Eramuslim.com
اَلْـحَمْدُ لِـلّٰهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَلَاهُ، وَبَعْدُ:
[1]- Muqaddimah
Istilah “SURAT TERBUKA” yang digunakan untuk tulisan Fathuddin Ja’far -setelah melihat isinya-; maka ternyata istilah tersebut digunakan untuk tulisan yang berisi kritikan dan juga semacam bantahan, dengan bentuk: “seolah-olah” ingin mendamaikan dua kubu yang berseteru. Maka apapun istilahnya; tentunya harus disertai dengan hujjah yang nyata, disertai pemahaman terhadap realita yang terjadi. Karena, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- bahwa: seorang yang akan menghukumi; maka hendaknya dia memiliki: “Dua jenis pemahaman:
Pertama: Pemahaman terhadap realita, (dengan) mendalaminya dan berusaha mengetahui hakikat kejadian (dan keadaan) yang sebenarnya, (yaitu) dengan (cara) mempelajari indikasi dan tanda-tanda, sehingga dia benar-benar menguasai (realita) tersebut.
Kedua: Pemahaman terhadap kewajiban (kita) dalam menghadapi realita tersebut, yaitu: pemahaman terhadap hukum Allah yang terdapat dalam kitab-Nya maupun (sunnah) Rasul-Nya.
Kemudian menggabungkan dua jenis pemahaman tersebut.
Barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam mengerahkan kemampuannya dalam hal ini; maka (kalau benar) dia mendapat dua pahala atau (kalau salah) dia mendapat satu pahala. Maka yang dinamakan ‘alim (orang yang berilmu) adalah: orang yang mengetahui realita dan mempelajarinya, kemudian pemahamannya (terhadap realita) ini dia gunakan untuk mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya (dalam perkara-perkara tersebut)…
Barangsiapa memperhatikan syari’at dan hukum-hukum para Shahabat (Nabi), maka dia akan mendapatkannya dipenuhi dengan (metode) ini. Dan barangsiapa yang tidak menempuh (jalan) ini; maka dia akan menyia-nyiakan hak manusia dan menisbatkan (ketidak adilan) tersebut kepada syari’at (Islam) yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya.”
[“I’laamul Muwaqqi’iin ‘An Rabbil ‘Aalamiin” (I/165-166)]
Demikian juga seorang yang ingin mendamaikan antara dua kubu yang berseteru; maka dia harus memiliki dua pemahaman di atas, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim juga:
“Seorang yang ingin mendamaikan (antara dua kubu): dia harus berilmu terhadap realita dan mengetahui kewajiban (yang harus diterapkan terhadap realita tersebut- pent).”
[I’laamul Muwaqqi’iin (I/204-205)]
Karena tanpa adanya dua pemahaman ini; maka orang yang ingin mendamaikan antara dua kubu yang berseteru: justru bisa terjatuh dalam kezhaliman dan ketidak adilan. Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَأَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُـمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتَّى تَفِيْءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوْا إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Dan apabila ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang; maka damaikanlah antara keduanya. JIKA SALAH SATU DARI KEDUA GOLONGAN ITU BERBUAT ZHALIM TERHADAP (GOLONGAN) YANG LAIN; MAKA PERANGILAH (GOLONGAN) YANG BERBUAT ZHALIM ITU, SEHINGGA GOLONGAN ITU KEMBALI KEPADA PERINTAH ALLAH. Jika (golongan) itu telah kembali (kepada perintah Allah); maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujuraat: 9)
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:
“Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- pertama-tama: memerintahkan untuk “ishlaah” (mendamaikan) antara dua golongan yang saling memerangi. Kemudian JIKA ADA SALAH SATU DARI DUA GOLONGAN TERSEBUT YANG MELAMPAUI BATAS ATAS GOLONGAN YANG LAINNYA; MAKA KETIKA ITU: ALLAH MEMERINTAHKAN UNTUK #MEMERANGI GOLONGAN YANG MELAMPAUI BATAS, #BUKAN_MENDAMAIKAN; #KARENA_ITU_ADALAH_KEZHALIMAN. Maka ketika mendamaikan -padahal ada golongan yang menzhalimi-; hal itu akan mengurangi hak golongan yang dizhalimi.”
[I’laamul Muwaqqi’iin (I/203-204)]
Dan bagi yang memahami -dengan teliti- kasus MIAH ini; maka dia akan melihat kezhaliman yang nyata dari kubu yang mendemo MIAH, dan tuduhan-tuduhan yang keji atas Ustadz Yazid secara khusus, dan atas Salafiyyin secara umum.
Dan bagi yang membaca tulisan Fathuddin Ja’far -dengan ilmu dan pemahaman-; maka dia akan melihat kurangnya pengetahuan dia terhadap dua jenis pemahaman di atas.
Wallaahul Muwaffiq.
[2]- Perkataan Fathuddin Ja’far:
“Assalamu’alaikum Warahmatullah.
Ribuan umat Islam hari ini (khususnya dari kalangan NU) berdemo menuntut Pemda Bogor agar Masjid Imam Ahmad Bin Hanbal yang dibina oleh Al-Akh Yazid Bin Abdul Qadir Jawaz dari kelompok Salafi Rodja ditutup dan dibekukan proses perizinannya.
Sebagaimana video yang beredar, Wali Kota Bogor Bima Arya terlihat menyampaikan kepada para pendemo, demi menjaga kesatuan Ummat maka pemerintah kota Bogor segera memproses pembekuan IMB Masjid Imam Ahmad Bin Hanbal.
Ini adalah tragedi dan sekaligus berita duka yang sangat perih sehingga setiap kita pantas menangisi dan meratapi diri sendiri.”
Di sini dia menjelaskan “realita” secara “global” yang intinya: adanya gangguan dan ujian atas Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah- sebagai Pembina MIAH (Masjid Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal).
Maka ketahuilah bahwa:
(1)- Nabi-Nabi Dan Para Pengikutnya (Dari Kalangan Para Ulama Dan Orang-Orang Shalih) Merupakan Manusia Yang Paling Berat Cobaannya
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: ((الْأَنْبِيَاءُ)) [ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ((الْعُلَمَاءُ]، [ثُمَّ الصَّالِـحُوْنَ]، ثُمَّ الْأَمْثَلُ، فَالْأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ، فَإِنْ كَانَ دِيْنُهُ صُلْبًا؛ اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِيْنِهِ رِقَّةٌ؛ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِيْ عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ))
Dari Sa’d bin Abi Waqhqhash -radhiyallaahu ‘anhu-, dia berkata: Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat cobaannya? Beliau bersabda: “Para nabi.” [Kemudian siapa? Beliau bersabda: “Para ulama], [kemudian orang-orang shalih], kemudian yang semisal dan yang semisal (mereka). Maka seseorang diberikan cobaan sesuai dengan tingkat agamanya. Kalau agamanya kuat; maka cobaannya semakin berat, dan kalau agamanya lemah; maka dia diberi cobaan sesuai dengan agamanya. Cobaan akan terus menerus menimpa seorang hamba; sampai dia berjalan di muka bumi dengan tidak memiliki dosa.”
[Sanadnya Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2398), Ibnu Majah (no. 4023), Ahmad (no. 1481, 1494, 1555, & 1607- cet. Daarul Hadiits), dan lain-lain, dari Sa’d bin Abi Waqqash, dengan sanad yang hasan. Dan tambahan [ ] kedua adalah milik Ahmad dalam salah satu riwayatnnya. Adapun tambahan pertama; diriwayatkan oleh Al-Hakim (no. 119-cet. Daarul Fikr), dari Abu Sa’id Al-Khudri, dengan sanad yang hasan pula]
Syaikh Doktor Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali -hafizhahullaah- berkata:
“Yang semisal, dan yang semisal (mereka); mereka adalah: orang-orang shalih yang berjalan di atas manhaj (jalan) mereka (para nabi) dalam berdakwah mengajak kepada Allah, dan berdakwah sesuai dengan dakwah mereka; berupa: mentauhidkan Allah, mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya saja, dan menyingkirkan kesyirikan dengan selain-Nya, dan mereka mendapatkan gangguan dan cobaan seperti apa yang menimpa para teladan mereka; yakni: para nabi.
Oleh karena itulah; anda saksikan banyak dari para da’i yang berpaling dari manhaj yang berat dan jalan yang sulit ini. Karena, da’i yang menempuh jalan ini; maka dia akan menghadapi ibunya, bapaknya, saudaranya, orang-orang yang dicintainya dan teman-temannya. Dia juga AKAN MENGHADAPI MASYARAKAT; PERMUSUSHAN, EJEKAN, DAN GANGGUAN MEREKA.
Sehingga (para da’i) tersebut berpaling menuju beberapa bagian dari Islam yang memang mempunyai kedudukan; yang tidak akan diingkari oleh orang yang beriman kepada Allah, dimana bagian-bagian ini tidak memiliki kesusahan, kesulitan, ejekan dan gangguan; khususnya di kalangan masyarakat Islam. Maka, sungguh, umat Islam akan mengelilingi da’i semacam ini, mereka akan memberikan pengagungan dan pemuliaan; tanpa ada ejekan dan tidak juga gangguan…”
[“Manhajul Anbiyaa’ Fid Da’wah Ilallaah Fiihil Hikmah Wal ‘Aql” (hlm. 50)]
(2)- Sehingga: Adanya Ujian Justru Pertanda Kebaikan
Syaikh Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullaah- berkata:
“Maka dalam hadits-hadits ini terdapat petunjuk yang tegas bahwa: seorang mukmin semakin kuat keimanannya; maka semakin bertambah ujian dan cobaannya, dan demikian juga sebaliknya. Maka di dalamnya terdapat bantahan atas ORANG-ORANG YANG LEMAH AKAL DAN OTAKNYA yang menyangka bahwa seorang mukmin jika ditimpa musibah -seperti: dipenjara, diusir, dicopot dari jabatan, atau semisalnya- dianggap bahwa ini bukti bahwa mukmin tersebut tidak diridhai di sisi Allah -Ta’aalaa-! Ini persangkaan yang bathil. Lihat sendiri bahwa Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang merupakan manusia yang paling utama: beliau adalah manusia yang paling berat cobaannya, bahkan melebihi para nabi. MAKA UJIAN -SECARA UMUM- ADALAH BUKTI UNTUK KEBAIKAN, DAN BUKAN PERINGATAN UNTUK KEJELEKAN.”
[“Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah” (I/275)]
(3)- Sehingga yang menjadi inti permasalahan adalah: manakah Dakwah yang sesuai dengan tuntutan Nabi: apakah yang didakwahkan oleh Ustadz Yazid ataukah para pendemo?
Maka ini bisa dilihat dari buku-buku karangan Ustadz Yazid -yang berjumlah puluhan- dan juga ceramah-ceramah beliau yang mencapai ratusan -atau bahkan ribuan-.
Dan kalau Dakwah kita tidak sesuai dengan Dakwah Para Nabi Dan Pengikut Mereka; maka: “setiap kita pantas menangisi dan meratapi diri sendiri” -sebagaimana dikatakan oleh Fathuddin Ja’far sendiri-.
Wallaahul Muwaffiq.
[3]- Perkataan Fathuddin Ja’far:
“Dari pihak Salafi, wa bil-husus akhil karim Yazid Jawaz hafizhohullah (kita sudah kenal dan bersaudara sejak tahun 1983/1984 kendati manhaj dakwah kita berbeda), sepatutnya mengevaluasi manhaj dan uslub dakwah yang dikembangkan. Tidak menutup kemungkinan, masyarakat bertindak brutal itu karena manhaj dan asalib dakwah yang antum kembangkan sendiri terlau banyak melukai hati dan pemikiran mereka sejak 15 tahun belakangan.”
Di sini ada beberapa catatan:
(1)- Tentang “masyarakat menjadi brutal”; maka ini sudah kita bahas pada point sebelumnya bahwa: brutal atau tidaknya masyarakat bukanlah ukuran kebenaran. Dan bahkan: para nabi dan pengikut mereka telah mendapatkan “kebrutalan” yang luar bisa dari masyarakatnya.
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sungguh, pada umat sebelum kalian: ada seorang laki-laki yang dibuatkan lubang di tanah untuknya, kemudian dia diletakkan di dalamnya, kemudian didatangkan gergaji lalu diletakkan di atas kepalanya; maka dia pun dibelah menjadi dua, dan (ada yang) disisir dengan sisir besi antara daging dan tulangnya; maka hal itu tidak menghalanginya dari agamanya. Demi Allah! Perkara (Islam) ini akan sempurna hingga seorang berkendara dari Shan’a sampai ke Hadhramaut tidak ada yang dia takuti kecuali Allah dan serigala (yang ditakutkan memakan) kambingnya. Akan tetapi sungguh, kalian terlalu terburu-buru.”
HR. Al-Bukhari (no. 6943)]
(2)- Adapun tentang “mengevaluasi manhaj dan uslub dakwah yang dikembangkan”; maka tentunya evaluasi ini diukur dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan Allah telah menjelaskan tentang Manhaj Dakwah yang benar yang Allah syari’atkan untuk para nabi-Nya -tidak terkecuali Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, agar mereka mengawali dan memprioritaskan Dakwah mereka dengan TAUHID: beribadah hanya kepada Allah saja dan menjauhi -bahkan mengingkari- peribadahan kepada selain Allah.
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
وَلَقَدْ بَـعَـثْـنَا فِـيْ كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْـبُـدُوا اللهَ وَاجْـتَـنِـبُوا الطَّاغُوْتَ…
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan): “Beribadahlah kepada Allah dan jauhilah Thaghut….” (QS. An-Nahl: 36)
[Thaghut: adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah; sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik rahimahullaah. Lihat: “Fat-huul Majiid” (hlm. 44-tahqiiq Syaikh Walid Al-Furayyan)]
Allah juga berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلَّا نُوحِيْ إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُوْنِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesmbahan (yang berhak diibadahi selain Aku, maka beribadahlah kepada)-Ku.” (QS. Al-Anbiyaa’: 25)”
Dan Manhaj Dakwah inilah yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad -shallallaallaahu ‘alaihi wa sallam- mulai dari awal beliau berdakwah: sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Rabi’ah bin ‘Ibad Ad-Dili radhiyallaahu ‘anhu -seorang Shahabat yang mengalami masa Jahiliyyah, kemudian masuk Islam-, dia berkata: Saya telah melihat Rasulullah -shallallaallaahu ‘alaihi wa sallam- dengan mata kepalaku di pasar Dzul Majaz, beliau bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، تُفْلِحُوْا
“Wahai manusia! Katakanlah “Laa Ilaaha Illallaah”; niscaya kalian akan beruntung.”
Dalam riwayat lain: Saya telah melihat Rasulullah -shallallaallaahu ‘alaihi wa sallam- berkeliling di Mina di tempat-tempat mereka -sebelum beliau Hijrah ke Madinah- beliau bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ -عَزَّ وَجَلَّ- يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ، وَلَا تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا
“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah -‘Azza Wa Jalla- memerintahkan kepada kalian untuk beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apa pun.”
Dia (Rabi’ah) berkata: Dan di belakangnya ada laki-laki yang berkata: “Orang ini menyuruh kalian untuk meninggalkan agama nenek moyang kalian!” Maka aku bertanya tentang orang ini, dan ada yang menjawab: Ini Abu Lahab.
[Shahih: HR. Ahmad (no. 15915 & 18905- cet. Daarul Hadiits) dan Ath-Thabrani dalam “Al-Mu’jamul Kabiir” (V/61). Riwayat kedua diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad (no. 160244-cet. Mu’assasah Ar-Risaalah) dan Ath-Thabrani dalam “Al-Mu’jamul Kabiir” (V/61). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 159) dari Shahabat lain]
“Maka beliau (Rasulullah) -‘alaihish shalaatu was salaam- memulai (Dakwah) dengan apa yang para nabi memulai dengannya, dan bertolak seperti mereka; dengan Dakwah mereka: berupa ‘Aqidah Tauhid, mengajak untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah saja; (Dakwah kepada) “Laa Ilaaha Illaallaah, Muhammad Rasuulullaah”.
[“Manhajul Anbiyaa’ Fid Da’wah Ilallaah Fiihil Hikmah Wal ‘Aql” (hlm. 72), karya Syaikh Doktor Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali -hafizhahullaah-]
Maka bandingkanlah dengan apa yang didakwahkan oleh Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-; dimana beliau sering mengatakan -pada ceramah-ceramahnya-: “Pembahasan tentang Tauhid harus diulang-ulang terus sampai ribuan kali.”
(3)- Adapun “uslub dakwah”; maka apakah yang dimaksud dengan Uslub Dakwah?
Syaikh Doktor Shalih Fauzan -hafizhahullaah- menjelaskan “Uslub” dan juga “Wasilah”; bahwa:
“-Wasilah-Wasilah (dakwah) adalah: wasilah-wasilah yang bentuknya benda; seperti alat-alat (bantu dakwah). Maka bagian ini tidak diharuskan adanya nash (dalil).
– Yang harus ada dalilnya adalah Uslub-Uslub; atau yang dinamakan dengan Manhaj-Manhaj Dakwah.
Ini kalau Wasilah dan Uslub disebutkan bersamaan. Adapun kalau keduanya disebutkan secara tersendiri; maka Wasilah maknanya sama dengan Uslub.”
[Lihat: “Usus Manhaj as-Salaf Fid Da’wah Ilallaah” (hlm. 122, catatan kaki no. 1), karya Syaikh Fawwaz As-Suhaimi -hafizhahullaah-]
Jadi, kalau Uslub Dakwah diartikan dengan Manhaj Dakwah; maka telah dijelaskan sebelumnya bagaimana Manhaj para nabi dan pengikut mereka dalam berdakwah.
Adapun kalau mau diartikan dengan “cara penyampaian”; maka:
– cara penyampaian beliau dalam buku-buku beliau hampir seperti yang dikatakan oleh sebagian Doktor tentang tulisan Imam Ibnul Qayyim:
“Sungguh, orang yang menelaah rujukan-rujukan Kitab ini; maka akan dia dapati: pengumpulan berbagai macam nukilan.
Sampai-sampai hampir bisa dipastikan bahwa: KITAB INI HANYALAH: KUMPULAN BERBAGAI NUKILAN, DAN PENULIS TIDAK PUNYA ANDIL (SELAIN HANYA MENUKIL).”
[Muqaddimah “Ash-Shawaa-iq Al-Mursalah” (I/103)]
– dan kalau mau diartikan dengan: suara Ustadz Yazid yang lantang dalam ceramahnya; maka sungguh ini adalah hal yang tidak lucu. Imam Al-Bukhari -rahimahullaah- membuat bab dalam Shahih-nya, pada Kitabul ‘Ilmi: “Bab Tentang Orang Yang Mengangkat Suaranya Dalam (Menyampaikan) Ilmu”, kemudian beliau membawakan hadits (no. 60) tentang Rasulullah -shallallaallaahu ‘alaihi wa sallam- yang menyeru dengan suaranya yang paling tinggi: untuk menyampaikan ilmu.
[4]- Perkataan Fathuddin Ja’far:
“Sudah berapa banyak ormas/jamaah Islam lokal maupun global yang antum sesatkan? Sudah berapa banyak tokoh dakwah lokal ataupun global yang antum anggap sesat dan ahli neraka tanpa ampun..?!!”
Kalau yang dimaksud adalah perkataan Ustadz Yazid dalam ceramah-ceramah beliau; maka bagi yang menelaahnya akan mengetahui bahwa: beliau hampir tidak pernah menyebut “ormas/jamaah Islam lokal” ataupun “tokoh dakwah lokal ataupun global”; kecuali “jama’ah atau tokoh global” yang menyimpang dan telah disebutkan penyimpangannya oleh para ulama.
Adapun kalau yang dimaksud adalah tulisan-tulisan beliau; maka yang dikenal dengan penyebutan kelompok-kelompok sesat adalah buku “Mulia Dengan Manhaj Salaf”.
Dan yang harus diketahui bahwa:
(1)- Seperti dalam ceramah beliau; maka ketika beliau menulis tentang kelompok sesat; maka sebagaimana tulisan-tulisan beliau yang lainnya: “INI HANYALAH: KUMPULAN BERBAGAI NUKILAN, DAN PENULIS TIDAK PUNYA ANDIL (SELAIN HANYA MENUKIL)” sebagaimana telah kita sebutkan tentang tulisan Imam Ibnul Qayyim.
(2)- Kemudian kita lihat bahwa pembahasan tentang “Firqah-Firqah Sesat” dalam buku “Mulia Dengan Manhaj Salaf” diletakkan pada Bab 13, yang sebelumnya telah didahului dengan 12 (dua belas) bab tentang penjelasan Manhaj Salaf, Manhaj Para Shahabat -radhiyallaahu ‘anhum-. Sehingga kita mengetahui bahwa fokus pembahasan adalah pada “apa dan bagaimana” Manhaj Salaf itu. Dan ini sesuai dengan arahan dari Imam Ash-Shan’ani -rahimahullaah- (penulis Kitab “Subuulus Salaam”):
“Bagusnya, orang yang melihat hadits [”Iftiraaqul Ummah” (Perpecahan Umat Islam)] tersebut mencukupkan diri dengan tafsir Nabi terhadap firqah (kelompok yang selamat tersebut). Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang mengajarkan syari’at dan menunjukkan kepada seluruh kebaikan; beliau sudah mencukupi kebutuhan (umatnya) dengan menunjukkan ”Al-Firqah An-Naajiyah” (golongan yang selamat), yaitu: yang berada di atas (jalan) Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dan para Shahabatnya.
Alhamdulillaah, orang yang mempunyai sedikit semangat dalam beragama akan bisa mengetahui (jalan) Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dan para Shahabatnya. Perkataan dan perbuatan mereka telah dinukil sehingga sampai kepada kita; sampai-sampai bagaimana cara mereka makan, minum, tidur, dan keadaan jaga mereka (telah dinukil juga kepada kita), sehingga kita seolah-olah melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Setelah itu; barangsiapa yang diberi anugerah oleh Allah dengan rasa adil dan ketidak berpihakkan dalam dirinya, dan Allah jadikan dia temasuk orang yang berakal; maka:
Pertama-tama: tidak akan samar baginya bagaimana keadaan dirinya: apakah dia mengikuti (jalan) Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dan para Shahabatnya atau tidak?
Kedua: tidak akan samar keadaan tiap kelompok: apakah mereka ittibaa’ (mengikuti jalan Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dan para Shahabatnya-pent) ataukah (tidak mengikuti alias) berbuat Bid’ah?”
[”Hadiits Iftiraaqil Ummah” (hlm. 79), karya Imam Ash-Shna’ani -rahimahullaah-]
[5]- Perkataan Fathuddin Ja’far:
“Antum wahai ikhwah yang mengklaim Salafiyyun harus bersyukur karena penolakan masyarakat kepada dakwah antum masih dalam batas toleransi dan terkontrol. Coba bayangkan jika semua ormas dan jama’ah Islam yang antum sesatkan itu mengamuk semuanya, mungkin tidak akan ada satu markaz pun atau masjid antum yang terisisa di nusantara ini.”
أَطَّــلَـعَ الْغَـيْبَ…
“Adakah dia melihat yang ghaib?…” (QS. Maryam: 78)
Karena Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- sendiri menyampaikan kepada Ibnu ‘Abbas -radhiyallaahu ‘anhumaa- yang ketika itu masih kecil:
وَلَوْ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَـمْ يَضُرُّوْكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ
“Seandainya mereka (semuat umat) berkumpul untuk membahayakanmu; maka mereka tidak dapat membahayakanmu kecuali dari apa yang Allah tetapkan atas dirimu.”
[HR. At-Tirmidzi (no. 2516). Lihat: “Wasiat Nabi Kepada Ibnu ‘Abbas” dan “Syarah Arba’in An-Nawawi” (no. 19), yang keduanya ditulis oleh Fadhilatul Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-]
Allah -Ta’aalaa- berfirman tentang para Shahabat Nabi:
الَّذِيْنَ قَالَ لَـهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَـمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْـمَانًا وَقَالُوْا حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang yang mengatakan kepadanya: “Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.” Ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah (menjadi Penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik Pelindung.”.” (QS. Ali ‘Imraan: 173)
Maka kita juga katakan di sini:
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
“Cukuplah Allah (menjadi Penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik Pelindung.”
[6]- Perkataan Fathuddin Ja’far:
“Hal lain yang perlu dikoreksi adalah konsep ulil amri yang antum dakwahkan. Antum seakan memaksakan konsep ulil amri yang berbau “murjiah” yang kalau kita telaah tulisan atau fatwa-fatwa ulama besar sepanjang masa semisal Syaikh Bin Baz dll tulisan-tulisan antum sangatlah berbahaya. Antum samakan antara negara yang menjadikan Islam agama resmi dan Qur’an-Sunnah sebagai sumber hukum dengan pemerintah yang menolak Al-Qur’an & As-Sunnah sebagi sumber hukum negara seperti Indonesia dan sebagainya.”
Kalau dikatakan bahwa Ustadz Yazid menyamakan secara mutlak antara Negara yang berhukum dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan Negara yang tidak berhukum dengan keduanya; maka ini tidak benar, karena beliau telah menjelaskan tentang wajibnya berhukum dengan hukum Allah dalam buku “SYARAH ‘AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH” PADA PRINSIP KE-47: “Berhukum Dengan Apa Yang Diturunkan Allah” (hlm. 396-401- cet. ke-15).
Adapun tentang ketaatan kepada ulil amri sebuah negara yang tidak berhukum dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah; maka As-Sunnah telah menjelaskan bahwa: PENGUASA YANG WAJIB DITA’ATI ADALAH SEORANG MUSLIM, WALAUPUN DIA TIDAK BERHUKUM DENGAN HUKUM YANG ALLAH TURUNKAN KEPADA RASUL-NYA, sebagaimana yang beliau sabdakandalam hadits Hudzaifah:
((يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُوْنَ بِـهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتيْ، وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِـيْ جُثْمَانِ إِنْسٍ)) قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذٰلِكَ؟ قَالَ: ((تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ؛ فَاسْـمَعْ وَأَطِعْ))
“Akan ada setelahku: PARA IMAM (PEMIMPIN) YANG TIDAK MENGAMBIL PETUNJUK DARIKU DAN TIDAK MENGAMBIL SUNNAHKU. Dan akan ada sekelompok lelaki di antara mereka yang hati mereka adalah hati setan dalam tubuh manusia.” Aku (Huidzaifah) bertanya: Apa yang harus aku lakukan apabila aku menemui yang demikian; wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “ENGKAU DENGAR DAN TA’AT KEPADA PEMIMPIN; walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka dengar dan taatlah!” [HR. Muslim (no. 1847)]
[7]- Perkataan Fathuddin Ja’far tentang Persatuan Kebin Binatang; maka jelas sekali bahwa yang dimaksud adalah persatuan semu yang tidak dilandasi kesamaan ‘aqidah. Dan persatuan semacam ini tidak akan berhasil.
Syaikh Doktor Shalih bin Fauzan Al-Fauzan -hafizhahullaah- berkata:
“Kalau mereka menginginkan persatuan kaum muslimin: maka mereka harus memperbaiki ‘aqidah terlebih dahulu, (agar sesuai dengan) ‘aqidah yang para rasul -dari yang pertama sampai yang terakhir- memberikan perhatian terhadapnya, mereka mengawali (dakwah mereka) dengan (‘aqidah) tersebut.
Maka (kaum muslimin) harus menyatukan ‘aqidah terlebih dahulu, kalau mereka sudah menyatukan ‘aqidah; niscaya umat akan bersatu. Ini JIKA MEREKA MEMANG MEMILIKI KESUNGGUHAN DAN KETULUSAN DALAM DAKWAH MEREKA. Akan tetapi (kenyataannya) mereka memperolok-olok orang (da’i) yang berbicara tentang ‘aqidah, mereka mengatakan: “(DA’I) INI MENGKAFIRKAN MANUSIA! DIA INGIN MEMECAH BELAH KAUM MUSLIMIN! DIA INGIN INI DAN ITU!” dan seterusnya.
Maka kita katakan kepada mereka: Kalian tidak akan bisa menyatukan kaum muslimin kecuali di atas ‘aqidah yang benar, karena kalau ‘aqidah sudah disatukan; baru umat akan bersatu dengan mudah. (Allah -Ta’aalaa- berfirman:)
….هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِيْنَ * وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِـهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَـمِيْعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِـهِمْ وَلَٰكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“…Dialah (Allah) yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin, dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Anfaal: 62-63)
(Allah juga berfirman:)
وَاعْتَصِمُوْا بِـحَبْلِ اللهِ جَـمِيْعًا وَلَا تَفَرَّقُوْا وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَأَصْـبَحْتُمْ بِـنِعْـمَـتِـهِ إِخْـوَانًا وَكُـنْـتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذٰلِكَ يُـبَـيّـِنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali ‘Imraan: 103)
Maka tidak akan bisa menyatukan manusia kecuali ‘aqidah yang benar, yang dibawa oleh para rasul dari yang pertama sampai yang terakhir (yaitu) Nabi Muhammad.”
[“It-haaful Qaarii Bit Ta’liiqaat ‘Alaa Syarhis Sunnah Lil Imam Al-Barbahari” (I/42)]
Adapun permisalan dengan binatang; maka Allah juga telah mnggunakannya dalam Al-Qur’an.
Allah -Ta’aalaa- berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِـجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِنَ الْـجِنِّ وَالْإنْسِ لَـهُمْ قُلُوْبٌ لَا يَفْقَهُوْنَ بِـهَا وَلَـهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُوْنَ بِـهَا وَلَـهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُوْنَ بِـهَا أُولٰئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُوْنَ
“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam: banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka mempunyai hati; tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata; (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga; (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raaf: 179)
Allah juga berfirman:
أَمْ تَـحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُوْنَ أَوْ يَعْقِلُوْنَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيْلًا
“Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqan: 44)
[8]- Perkataan Fathuddin Ja’far tentang “khilafiyah (khususnya dalam perkara furu’ dan perkara-perkara al-mutaghayyirat)”
Terkhusus untuk Ustadz Yazid; maka pembahasan beliau untuk masalah ini tidaklah sebanyak pembahasan beliau tentang ‘aqidah, ittiba’ (mengikuti) Rasulullah, dan juga mengikuti Manhaj Salaf (Manhaj Para Shahabat). Bahkan orang awam yang mengikuti ceramah-ceramah baliau akan merasakan bahwa: pembahasan beliau seakan diulang-ulang saja seputar Tauhid dan Ittiba’ serta wajibnya mengikuti Manhaj Salaf, sampai-sampai banyak dari orang-orang awam juga hafal dalil-dalilnya.
[9]- Perkataan Fathuddin Ja’far tentang “iba dan kasih sayang” terhadap umat; maka tentu Rasulullah -shallallallaahu ‘alaihi wa sallam-: beliaulah yang paling sayang terhadap umatnya. Allah -Subhaanhau Wa Ta’aalaa- berfirman:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَحِيْمٌ
“Sungguh, telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, AMAT BELAS KASIH DAN PENYAYANG KEPADA ORANG-ORANG YANG BERIMAN.” (QS. At-Taubah: 128)
Dan dengan kasih sayangnya; beliau telah memperingatkan umatnya dari kesyirikan:
وَلَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِيْ بِالْمُشْرِكِيْنَ، وَحَتَّى تَعْبُدَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي الْأَوْثَانَ
“Dan Hari Kiamat tidak akan tegak; sebelum adanya sekelompok dari umatku yang mengikuti orang-orang musyrik; dan sebelum adanya segolongan dari umatku menyembah berhala.” [HR. Abu Dawud (no. 4252)]
Beliau juga memperingatkan umatnya dari hal-hal yang bisa mengantarkan kepada kesyirikan, beliau bersabda:
أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَـتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِـحِيْهِم مَسَاجِدَ، أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ؛ فَإِنِّيْ أَنْهَاكُمْ عَنْ ذٰلِكَ
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kalian telah menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai tempat ibadah. Ingatlah, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kalian dari perbuatan itu!” [HR. Muslim (no. 532)]
Sebagaiamana Rasulullah -shallallallaahu ‘alaihi wa sallam- dengan kasih sayang beliau terhadap umatnya: memperingatkan umatnya dari perkara-perkara yang baru dalam agama, dan menamakannya dengan Bid’ah, dan beliau kabarkan bahwa semua Bid’ah itu sesat, dan semua kesesatan tempatnya adalah di Neraka, beliau mengulang-ulang sabda beliau dalam “Khuthbatul Haajah” (pembukaan yang sering beliau ulang-ulang dalam ceramah-ceramah dan khuthbah-khuthbah beliau):
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْـحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْـهُدَى هُدَى مُـحَمَّدٍ، وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُـحْدَثَاتُهَا، [وَكُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ]، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، [وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِيْ النَّارِ]
“Amma ba’du. Sungguh, sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad (As-Sunnah), dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), [karena setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah], dan setiap bid’ah adalah sesat, [dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka].”
[Shahih: HR. Muslim (no. 867), An-Nasaa-i (no. 1578-cet. Maktabah al-Ma’aarif) dan lainnya. Tambahan dalam kurung adalah milik An-Nasaa-i]
[10]- Penutup
Inilah yang dapat kami komentari dari tulisan Fathuddin Ja’far yang ditujukan kepada Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas, semoga bermanfaat bagi penulis pribadi dan kaum muslimin yang membacanya.
سُبْحَانَكَ اللّٰهُمَّ وَبِـحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-
Tulisan ini sebagai hak jawab terhadap tulisan Ustadz Fatuddin Jafar dibawah ini :
https://m.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/surat-terbuka-al-ust-fathudin-jafar-untuk-ust-yazid-jawaz.htm