KETIGA, bahwa atas dasar apa oknum aparat melakukan tindakan memanggil dan/atau memeriksa dan/atau menggiring alat pawai Muharram ke kantor polisi yang dikarenakan mengibarkan bendera tauhid? Padahal tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang hal tersebut. Saya berharap agar aparat penegak hukum bijaksana dalam menyikapi hal ini agar tidak terjadi gejolak sosial ditengah masyarakat akibat tindakan yang tidak berdasar hukum ini dikemudian hari;
KEEMPAT, bahwa bendera yang jelas OPM yaitu Bintang Kejora, jelas ingin memisahkan diri dari NKRI, jelas dikibarkan di depan istana dan sejumlah titik di Indonesia sebagian besar justru dikawal dan dijaga aparat. Tidak ada intimidasi, pemeriksaan, apalagi memaksa membawa sejumlah kendaraan milik pendemo bendera OPM untuk diperiksa. Sikap polisi begitu kontras, berbeda 180 derajat antara bendera OPM dan bendera tauhid. Bendera OPM Bebas berkibar didepan istana negara, dipusat jantung ibukota.
KELIMA, bahwa pada hal telah jelas terkait OPM dan Bendera Bintang Kejora, Jika merujuk pada UU 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Papua, ditegaskan bahwa Papua merupakan bagian dari NKRI. Maka bendera Papua adalah bendera merah putih. Kemudian ditegaskan didalam Pasal 2 ayat 1, PP No 77 Tahun 2007 Tentang Lambang Negara. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 6 Ayat 4 Jo. Pasal 104 KUHP tentang makar;
KEENAM, bahwa Bendera tauhid, berulangkali diframing sebagai bendera terlarang. Bendera ormas. Bendera teroris. Entah sampai kapan rezim Jokowi akan menebar tudingan dan fitnah ini?. Apabila hal ini berlanjut, maka akan memperkuat praduga dari masyarakat bahwa rezim Jokowi anti Islam;
Wallahu alam bishawab (*end)
Penulis: Chandra Purna Irawan, Ketua Eksekutif BHP KSHUMI & Sekjen LBH PELITA UMAT