harga di tingkat petani, khususnya saat panen raya. Bukan hal aneh bila harga gabah dan beras terjun bebas saat panen. Dengan program Raskin, pemerintah melalui Bulog berkewajiban membeli beras petani sampai 3,5 juta sampai 4 juta ton. Itulah sebabnya tiap tahun pemerintah menganggarkan dana hingga Rp18 triliun untuk keperluan ini.
Selain itu, program Raskin juga sekaligus menjadi alat ampuh untuk menjadi penyangga stok beras pemerintah yang 1 juta-2 juta ton. Jumlah ini kudu tersedia setiap saat. Saat cadangan cukup, spekulan tidak berani macam-macam memainkan harga. Begitu harga sedikit naik dengan tidak wajar, pemerintah bisa langsung membanjiri pasar.
Nah, sejumlah program yang prorakyat tadi bakal menguap seiring dihapuskannya program Raskin. Saya benar-benar heran, mosok sih Jokowi yang gemar blusukan itu, yang katanya merakyat itu, tidak paham soal-soal mendasar seperti ini? Masak sih Jokowi yang katanya merakyat itu tidak bisa menangkap problem dan kesulitan yang dialami rakyat kecilnya? Kalau soal para menterinya, saya memang sudah sejak awal tidak berharap banyak. Mereka adalah jajaran pembantu Presiden dengan mutu jauh di bawah banderol. Anak-anak muda menyebutnya KW-3!
Liarnya harga beras sekali lagi menjadi bukti bahwa, Jokowi yang dipersepsikan merakyat itu, ternyata malah gemar menyengsarakan rakyat. Hanya dalam tempo kurang dari enam bulan sejak terpilih menjadi Presiden, dia justru banyak menggelontorkan kebijakan yang mencekik rakyatnya sendiri.
Menaikkan tarif dasar listrik (TDL), menaikkan harga BBM jenis premium ketika harga minyak dunia terjun, menaikkan harga gas LPG 3 kg, menaikkan tarif kereta api hingga 400%, dan lainnya. Dan, yang teranyar, Jokowi beserta para menterinya sama sekali ngga engeh harga beras sudah terbang lebih dari 30%.
Mestinya Jokowi paham benar, bahwa beras bukanlah perkara sepele bagi negeri dengan penduduk lebih dari 256 juta jiwa ini. Begitu vitalnya urusan beras, hingga ketika Soeharto bekuasa, dia benar-benar menjaga ketersediaan beras dengan harga terjangkau rakyat kecil.
Bagi Penguasa Orde Baru itu, beras bisa membahayakan kesinambungan kekuasaannya. Sikap serupa juga ditunjukkan sejumlah penguasa di negara-negara maju, seperti Jepang. Itulah sebabnya Pak Harto berupaya dengan segala cara, agar negeri ini kebutuhan beras bisa dipasok dari dalam negeri. Upayanya itu akhirnya membuahkan hasil menggembirakan. Food Agriculture Organization (FAO) mengganjar Indonesia dengan penghargaan sebagai negara yang berhasil berswasembada beras pada 1986.
Beras memang bukan soal remeh-temeh. Saat Rizal Ramli menjadi Kepala Bulog, dia punya semacam early alert system. Pergerakan harga beras terus dipantau, terutama di beberapa kota yang dianggap penting. Seperti memonitor harga saham-lah. Jika harga naik di atas Rp50 saja per hari, warna kuning muncul. Kalau naiknya sampai Rp100/hari, maka ini sudah masuk warna merah. Pergerakan harga itulah yang dipantau dan dianilisis untuk diambil tindakan secara cepat dan tepat.
Sayangnya, pemerintahan Jokowi sama sekali tidak menyadari soal ini. Perlu waktu hingga 8 pekan untuk membuat mereka engeh, itu pun baru terjadi setelah media meributkannya dalam pemberitaan mereka.
Pak Presiden, kamu tuh selama ini ngapain aja, sih? Lha mbok kalo telmi alias telat mikir ya jangan kelewatan dong, ah!
Jakarta, 3 Maret 2015
*Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)