Banjir telah mengubah status Indonesia menjadi darurat bencana. Jakarta dan Manado merupakan awalannya. Jumlah korban membengkak. Pada Minggu (19/01), Pusat Pengendalian dan Operasional Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Pusdalops BPBD) DKI Jakarta mencatat bahwa dengan banjir yang sempat merendam 97 kelurahan, jumlah korban meninggal dunia 9 orang. Dan dari 126.500 jiwa yang terdampak bencana tersebut, sebanyak 63.958 warga mengungsi (suarapembaruan.com, 20/01/2014).
Kabar terkini banjir ibukota menyebutkan bahwa intensitas hujan hari ini berkurang dibanding hari sebelumnya. Alhasil, ketinggian air di pintu air dan bendungan pun menurun. Ketinggian air di Pintu Air Manggarai diperkirakan stabil hingga 12 jam ke depan, karena ketinggian air di Bendung Katulampa juga stabil dari Jumat (24/1/2014), pukul 09.00 WIB hingga 12.00 WIB, yakni 80 centimeter atau siaga IV. Kepala Penanggungjawab Pintu Air Manggarai Adie Widodo mengatakan, status Pintu Air Manggarai pada Jumat siang pukul 13.00 WIB berstatus Siaga III, dengan ketinggian air 815 cm atau turun 10 cm dari sebelumnya 825 cm pukul 09.00 pagi tadi (news.liputan6.com, 24/01/2014).
Dari ibukota, banjir telah meluas hingga Bekasi dan Karawang, termasuk kota-kota di jalur Pantura seperti Subang, Indramayu, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Pati, dan Jepara. Sejumlah media pun memberitakan bahwa jalur Pantura sudah beberapa hari lumpuh (Metro Hari Ini, Metro TV, 24/01/2014).
Banjir, Timbulkan KLB
Bencana banjir yang melanda berbagai daerah di Indonesia termasuk wilayah DKI Jakarta berpotensi menimbulkan sejumlah penyakit yang bila mewabah memiliki kemungkinan untuk mengarah kepada kejadian luar biasa atau KLB. “Banjir berpotensi menimbulkan berbagai penyakit yang berpotensi Kejadian Luar Biasa (KLB),” kata Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Jakarta Raya (PAPDI JAYA) Ari F. Syam.
Menurut Ari, penyakit setelah peristiwa banjir merupakan berbagai penyakit yang jumlah kasusnya akan meningkat. Secara umum, ia mengemukakan bahwa peningkatan kasus penyakit itu didasarkan pada penyebaran tiga kelompok penyakit yaitu penyebaran melalui makanan dan minuman, penyebaran melalui nyamuk dan penyebaran melalui tikus.
Penyakit yang ditularkan makanan dan minuman penyebaran antara lain infeksi kolera, disentri, rotavirus serta demam typhus. “Pasien dengan infeksi usus bisa datang dengan diare, muntah berak, mules saat BAB dan BAB ada darah. Diare juga menjadi KLB pada banjir Jakarta tahun 2007,” ujarnya. Lalu, penyakit yang ditularkan melalui nyamuk misalnya Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) yang dibawa melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Sementara, salah satu penyakit yang ditularkan melalui tikus adalah leptospirosis. Penyakit ini akibat kencing dan kotoran tikus dalam genangan banjir. “Apabila kita mengalami luka terbuka pada tangan atau kaki atau mukosa mulut, maka air yang sudah tercemar dengan kotoran tikus yang sudah mengandung leptospirosis akan menularkan kita,” katanya. Leptospirosis ini sangat berbahaya jika berlanjut dengan berbagai komplikasi antara lain terjadi kerusakan ginjal, peradangan pankreas, liver, paru dan otak (antaranews.com, 19/01/2014).
Banjir, Politisasi Parpol Tak Terhindarkan
Bertepatan dengan 2014 yang merupakan tahun politik dan pesta demokrasi, bencana banjir yang melanda ibukota tidak luput dari perhatian partai politik untuk ajang sosialisasi dan kampanye terselubung sehingga bantuan kemanusiaan untuk korban banjir pun dipolitisasi untuk meraup dukungan pada Pemilu 2014.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, maraknya aksi kemanusiaan pascabencana yang dilakukan oleh sejumlah calon legislatif (caleg) dan partai politik (parpol) diharapkan tidak mengikat dukungan.
Menurut Siti, ada dua sisi kepentingan saat politisi melakukan aksi sosial, pertama alasan simpati dan kedua karena kepentingan dukungan suara. “Mereka memang tidak salah melakukan hal itu, namun jangan sampai ada unsur mengikat dukungan,” kata Siti, Kamis (16/1).
Menurutnya, masyarakat sebenarnya sudah bisa membandingkan suasana politis tersebut dalam bencana yang pernah terjadi sebelumnya. Kalau jauh sebelum pemilu orang ini kerap memberikan bantuan, berarti memang untuk kemanusiaan. Sedangkan, bila selama ini calon tersebut belum pernah datang menyapa masyarakat, kemudian turun memberikan bantuan, harus dikritisi kepentingan di belakangnya. “Apalagi kalau bantuan itu besar, seperti pembuatan sumur air, pendirian bangunan, atau perbaikan akses lainnya,” ujar Siti.
Dengan kondisi semacam itu, ia memprediksi peluang warga melihat potensi calon lain tertutup. Sebab, bantuan dari caleg atau parpol seolah memberikan jaminan atas keterpilihan mereka. Ia menambahkan, yang tidak bermoral lagi kalau misalkan caleg tersebut menunjukkan eksistensinya dengan membawa atribut partai dan nomor urutnya. “Baik sebelum atau sudah ditetapkan masa kampanye, kalau ada yang melakukan itu, keterlaluan dan tidak etis,” katanya.
Komisioner Pengawas Pemilu (Panwaslu) DKI Jakarta Bidang Hukum dan Penindakan Muhammad Jufri mengingatkan agar semua parpol serta para calegnya hati-hati dengan pelanggaran pidana pemilu dalam situasi banjir di Jakarta. Menurutnya, panwaslu akan mengawasi setiap pendirian posko dan bantuan partai politik juga caleg. “Kami imbau agar embel-embel sedekah untuk kepentingan politik tidak dilakukan,” katanya.
Pendirian posko bencana partai politik, kata Jufri, akan subur menjelang pemilu sebagai bagian dari tanggung jawab sosial parpol. Meskipun pihaknya tidak mempersoalkan hal tersebut, panwaslu akan tajam mengawasi setiap pemberian-pemberian dari partai atau caleg kepada korban bencana.
Jufri mengatakan, pemberian atas nama pribadi memang hak. Namun, adanya upaya untuk memengaruhi penerima agar memilih nama dan partai politik adalah perbuatan pidana. Untuk itu, Jufri meminta agar semua peserta pemilu tidak ambil untung dengan memanfaatkan situasi bencana.
Sebelumnya, calon presiden dari Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) yang turun langsung mendatangi posko pengungsi banjir di Jatinegara, Jakarta Timur, Rabu (15/01/2014). Dalam kunjungan itu, Ical menyatakan, Partai Golkar siap membantu penanggulangan bencana di sejumlah daerah. “Penanggulangan bencana memang tidak akan pernah cukup. Karena itu, Partai Golkar membantu menyediakan keperluan-keperluan yang dibutuhkan oleh para pengungsi,” ujarnya.
Untuk kebutuhan para pengungsi, kata Ical, Partai Golkar menyediakan 1.000 paket untuk kebutuhan warga selama 10 hari ke depan. Ical juga menjanjikan akan memberikan 20 unit lampu tenaga matahari yang akan difokuskan pemasangannya di lokasi penungsian. Ia juga akan membantu menyediakan pompa air untuk mengeluarkan air dari permukiman warga ke sungai. Capres Golkar itu juga mengimbau pemerintah daerah agar berkoordinasi dengan pemerintah pusat dalam menanggulangi bencana yang terjadi agar penanggulangan bencana tersebut berjalan dengan baik.
Banjir, Bukan Suplemen Kampanye
Ironis, banjir yang merupakan musibah, malah dijadikan ajang ‘nebeng’ populer. Tidakkah para caleg-capres itu punya hati? Sadarkah mereka dengan apa yang tengah terjadi? Belum lagi, terealisasikah janji kampanye mereka untuk menyejahterakan rakyat setelah selama ini pemilu juga tak hanya sekali-dua kali? Apalagi, permainan politiknya masih dalam sistem rusak seperti saat ini. Ragu!
Ini nyata pada sikap warga korban banjir di kawasan Rawajati, Jakarta Selatan. Mereka menolak bantuan jika disertai dengan embel-embel calon legislatif atau partai politik. “Warga bukannya menolak bantuan, tetapi kami khawatir hal itu justru akan dimanfaatkan. Lebih lagi sekarang ‘kan udah 2014,” kata Ketua RT 03/7 Rawajati, Ngadiyono saat dijumpai di lokasi banjir, Sabtu (18/01/2014). Ia menuturkan, jika tidak sedikit parpol yang berusaha untuk memberikan bantuan logistik kepada para pengungsi korban banjir di wilayah tersebut. Namun, pihaknya meminta tidak ada identitas partai. Ngadiyono memberi contoh, salah satu partai berinisiatif menyalurkan bantuan Selasa (14/01/2014) lalu (kompas.com, 18/01/2014).
Partai tersebut juga mendirikan posko banjir dan menyalurkan sejumlah barang kebutuhan masyarakat seperti makanan cepat saji dan obat-obatan. Namun, lanjut Ngadiyono, keberadaan posko itu tak lebih dari satu hari. Setelah warga sepakat untuk menolak bantuan dari parpol, posko dibongkar. Lebih jauh, ia berharap, agar caleg tetap bersedia memberikan bantuan kepada warga. Namun, tidak perlu masing-masing membawa atribut parpol mereka (kompas.com, 18/01/2014).
Asal tahu saja, masyarakat nampaknya makin sadar fakta, sadar politik, sadar akan kebenaran. Seorang penelepon di acara Editorial Media Indonesia (Metro TV, 20/01/2014), mengaitkan penanganan banjir dengan adanya pembiayaan pembangunan di Indonesia yang berasal dari pendapatan-pendapatan haram, seperti pajak, yang tidak seharusnya pajak itu menjadi sumber pendapatan negara, apalagi sebagai sumber utama. Jika demikian, bagaimana mungkin keberlangsungan hidup negeri ini menuai berkah?
Fakta ini jelas membuat rakyat kian hati-hati untuk mempercayakan nasib mereka kepada penguasa dan calon penguasa. Karena sungguh, terjadinya banjir di Jakarta dan sekitarnya sejatinya tak semata bencana. Konsep penanganannya saat ini mengandung faktor sistemik, yaitu adanya kesalahan pengelolaan ekosistem.
Maka, hendaknya kita jeli untuk memandang peristiwa banjir ini, juga sebagai dampak penerapan sistem kapitalisme yang rusak. Diantaranya akibat ketidakbecusan pemimpin dalam mengelola dan mengatur kebijakan penanganan banjir, karena masih menggunakan landasan sistem yang bathil.
Buktinya, toh sejumlah ahli dalam teknis banjir telah mengungkapkan analisisnya. Misalnya saja peneliti Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fakhrudin, yang mengatakan zero run off harus dibuat dari hulu seperti di vila-vila. Diharapkan melalui cara ini air hujan bisa meresap ke tanah. Air hujan pun dari hulu sudah mulai dikendalikan. Selain itu di perkotaan juga perlu memperbanyak sumur resapan. “Pengendalian banjir ada dua bagian, selain mengendalikan banjir juga harus dilakukan upaya konservasi,” katanya di sela konferensi pers LIPI (suarapembaruan.com, 23/01/2014).
Juga peneliti senior Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Jan Sopaheluwakan, yang memandang inti dari bencana banjir di Jakarta karena pengelolaan kepadatan tata ruang. Selain itu adanya penurunan tanah di sejumlah tempat di Jakarta pun menyebabkan potensi banjir semakin besar. “Kita harus mentransformasi bencana menjadi peluang. Untuk mengatasi banjir bisa mendirikan bangunan ke atas, memperbanyak lahan hijau, mengembalikan ruang biru, sediakan tempat parkir air sebagai cadangan air,” ucapnya (suarapembaruan.com, 23/01/2014).
Jan menambahkan wilayah utara Jakarta harus memperbanyak ruang biru dan selatan Jakarta dengan ruang hijau. Pengambilan air tanah pun harus dikontrol. Sebab penurunan tanah di. Pluit, Jakarta Utara mencapai 24 cm per tahun. Di wilayah Jakarta Barat penurunan tanah terjadi di Kamal dan Cengkareng. Wilayah Jakarta lainnya yakni Sunter, Kemayoran dan Kelapa Gading. Sebab jika penurunan tanah masif, terjadi pasang air laut yang tinggi maka banjir pun akan semakin meluas. Air limpasan hujan sulit dengan cepat bergerak ke laut (suarapembaruan.com, 23/01/2014).
Sayangnya, itu hanya secara mikro, secara teknis. Namun lihat, pada sisi manakah aturan Allah diterapkan untuk mengatur kehidupan rakyat negeri ini? Tak ada barang secuil pun. Jika mau bukti nyata, lihatlah negeri seberang, Brunei. “Dengan kebesaran Allah, berlakunya hukum ini merupakan bukti bahwa kewajiban kita kepada Allah dapat terpenuhi,” ujar Sultan Bolkiah, seperti dikutip Associated Press, Rabu (23/10/2013) (international.okezone.com, 23/10/2013). Ditambah dengan kutipan artikel dari voa-islam.com (23/01/2014), tiga bulan berselang, tepatnya Januari 2014 ini, setelah menerapkan hukum Allah (hudud) dengan izin Allah, Brunei menemukan cadangan gas yang sangat signifikan untuk 70 tahun. Subhanallaah.
Maka, tidakkah para pemimpin dan calon pemimpin itu sadar dan mau berpikir terbuka? Sebagaimana firman Allah Swt: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (TQS. Ar-Rahman [55]: 13). Padahal sejatinya karunia Allah Swt bagi negeri ini sungguh telah melimpah.
Daulah Khilafah Islamiyyah Mengatasi Banjir (Amhar 2014)
Ketika Daulah Khilafah Islamiyyah masih tegak, visi utama keberlangsungannya adalah penerapan aturan Allah Swt dalam kehidupan sebagai wujud pengabdian manusia sebagai hamba-Nya. Sebagaimana firman Allah Swt: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (TQS Adz-Dzariyat [51]: 56).
Wilayah Daulah yang amat luas sebenarnya bersentuhan dengan berbagai potensi bencana alam, termasuk banjir. Lembah sungai Nil di Mesir atau sungai Eufrat-Tigris di Irak amat rawan banjir. Meski rawan bencana, toh Daulah Islam tetap berdiri tegak lebih dari 12 abad. Dan meski Daulah ini kemudian sirna, itu bukan karena kelaparan, penyakit, atau bencana alam. Tapi karena kelemahan di antara mereka sendiri, terutama dalam kelalaian dan pemusnahan penerapan syariat Islam.
Sebutlah Nilometer, yang dibangun al-Farghani untuk peringatan dini banjir Sungai Nil. Sementara, untuk antisipasi banjir, para penguasa Muslim membangun bendungan, terusan dan alat peringatan dini. Insinyur Al-Farghani (abad 9 M) telah membangun Nilometer ini untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil secara otomatis di berbagai tempat. Setelah bertahun-tahun mengukur, Al-Farghani berhasil memberikan prediksi banjir sungai Nil baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Namun seorang Sultan di Mesir pada abad 10 M tidak cukup puas dengan early warning system ala al-Farghani. Dia ingin sungai Nil dapat dikendalikan sepenuhnya dengan bendungan. Dia umumkan sayembara untuk insinyur yang siap membangun bendungan itu.
Adalah Ibn al-Haitsam yang akhirnya memenangkan kontrak pembangunannya. Namun tatkala dia berjalan ke arah hulu sungai Nil guna menentukan lokasi untuk bendungan, dia tertegun menyaksikan piramid-piramid raksasa yang dibangun Fir’aun. Dia berpikir, “Fir’aun yang sanggup membangun piramid saja tak mampu membendung sungai Nil, apalah artinya aku?”
Karena malu dan takut menanggung konsekuensi karena membatalkan kontrak, Ibn al-Haitsam kemudian pura-pura gila, sehingga oleh penguasa Mesir dia dikurung di rumah dan hartanya diawasi negara. Dalam tahanan rumahnya itulah Ibn al-Haitsam mendapat waktu untuk melakukan berbagai eksperimen optika, sehingga akhirnya menjadi Bapak Optika. Dia baru dilepas beberapa tahun setelah penguasa Mesir ganti dan orang sudah mulai lupa kasusnya.
Meski Ibn al-Haitsam tak berhasil membangun bendungan di masanya, namun fisika optikanya adalah dasar bagi Galileo dan Newton dalam mengembangkan mekanika. Dengan fisika Newton inilah pada abad ke-20, orang berhasil membendung sungai Nil dengan bendungan Aswan.
Jadi bencana-bencana alam di masa Daulah Islam selalu ditangkal dengan ikhtiar, tak cukup sekadar tawakkal. Disamping itu, penguasa Daulah Islam menaruh perhatian yang besar agar tersedia fasilitas umum yang mampu melindungi rakyat dari berbagai bencana. Mereka membayar para insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan tahan bencana, membangun bunker cadangan logistik, hingga melatih masyarakat untuk selalu tanggap darurat. Aktivitas jihad adalah cara yang efektif agar masyarakat selalu siap menghadapi situasi terburuk. Mereka tahu bagaimana harus mengevakuasi diri dengan cepat, bagaimana menyiapkan barang-barang yang vital selama evakuasi, bagaimana mengurus jenazah yang bertebaran, dan bagaimana merehabilitasi diri pasca kedaruratan. Para pemimpin dalam Daulah Islam juga orang-orang yang terlatih dalam tanggap darurat. Mereka orang-orang yang tahu apa yang harus dikerjakan dalam situasi normal maupun genting.
Khatimah: Teguran Allah Swt
Tak bisa dipungkiri bahwa ketika sudah terjadi bencana seperti saat ini, yang kena tidak hanya orang yang bermaksiat, tapi orang baik pun terkena dampaknya. Rasul saw bersabda: “Demi Dzat Yang jiwaku ada di dalam genggaman tangan–Nya, sungguh kalian melakukan amar makruf nahi ‘anil mungkar, atau Allah pasti akan menimpakan siksa; kemudian kalian berdoa memohon kepada Allah, dan doa itu tidak dikabulkan untuk kalian.” [HR. Turmudziy, Abu ‘Isa berkata, hadits ini hasan]. Padahal, doa orang-orang shalih adalah termasuk doa yang makbul.
Sabda beliau yang lain: “Perumpamaan orang-orang yang mencegah berbuat maksiat dan yang melanggarnya adalah seperti kaum yang menumpang kapal. Sebagian dari mereka berada di bagian atas dan yang lain berada di bagian bawah. Jika orang-orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di atasnya. Lalu mereka berkata: ‘Andai saja kami lubangi (kapal) pada bagian kami, tentu kami tidak akan menyakiti orang-orang yang berada di atas kami’. Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh orang-orang yang berada di atas (padahal mereka tidak menghendaki), akan binasalah seluruhnya. Dan jika dikehendaki dari tangan mereka keselamatan, maka akan selamatlah semuanya.” (HR. Bukhari).
Juga firman Allah Swt: “Telah muncul kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Alloh subhanahu wa ta’ala menimpakan mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar –Rum [30]: 41). “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka”. (QS. al-A’raaf [7]: 96). “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfal: 25).
Sungguh, orang-orang yang melakukan ‘amar ma’ruf nahyi mungkar bukannya tak ada. Seruan penerapan aturan Allah Swt pun bukan tak pernah digemakan. Tapi para penguasa itu tak pernah mau dengar. Astaghfirullahal ‘adziim. “Yaa Allah, kami mohon ampun atas segala kelemahan kami. Laa haula wa laa quwwata illaa billaah.” Wallaahu a’lam bish showab. []
Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si