Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bisa mengobati kerinduan umat terhadap sosok ulama panutan, karena dalam situasi seperti ini, kerinduan untuk menghadirkan sosok ulama panutan terasa sangat wajar. Tulisan ini merupakan sebuah ikhtiar untuk menampilkan sosok tipikal ulama panutan yang direpresentasikan dengan baik oleh Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa di zamannya. Beliau bersikap oposan pada setiap kekuasaan represif dan tirani dari penguasa imperialis dan berani menentang setiap kondisi yang dianggap mungkar.
Jika masa penjajahan Belanda yang menendang bola salju perlawanan nasional adalah Pangeran Diponegoro. Maka masa penjajahan Jepang yang menendang bola salju perlawanannya adalah Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa. Bahkan sebagian kalangan mengatakan, perlawanan Sukamanah tidak hanya mengguncang Tokyo, tetapi juga mengguncang Jerman dan Amerika.
Ada 17 poin yang saya angkat dalam tulisan sederhana ini, di antaranya :
Pertama, motif dari perlawanan Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa bukan hanya atas dasar melawan kezaliman penjajahan Jepang, tetapi hakikatnya dilandasi dengan nilai-nilai tauhid karena menolak kemusyrikan. Saat itu setiap pagi masyarakat Tasikmalaya diharuskan melakukan saikeirei yakni membungkuk setengah badan ketika matahari terbit ke arah Tokyo. Di sisi lain, Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa dalam menyebut penjajah Jepang, beliau menambah diksinya dengan kafir Jepang. Ini mengingatkan kita juga dengan diksi yang digunakan oleh Pangeran Diponegoro saat melakukan perlawanan kepada penjajah Belanda, bukan hanya penjajah Belanda tetapi menambahkannya dengan penjajah kafir Belanda. Diksi kafir banyak tercantum dalam Babad Diponegoro yang ditulis Sang Pangeran di Manado. Oleh karena itu, landasan perjuangan Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa dilandasi dengan ketauhidan dan menginginkan Indonesia merdeka berdasarkan Islam.
Kedua, berdasarkan referensi lain ternyata ada seorang ulama lagi yang menolak melakukan saikeirei yakni Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul (ayah Buya Hamka) dari Maninjau, Sumatera Barat. Ini menunjukkan meskipun terpisah dengan jarak yang cukup jauh antara Tasikmalaya Jawa Barat dan Maninjau Sumatera Barat tetapi karena dasarnya sama adalah tauhid yang kuat maka dalam menyikapi saikeirei pun kedua ulama tersebut ada kesamaan dengan menolaknya.
Ketiga, dari segi nasab ada hal yang menarik dalam diri Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa, karena nasab beliau ke atasnya belum diketahui dikarenakan kurangnya referensi. Namun ketika penulis bersilaturahim kepada salah seorang cucu beliau, yakni Yusuf Hazim, beliau memperlihatkan kepada penulis salah satu pusaka yakni berupa pedang yang dihikayatkan diturunkan secara turun temurun dan dikatakan berasal dari Kesultanan Mataram Islam. Ini hal yang menarik untuk terus ditelusuri nasab Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa. Tidak menutup kemungkinan jika ditelusuri lebih lanjut silsilah nasab Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa dapat diasumsikan : 1. Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa memiliki nasab sebagai keturunan dari Kesultanan Mataram Islam. 2. Nasab Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa bagian dari para ksatria bhayangkara Kesultanan Mataram Islam yang mukim di Tasikmalaya, sekaligus utusan resmi kesultanan. 3. Nasab Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa merupakan pribumi asli (bumi putra) yang mendapat amanah sebagai wakil resmi Kesultanan Mataram Islam.
Keempat, Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa bergabung dengan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1933. Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa tercatat sebagai Wakil Rois Syuriyah NU Cabang Tasikmalaya. Namun sebelum melakukan perlawanan, Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa mengundurkan diri dari NU. Ini menunjukkan bahwa perjuangan Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa bukan untuk kepentingan organisasi atau kelompok, tetapi perjuangan beliau untuk kepentingan umat dan bangsa dengan cara-cara syariah Islam dalam meninggikan Kalimatullah di muka bumi.
Kelima, jejaring ulama luas yang sudah dimiliki Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa sebelum perlawanan. Hal tersebut dibuktikan sebagaimana hasil wawancara Ahmad Mansyur Suryanegara selaku Sejarawan Universitas Padjadjaran kepada EZ. Muttaqin salah satu santri Sukamanah yang saat itu diperintahkan oleh Asy-Syahid KH. Zainal Musthafa untuk mengirimkan surat kepada KH. Ahmad Sanusi Pimpinan Pondok Pesantren Syamsul Ulum Gunung Puyuh Sukabumi. Namun EZ. Muttaqin tertangkap di stasiun Bandung dan ditelanlah surat tersebut. Seandainya surat tersebut sampai ke KH. Ahmad Sanusi, dapat dipastikan akan timbul solidaritas protes sosial di Sukabumi.