Oleh Irfan S Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Apologi oportunis tim terjemah Alquran Kementerian Agama (Kemenag), terkait penolakannya terhadap ajakan debat publik sebagai solusi atas kontroversi hasil telaah Majelis Mujahidin, tentang kesalahan terjemah Qur’an versi Kemenag memicu aksi terorisme di Indonesia. Tidak saja menghambat tradisi intelektual dan tranparansi informasi; tetapi juga kurang peduli terhadap problem bangsa Indonesia yang terus menerus diguncang teror.
Tim terjemah Alquran Kemenag menolak debat publik dengan Majelis Mujahidin, tapi malah memilih polemik melalui media massa. Padahal, dalam acara "Dialog Keagamaan tentang Terjemah Alquran", 29 April 2011, antara Majelis Mujahidin dan Puslitbang serta Tim Pentashih Alquran Kemenag, Tim dari Kemenag menyatakan tidak perlu membuka polemik di media massa, ternyata diingkari.
Faktanya, dua hari berturut-turut, secara sepihak mereka memublikasikan kontroversi terjermahan tersebut, dengan pernyataan yang mendiskreditkan Majelis Mujahidin, dan berusaha lepas tanggungjawab, baik sebagai pejabat maupun ulama pentashih Alqur.an. Tulisan di bawah ini, berusaha menjelaskan motivasi koreksi dan menjawab apologi tim terjemah Alquran Kemenag.
Apologi dan Koreksi Terjemah
Pada mulanya, gagasan mengoreksi terjemah Qur’an terbitan Kementerian Agama oleh Amir Majelis Mujahidin Ustadz Muhammad Thalib, lahir dari perspektif liberalis yang mendiskreditkan kitab suci umat Islam. Mereka mengopinikan, bahwa aksi bom yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh kelompok teroris ideologis, yang mendasarkan tindakannya pada Alqur’an.
Sejumlah ayat Alqur’an dinilai berpotensi menumbuhkan radikalisme dan mengajak orang beraliran keras. Pernyataan Dirjen Bimas Islam Kemenag, Prof. Dr. Nazaruddin Umar, dalam simposium Nasional bertema "Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme" di Jakarta, Rabu 28 Juli 2010, adalah contoh aktualnya.
Nazaruddin Umar menyatakan, "Ada terjemahan harfiyah Alqur’an yang berpotensi untuk mengajak orang beraliran keras." Dia mencontohkan, "Dan bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka…" (QS. Al-Baqarah [2] : 191)
Jadi, tuduhan bahwa terjemah harfiyah Alqur’an pemicu radikalisme, muncul dari Dirjen Binmas Islam Kemenag, sehingga dibuatlah program khusus deradikalisasi Alqur’an. Hasilnya, selain menerbitkan edisi terbaru terjemah Qur’an (2010), juga bekerjasama dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengadakan halaqah deradikalisasi jihad di pesantren dan gerakan Islam.
Namun, temuan Majelis Mujahidin membuktikan, secara prinsipil bukan teks ayat Alquran yang memicu radikalisme, melainkan terjemahan Quran yang salah sehingga melahirkan salah paham.
Sebaliknya, Abdul Jamil dan Muchlis M Hanafi, masing-masing Kepala Balitbang dan Diklat Kemenag dan Kepala Bidang Pengkajian Alquran Puslitbang Kemenag, tetap ngotot bahwa tidak ada yang salah dalam terjemah Qur’an, dan bukan penyebab terorisme.
Katanya, “pemahaman terhadap teks Alquran yang parsial, sempit, dan sikap antipati terhadap perbedaan pandangan keagamaanlah yang menyebabkan mereka jadi teroris. Faktanya, mayoritas penduduk di Indonesia menggunakan terjemahan itu, tapi jumlah teroris tergolong minoritas bahkan bisa dihitung jari. Pada umumnya mereka anti pemerintah, termasuk anti terjemahan Al-Qur’an yang diterbitkan pemerintah.” (Republika, 3/4/2011)
Dalam kaitan ini, perbedaan pemahaman teks Alqur’an, tidak selalu muncul dari perbedaan sudut pandang. Teks terjemah yang dibaca rakyat Indonesia, disajikan dalam bahasa Indonesia. Kemudian dipahami pembaca secara tekstual, bukan berdasarkan persepsi atau pun imajinasi penerjemah.
Apabila penerjemah tidak ingin pembaca salah memahami terjemah tekstualnya, maka penerjemah harus mamberikan pedoman memahami terjemah secara benar. Bagi pembaca yang hanya mampu memahami Alquran melalui terjemahan, maka kesalahan terjemah berdampak salah memahami teks Alquran. Perhatikan, terjemah Qur’an surat at-Taubah, ayat 5 versi Depag:
“Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka…”
Padahal, perintah ayat ini bukan membunuh orang-orang musyrikin, tetapi memerangi. Antara membunuh dan memerangi memiliki dampak hukum yang berbeda. Membunuh dapat dilakukan perorangan dan sepihak. Sedang memerangi, memerlukan pengumuman pada musuh, dan dilakukan secara kolektif di bawah komando yang jelas.
Maka terjemah tafsiriyahnya, “Wahai kaum mukmin, apabila bulan-bulan haram telah berlalu, maka umumkanlah perang kepada kaum musyrik dimana saja kalian temui mereka di tanah haram…”
Simak pula Qur’an surat at-Taubah, ayat 123 versi Depag: “Wahai orang-orang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang disekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
Apabila muncul ideologi permusuhan terhadap orang kafir, lalu terjadi konflik horizontal, bahkan pembunuhan disebabkan membaca teks terjemahan di atas. Maka bukan salah pembaca, karena kalimat dalam terjemahan memang salah, yang menyimpang dari sababun nuzul (sebab turunnya) ayat tersebut.
Bandingkan dengan terjemah tafsiriyah: “Wahai kaum mukmin, perangilah orang-orang kafir yang membahayakan kalian yang berada di dekat negeri kalian, agar mereka merasakan kekerasan kalian terhadap mereka…”
Maka, adanya paham radikal yang melahirkan tindakan teroris, sebenarnya korban dari salah terjemah Qur’an Kemenag itu. Karena itu, tidak benar apologi bahwa terjemah Al-Qur’an Kemenag bukan pemicu terorisme, hanya karena jumlah teroris sedikit, sementara pengguna terjemahan itu mayoritas penduduk Indonesia. Apalagi, menuduh mereka anti pemerintah, termasuk anti terjemahan Al-Qur’an yang diterbitkan pemerintah, jelas apologi fiktif.
Jika jumlah minoritas dijadikan dasar pengingkaran, niscaya stigma teroris tidak dilabelkan pada mereka. Bukankah eksistensi terorisme tidak ditentukan jumlah pelakunya, melainkan adanya pelaku teror sekalipun jumlahnya sangat kecil? Sedangkan faktanya, sebagaimana pengakuan mantan anggota NII KW 9, Al-Haedar, mengaku sebagai korban salah terjemah Alquran. Dapat disaksikan, dalam video clip latihan tersangka teroris, mereka menyitir ayat-ayat Alquran yang terjemahannya persis sama dengan terjemahan Kemenag.
Sekalipun diakui tim terjemah Alquran Kemenag, adanya beberapa kesalahan dan sudah mengalami revisi berulangkali, tapi alih-alih memperbaiki terjemahan, revisi malah menambah kesalahan. Sulit dipahami akal sehat, bagaimana para pakar melakukan revisi siluman, tanpa menyebut siapa revisionisnya, mengapa direvisi dan bagian ayat mana saja yang direvisi.
Contoh revisi siluman itu adalah terjemah Qs. Al-Ahzab (33:61). “dalam keadaan terlaknat. Dimana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya.” Kata waquttilu taqtila diterjemahkan ‘dibunuh dengan sehebat-hebatnya’. Kemudian dalam terjemah revisi (2010) menjadi ‘dibunuh dengan tanpa ampun’. Revisi terjemah ini kedengarannya lebih sadis, boleh membunuh dengan kejam tanpa perikemanusiaan. Lalu, kalimat mana dari ayat tersebut yang diterjemahkan tanpa ampun?
Arogansi bukan Solusi
Nampaknya tim terjemah Alquran Kemenag, berusaha melibatkan banyak pihak dalam kontroversi ini. Pernyataan salah seorang Ketua MUI, Yunahar Ilyas yang mempertanyakan otoritas dan kapasitas Majelis Mujahidin mengoreksi terjemah Alquran Kemenag, adalah arogansi tanpa solusi.
Adalah hak setiap muslim untuk membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah, sebagaiman nasihat Ali bin Abi Thalib, ihqaqul haq waibthalul bathil.Sebagai cendekiawan muslim, adalah bijaksana sekiranya sebelum berkomentar, lebih dahulu menelaah koreksi terjemah Alquran yang dilakukan Majelis Mujahidin. Bukan berkomentar diluar konteks, dengan nada melecehkan lagi. Seperti sabda Nabi Saw bahwa, “kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”
Dalam konteks bahasan ini, kapasitas Majelis Mujahidin adalah menemukan kesalahan terjemah Alquran Kemenag dan melakukan koreksi. Lalu, apa prestasi intelektual Yunahar Ilyas? Apa pula otoritasnya mempertanyakan otoritas serta kapasitas MMI?
Sikap Yunahar jauh panggang dari api dibanding KH Syukri Zarkasi, pimpinan Ponpes Modern Gontor, Ponorogo. Dalam pertemuan dengan MUI 30 Nopember 2010 KH. Syukri Zarkasi merespon koreksi Majelis Mujahidin terhadap terjemah Al-Qur’an Kemenag: “Bukan hanya terjemah Alqur’an Kemenag yang salah, tetapi isi terjemahannya juga salah,” tegasnya.
Oleh karena itu, solusi kontroversi ini, Majelis Mujahidin menawarkan opsi kepada Kemenag RI. Pertama, mengumumkan kepada publik kesalahan-kesalahan terjemah Al-Qur’an yang diterbitkan Kemenag. Kedua, diadakan Debat Publik atau Uji Shahih atas koreksi Majelis Mujahidin. Dan ketiga, bila kedua opsi diatas ditolak, Majelis Mujahidin akan melakukan clash action ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku.
Jogjakarta, 4 April 2011